Konsep Nilai Kerja dan Pola Budaya Buruh Perkebunan

2.1.4. Konsep Nilai Kerja dan Pola Budaya Buruh Perkebunan

Konsep nilai kerja berkaitan langsung dengan masalah tindakan, kerja dan nilai. Parsons 1973 mengartikan tindakan sebagai aksi yang melibatkan individu sebagai subyek yang aktif dan kreatif untuk memilih alternatif -alternatif dalam rangka meraih tujuan. Hal ini merupakan wujud refleksi dari proses penghayatan diri, aktivitas dan kreativitas. Parson dalam Johnson 1990 menyebut ini sebagai orientasi nilai, yang merupakan salah satu elemen dasar yang membentuk tindakan seseorang. Lebih lanjut, Parsons melalui teori aksi 1973 membagi lima unit dasar tindakan sosial yaitu; 1 adanya individu sebagai pelaku, 2 pelaku dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu, 3 pelaku mempunyai alternatif cara, alat serta teknik untuk mencapai tujuannya, 4 pelaku berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan, 5 pelaku berada di bawah kendala nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhi pelaku dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Kerja diartikan sebagai bagian yang lebih khusus dari tindakan. Pudjiwati 1985 menyatakan ciri-ciri kerja meliputi: 1 pelaku mengeluarkan energi, 2 pelaku menjalin interaksi sosial dan mendapat status, 3 pelaku memberi sumbangan dalam produksi barang dan jasa, 4 pelaku mendapatkan penghasilan cash atau natura, dan 5 pelaku mendapatkan hasil yang mempunyai nilai waktu. Berdasarkan hal itu, kerja dapat dirumuskan sebagai suatu aktivitas yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga baik bersifat fisik, mental maupun sosial dengan imbalan berupa insentif ekonomi. Wallman 1979 menguraikan bahwa secara sosiologis, kerja tidak bermakna tanpa adanya pembagian kerja, dan juga tidak bermakna secara fisik jika tingkatan teknologi tidak dipertimbangkan. Demikian pula, secara antropologi kerja dalam budaya ya ng berbeda mempunyai makna yang berbeda. Kerja dalam pandangan masyarakat industri misalnya, hanya berfungsi sebagai unit produksi semata, sementara dalam konteks rumah tangga petani kerja umumnya merangkap sebagai unit produksi, konsumsi dan reproduksi sekaligus. Lebih lanjut, Wallman 1979, menjelaskan bahwa makna kerja bervariasi karena perbedaan orang yang melakukannya. Beberapa pekerjaan dinilai lebih tinggi karena dibentuk oleh suatu kategori orang dibandingkan pekerjaan lainnya. Orang-orang dapat dikhususkan menjadi bentuk-bentuk pekerjaan dengan beberapa kriteria yang berbeda, misalnya berdasarkan karakteristik fisik, seperti jenis kelamin, umur, kebangsaan, ras atau kasta. Pekerjaan dapat membentuk identitas dan memperoleh status sosial. Hasil pene litian pada masyarakat Israel menemukan bahwa konsep kerja berkembang sepenjang sejarah manusia. Survei yang dilakukan pada tahun 1980 – 1990. Mayoritas responden pada kedua periode itu menunjukkan kerja diartikan dimana seseorang mendapatkan bayaran. Sementara itu, nilai merupakan pilihan moral yang berkaitan dengan apa yang dianggap baik dan buruk-pantas atau tidak dijadikan pedoman bertingkah laku. Hendropuspito 1989 merumuskan pengertian nilai dalam kerangka fungsional yaitu sebagai suatu penghargaan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup bersama. Daya guna itu menjadikan sesuatu diberi penghargaan dan dipertahankan. Lebih lanjut Hendropuspito, menyatakan bahwa nilai akan mengarahkan seseorang untuk melakukan tindakan sosial yang didukung oleh motivasi. Berdasarkan ketiga konsep yang dikemukakan di atas, maka nilai kerja dapat dirumuskan sebagai suatu persepsi atau penghargaan terhadap aktivitas yang menghasilkan suatu bentuk materi maupun non materi yang dapat memberi kepuasan bagi keluarga. Ekonomi klasik percaya bahwa nilai kerja penting karena nilai tersebut menjadi ukuran nilai pertukaran barang- barang yang diperjualbelikan. Sebab ada aturan natural universal dalam ekonomi, yaitu pendapatan sama dengan pengeluaran, maka akan tercapai keseimbangan natural dari pertukaran nilai kerja tersebut. Artinya, setiap individu bebas bekerja meningkatkan kebahagiaan hidup mencari kesenangan, karena pada akhirnya akan tercapai kebahagiaan yang tidak hanya untuk seorang individu, tapi juga untuk seluruh masyarakat. Perbedaan kondisi sosial ekonomi memiliki makna perbedaan pengalaman-pengalaman dan kebutuhan. Orang-orang berpengalaman dan berpendidikan rendah dapat memiliki pengalaman sosialisasi, bekerja, berteman, serta pengalaman sosial yang berbeda dengan orang yang berpenghasilan dan berpendidikan yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan ini merupakan karakteristik individu yang dapat membuat fokus perhatian yang berbeda-beda pula dalam memper sepsi sesuatu, termasuk mempersepsi nilai kerja. Akibatnya pandangan tentang nilai kerja pun dapat berbeda -beda. Tjakrawati 1984 sebagaimana yang dikutif Lubis Soetarto 1992 menyatakan bahwa nilai kerja dapat diukur melalui enam dimensi, yaitu: 1 dimensi lahan, 2 dimensi tenaga kerja, teknologi dan hasil kerja, 3 dimensi modal, 4 dimensi pasar, komoditas dan transportasi, 5 dimensi pekerjaan dan pandangan terhadap kerja, serta 6 dimensi hubungan teman dan kerabat. Nilai kerja ini merupakan suatu akumulasi dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut sosialisasi yang terutama dalam lingkungan keluarga dan kerabat. Faktor eksternal menyangkut aksessibilitas daerah, pendidikan dan kesempatan bekerja . Seseorang akan memiliki penilaian yang ber beda terhadap beragam pekerjaan. Namun kenyataannya, tidak seluruh harapan yang terkandung dalam nilai kerja dapat mewujudkan kenyataan pekerjaan yang dijalani. Dengan demikian ada peluang terjadi kesenjangan antara harapan pekerjaan dengan kenyataan pekerjaan yang sedang dijalani. Berbeda dengan nilai kerja pada keluarga buruh, khususnya buruh perkebunan. Kehidupan yang khas berbentuk negara dalam negara sejatinya menciptakan nilai kerja tersendiri. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap sebagai penjamin kehidupan keluarga. Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya nilai kerja buruh. Van Neil 2003 mengungkapkan bahwa kaum tani Jawa tidak terbiasa denga n sistem pengupahan terbuka dan umumnya tidak menganggap kerja upahan sebagai satu-satunya cara memuaskan kebutuhan. Kaum tani Jawa tidak memahami nilai kerja sebagai alat mencapai tujuan, melainkan memandang kerja sebagai beban yang harus dipikul dan diderita. Wajah budaya masyarakat perkebunan seperti yang dijumapai di luar Jawa, khususnya Deli, menurut Kartodirdjo dan Suryo 1991, banyak menampilkan karakteristik masyarakat perkebunan di Jawa. Baik lokasi, isolasi, dan otonomi komunitas, serta dualisme ekonomi yang terjadi antara pengelola perkebunan dengan buruh maupun petani sekitar perkebunan, pluralisme sosial, hegemoni pengusaha, eksploitasi tenaga kerja di mana perlu dengan menggunakan daya paksa berupa teror dari unsur aparat keamanan maupun preman. Lebih lanjut Kartodirdjo dan Suryo 1991 , menjelaskan perbedaan antara budaya perkebunan luar Jawa dengan Jawa. Pada umumnya derejat isolasi perkebunan di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan di Jawa sendiri. Hal itu disebabkan lebih berkembangnya infrastruktur di Jawa, sehingga komunikasi dengan daerah sekitar perkebunan yang dekat jaraknya untuk memobilisasi buruh cepat dilakukan. Dengan demikian kaum pekerja tidak terlepas dari akar sosial budayanya sehingga tidak mengalami alienasi kultural. Selain itu para pekerja perkebunaan di samping memburuh di perkebunan juga masih bisa melanjutkan pekerjaan sendiri. Kontras dengan petani Jawa, buruh perkebunan di luar Jawa seperti digambarakan Breman 1997 buruh tembakau Deli mengalami alienasi kultural, intimidasi politik, kurangnya kontak dengan masyarakat luar, sehingga mempengaruhi terhadap pandangan mereka tentang nilai kerja. Menurut Breman 8 1997 nasib para kuli di perkebunan Sumatera Timur, mereka mengalami kekalahan yang amat sangat akibat perilaku tuan kebun yang menindas, bukan karena masalah budaya mereka yang lema h. Kuli-kuli di perkebunan tembakau yang sengsara kehidupannya, menurut Breman diakibatkan oleh pola pendisiplinan oleh tuan kebun yang berlebihan. Para kuli oleh tuan kebun hanya dipandang sebagai suatu kolektif dengan sifat-sifat negatif. Pendisiplinan yang keras paksaan diberlakukan sejak tuan kebun memberi panjar dalam rangka mengikat tenaga kerja di perkebunan tempat kuli mengabdikan dirinya. Dinyatakan bahwa dari semua kuli, kuli perempuan dan anak-anak sebagai yang paling sengsara, rentan terhadap pemerasan dan penindasan dari tuan kebun. Para kuli ditetapkan untuk bekerja selama sepuluh jam perhari, namun prakteknya mereka bekerja lebih lama, terkadang sampai larut malam. Paradoks dengan jam kerja yang lama para tuan kebun menggaji rendah para kuli, terutama para pembantu di ladang dan para kuli yang tidak bekerja di ladang tembakau paling rendah upahnya. Bagi keluarga buruh, pekerjaan perkebunan dianggap sebagai nilai kerja yang mempunyai nilai tinggi. Untuk itu, mereka memiliki harapan dan pandangan pekerjaan di perkebunan semestinya dipertahankan dengan cara mensosialisasikan nilai kerja perkebuna kepada anak-anak dan regenerasi keturunan mereka selanjutnya. Sebetulnya sebagian buruh telah memiliki kekayaan di luar perkebunan tetapi lebih memilih tinggal di perkebunan yang membutuhkan biaya hidup lebih rendah karena ada subsidi perusahaan. Posisi sebagai buruh disandang seumur hidup secara bergenerasi dipandang sebagai hal yang wajar. Hal ini terjadi akibat sulitnya mobilitas vertikal pada per kebunan tembakau yang memang pihak perkebunan tidak banyak mengubah pola manajemen. 8 Lebih lanjut lihat Jan Breman, 1997. Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial Pada Awal Abad Ke- 20, Pustaka Utama Grafitri, Jaka rta.

2.1.5. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga