Penataan Ruang Kabupaten Wisdom Perspective of Malind Tribe Important Sites as Referrals in Detailed Land Use Plan Preparation of Merauke Regency
Identitas jati diri setiap marga di sub Suku Malind anim tidak terlepas dari sistem totemismepenyimbolan di alam melalui flora dan fauna serta gejala alam.
marga gebze identik dengan kelapa, marga Balagaize identik dengan jenis elang bondolelang laut, Samkakai dengan kangguru, Basik-basik identik dengan babi,
kaize dengan hewan kasuari dan api, Mahuze identik dengan sagu dan seterusnya. Setiap totem memiliki aturan pemanfaatan secara adat yang ditentukan oleh setiap
marga identiknya seperti yang disajikan pada Lampiran 2.
Keraf 2005 dalam Marfai 2012, menyatakan bahwa kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan dalam komunitas ekologis. Nilai kearifan lokal masyarakat adat Malind secara
antropologis dalam perspektif rumpun Melanesia mengenal empat aspek penting dalam hubungannya dengan tanah dan alam yaitu Hidup berlimpah, menyangkut
ketersediaan alam yang utuh yang mencukupi semua kebutuhan hidup. Komunitas yang berkaitan dengan kehidupan bersama antar keluarga inti, antar
marga dan antar Suku yang saling membantu, komunitas juga terkait bukan hanya dengan tumbuhan, hewan dan manusia hidup tetapi juga berkaitan dengan orang
mati, leluhur dan yang ada didalam tanah. Relasi hubungan dan transaksi resiprositas atau memberi dan menerima bahwa ada transaksi yang selalu
dilakukan antar marga atau Suku, baik dalam membangun persaudaraan maupun menjaga kekerabatan dan keturunan, biasanya dilakukan dalam bentuk kematian,
perkawinan ada tukar anak, sistem pinjam pakai lahan dan sebagainya, prinsipnya supaya kita selamat untuk hari ini dan masa depan, ada timbal balik.
Pada sub Suku Malind tanah besar, kepemimpinan adatnya disebut ‘pakas
anim’. Dalam ‘pakas anim’ pembagian kewenangan dilakukan berdasarkan fungsi seseorang yang sudah melalui tahapan inisiasi atau pendidikan dan penobatan adat
secara berjenjang, untuk memangku jabatan tertentu dalam kepemimpinan tersebut. Adapun urutan kepemimpinan dalam pengambilan keputusan dari tingkat
lebih rendah sampai tertinggi adalah anim, mburaro, mitawal, kuunam dan wadikasi, dimana setiap ucapan yang keluar dari mulutnya adalah keputusan,
nasehat dan pemutus perkara. Urutan kepemimpinan dan ketokohan ini memiliki kemiripan bagi sub Suku Malind baik wilayah pantai maupun bobrawa dan
dekhutan, namun berbeda penyebutan untuk sub Suku lainnya seperti sub Suku Yeinan, Khima-khima dan Kanume.
Gambar 14. Skema konstruksi kearifan Suku Malind dengan lingkungan alam
Tempat penting menurut jenis pemaknaannya berkaitan dengan mitologisejarah , kisah perjalanan leluhur dan kejadian tertentu. Informasi ini
dpertegas tokoh kunci Suku Malind yang mengatakan bahwa : Malind-anim sebelum kedatangan para misionaris katolik, sudah
mempunyai suatu kepercayaan yang berdasar pada Totemisme, kalau saya boleh katakan demikian ini, yang dalam Bahasa Marind sendiri
disebut ‘Mayo’, yang terpecah dalam aliran-aliran : Imoh, Ezam, Sosom,
Mayo-Bodol, Mayo Ndamand, Mayo Walamol dan aliran kebatinan kecil-kecil a.l. ArapaAlapa. Kepercayaan ini sudah mengatur dirinya
terhadap alam lingkungannya dan mengatur tata kemasyarakatannya, hingga dia memenuhi sayarat-syarat kehidupan bermasyarakat sabagai
masyarakat manusia. Gebze, 2000
Wilayah adat dalam penelitian ini dibatasi pada sub Suku Malind anim, dan Mbian anim, seperti yang ditunjukan peta pada Gambar 15. Wilayah di pesisir
pantai sampai hulu dari dua sungai : Kumbe dan Bian, dengan dialek bahasa yang berbeda, distribusi penduduk yang tinggal di pesisir pantai berbeda dengan
masyarakat yang tinggal di rawa dan daratan lebih ke dalam atau ke hulu.
Gambar 15. Peta posisi wilayah adat Suku Malind anim, Mbian anim Tempat penting memiliki makna yang identik dengan tempat atau kawasan
yang dianggap sakral, hubungannya dengan identitas diri atau jati diri marga- marga berupa tempat ritual, daerah kuburan leluhur, kampung lama ataupun
terjadinya kejadian tertentu yang berhubungan dengan akfititas leluhur yang
disebut ‘amai’, dan makna lainnya adalah tempat yang biasanya masyarakat
mencari makan. Pembagian jenis Tempat penting sesuai dengan cerminan identitas adat Malind dan makna pemenuhan kehidupan sehari hari dapat
dijelaskan sebagai berikut : 1. Perjalanan atau
“dema kay” dan persinggahan leluhur atau “ Demadap Mir” Pada masa awal perjalanan satu sub Suku maka
“dema” atau “amai” bacaμ moyang atau leluhur memiliki perjalanan panjang dan biasanya semua
datangnya dari arah timur atau disebut wilayah matahari terbit dan menuju ke barat atau dari pesisir naik ke utara. Tempat yang merupakan perjalanan
biasanya ditandai dengan garis perjalanan yang juga diselingi dengan tempat singgah sementara ataupun persinggahan terakhir dimana dema akhirnya
menemui ajalnya dan mati. Ada jalur pergi dan jalur kembali. Simbolnya disepakati segi tujuh dengan warna merah dohai untuk persinggahan dan
garis berwarna merah untuk perjalanan. Warna merah digunakan karena mengandung makna larangan atau sakral.
Kepercayaan Malind tentang kematian mempercayai bahwa semua Suku Malind ketika mati akan kembali ke Kondo melalui jalur perjalanan yang
disebut “Heiz pale” atau jalur roh yang ditandai dengan adanya urat tanah urat
tanah, baca: gundukan tanah yang biasanya akan saling sambung menyambung. Karena generasi suku masih hidup dan ada sehingga jalur
dianggap sakral untuk tetap dijaga dan tidak boleh di hilangkan sehingga pada lokasi ini tidak diperbolehkan adanya aktiftas pemanfaatan lahan yang
memutuskan jalur tersebut, biasanya hanya terbatas untuk pemanfaatan sehari hari bagi keluarga bukan komersil atau besar besaran. Gambar 16 menunjukan
lokasi di alam biasanya merupakan satu hamparan atau pohon besar.
Gambar 16. Lokasi Perjalanan leluhurdema di Lapangan
2. Dema Say tempat mitologi Wilayah ini berhubungan dengan terjadinya kejadian penting menyangkut
asal usul manusia maupun hewan sebagai totem tertentu. biasanya tempat- tempat ini dipercaya sebagai tempat kediaman roh leluhur. Di semua marga
tempat ini sangat disakralkan sehingga siapapun tidak boleh masuk di lokasi ini. Biasanya tempat sakral dilambangkan dengan simbol segi tujuh dengan
warna merahdohai dan titik hitamkoyhai ditengahnya. Gambar 17 menunjukan lokasi di alam yang biasanya tidak bisa dimasuki oleh sembarang
orang kecuali marga yang bersangkutan, bahkan difoto seperti ini juga tidak bisa sebelum mendapat izin dari marga yang menjaga tempat ini. Ada
kepercayaan jika kita berbuat tidak baik di lokasi ini maka akan kena celaka dalam hidupnya.
Gambar 17 Lokasi tempat mitologi di lapangan 3.
Kuburan leluhur atau Amayen sai Biasanya dimiliki oleh setiap marga di kampung karena ditempat ini
merupakan tempat leluhur mati dalam perjalanannya. Wilayah ini biasanya harus dikomunikasikan kepada marga lainnya, sifatnya peringatan dari marga
yang bersangkutan sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Gambar 18 memperlihatkan kawasan kuburan leluhur yang memang tidak
nampak seperti kuburan secara fisik namun biasanya hanya bentuk area atau hutan tertentu dengan beberapa jenis pohon besar menjadi penandanya.
Gambar 18. Lokasi Kuburan Leluhur di Alam 4. Tempat Ritual atau Pungga Sai
Kawasan ritual dianggap penting karena pada masa dahulu ketika masih terpencar di dusun-dusun, masyarakat secara rutin melakukan panen tahunan
yang mengumpulkan berbagai golongan sebagai ikatan Suku, biasanya diadakan pesta dan ritual inisiasi untuk melestarikan adat melalui pendidikan
kepada generasi muda ataupun penobatan dalam jabatan adat. Saat masyarakat sudah hidup dengan pola kampung maka ritual untuk golongan imo dapat
difokuskan di kampung saja, setiap marga menjaga dan menggangap kawasan ini penting bagi adat sehingga harus dilestarikan. Golongan lain seperti zozom,
ezam dan mayo masih melaksanakan ritual jauh dari kampung. Biasanya dikawasan yang terdiri dari satu hamparan luas yang disiapkan untuk ritual
akan ditunjuk penyelenggaranya, yang ditunjuk oleh kelompok marga dalam sistem penjuru mata angin ataupun keputusan adat di kampung saja. Tempat ini
juga harus representatif menampung setiap peserta untuk berada disana sampai upacara adat selesai dilaksanakan. Gambar 19
Gambar 19. Tempat Ritual Adat
5. Dusun Sagu atau Dah Nanggaz
Masyarakat meyakini kawasan yang ditumbuhi dusun sagu selalu menjadi sumber kehidupan karena sagu sebagai tumbuhan yang menghasilkan
bahan olahan pokok bagi mereka, kawasan ini juga menjadi tempat berteduh leluhur karena ada ikatan batin yang sangat kuat dengan nakali atau manusia
yang memiliki daerah ini. Karena sagu juga merupakan salah satu totem penting dari marga Mahuze maka marga lain dalam memanfaatkan sagu dan
wilayah sekitar dusun sagu harus menghormati. Kawasan ini juga secara ekologis sangat berguna untuk menyimpan air dan sebagai indikator ekuifer
karena apabila ada dusun sagu biasanya airnya selalu baik dan berlimpah. Simbolnya yang disepakati antara marga dalam penggambaran adalah pohon
sagu dewasa dan sagu anak atau yaang baru tumbuh. Filosofi simbol bahwa sagu dewasa menunjukan sagu yang dapat dikonsumsi oleh generasi kini dan
menyisakan sagu anak atau baru tumbuh untuk generasi mendatang. merupakan pusat kawasan cari makan lainnya seperti berburu, biasanya
terdapat bevak masyarakat atau persinggahan sementara selama mencari makan. Gambar 20
Gambar 20 Lokasi dusun Sagu
6. Sumber air atau awamdka Sumber air yang dimaksud Suku Malind ada dua macam berupa rawa
permanen yang pada musim kemarau tetap menyediakan air dan sumber air buatan atau sumur yang sengaja dibuat oleh moyang dan penduduk namun
biasanya punya sejarah dan selalu airnya tersedia sepanjang tahun. Simbolnya adalah bentuk sumur melingkar tanda air tenang dan tidak bergerak dengan
garis bergelombang yang menunjukan air yang dapat mengalir. Sumber air biasanya berada di dekat kawasan dusun sagu namun adakalanya juga berada
di tengah-tengah rawa. Gambar 21
Gambar 21 Bentuk Sumber Air yg di buat secara alami 7. Hutan berburu atau Aweawe say
Daerah ini ditandai dengan adanya hutan atau tempat biasanya hewan berada atau berkumpul, yang datarannya agak lebih tinggi, biasanya terdapat
hewan seperti kangguru, babi hutan, rusa dan jenis marsupilia seperti bandikot. Pada musim penghujan ketika air mulai menutupi seluruh kawasan dan
tergenang kawasan ini akan didatangi hewan untuk berlindung dari air. Berbagai jenis burung juga selalu mendatangi lokasi ini, padaawal musim
penghujan saat rumput muda mulai tumbuh menunjukan ketersediaan pakan berlimpah dan menarik satwa dari jenis mamalia untuk memanfaatkan rumput
muda sebagai sumber pangan utama. Masyarakat adat dalam setiap marga biasanya memiliki lokasi berburu sendiri-sendiri da juga secara bersama,
kegiatan berburu masal dikenal dengan sebutan Ohan, yang biasanya dipraktekan sebagai bagian dari menjalin keeratan antar komunitas masyarakat
di satu kampung. Ohan basik atau berburu babi dalam ritual Malind dilakukan untuk tetap menjaga kebersamaan yang dipimpin oleh kelompok marga Basik-
basik karena babi merupakan totem mereka. Masyarakat mengkatagorikan kawasan hutan perburuan sebagai kawasan penting bagi mereka untuk
mendapatkan sumber makanan dan cadangan makanan. Biasanya kawasan ini dapat merupakan hamparan terbuka dan juga hambaran hutan yang di laintai
hutannya tidak rapat dan hanya terdapat alang-alang dan rumput rendah yang menjadi konsumsi hewan buruan. Gambar 22
Gambar 22. Lokasi hutan berburu 8. Tempat pelestarian adat atau Pungga
Kawasan ini oleh sub Suku Malind dianggap sebagai kawasan yang punya hubungan dengan tempat tinggal roh-roh leluhur yang menjaga dan
melindungi alam dengan segala isinya atau tempat duduk adat untuk penyepakati sesuatu hal. Nilai kearifan pada kawasan ini memberikan
keleluasan bagi setiap marga untuk dapat memanfaatkan secara tradisional untuk kebutuhan pangan, pakai, obat-obatan dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan konsumsi internal tanpa adanya intervensi pihak lain. Kawasan ini juga sering dipakai untuk tempat menyimpan benda-benda adat
atau harta adat yang sakral, biasanya terlarang bagi orang lain selain marga yang bersangkutan atau Suku Malind. Dalam peruntukan kawasan marga
marga sepakat untuk kawasan ini tidak digunakan atau dirubah untuk penggunaan lain. Tempat ini biasanya diberi tanda tertentu sesuai tanda marga
kulit bush atau alang-alang yang dibentuk sesuai totem yang memberi peringatan pada setiap orang dari marga lain untuk tidak masuk ataupun
berhati- hati jika memasuki wilayah ini. Kawasan ini biasanya ditunjukan dengan adanya bevak masyarakat, karena biasanya mereka tinggal dan menetap
sementara sampai bahan makanan atau obat obatan sudah cukup dikumpulkan Gambar 23
Gambar 23. Lokasi Pelestarian Adat Marga-marga di empat kampung juga menyepakati bentuk pola ruang
tradisional melalui kategori sakral dan keberadaan alam sebagai sumber makanan alami yang secara turun-temurun dijaga kelestariannya.
Penyebaran Tempat penting dari hasil pemetaan di empat kampung yaitu Zanegi, Kaliki, Kolam dan Selauw Gambar 24,25,26 dan 27 menunjukan
indikasi tumpang tindih Tempat penting pada pola ruang lindung dan budidaya sesuai RTRWK untuk itu patut menjadi perhatian serius khususnya pada pola
ruang budidaya karena berkaitan dengan lahan yang akan dimanfaatkan dan dirubah fingsinya. Diharapkan kedepan kawasan tersebut dapat dihindari sebagai
bentuk pelestarian kawasan tempat penting ketika akan melakukan pemanfaatan lahan. Misalnya di Kampung Zanegi lahan kampung yang terbagi berdasarkan dua
kelompok marga besar yaitu Sub Ndimarse dan Sub Haywse, yang membagi menjadi dua bagian wilayah Gambar 24. Adanya pola penyebaran yang hampir
merata menunjukan wilayah jelajah masyarakat dan mitologi sejarah leluhur yang memposisikan warga untuk mendiami kampung Zanegi khususnya kedua
kelompok sub marga tersebut. Bentuk area, garis dan titik dalam penyimbolan yang menunjukan tingkat peta mental masyarakat dalam merumuskan pengalaman
hidup yang menjadi jati diri dan kedekatan mereka dengan alam. Hal ini berlaku sama bagi 3 kampung lainnya walaupun berbeda cerita dan pengalaman namun
punya keterkaitan dalam perjalanan leluhur dari satu lokasi ke lokasi berikutnya atau kampung ke kampung berikutnya Peta tersaji pada lampiran 8,9, 10 dan 11
Secara teknis untuk melindungi jenis Tempat penting yang bersifat titik di peta seperti persinggahan leluhur, sumber air, tempat mitologi dan kuburan
leluhur, atau yang di alam hanya ditunjukan dengan adanya pohon, sumur atau luasan area maksimum sampai 20 meter persegi, maka konsensus bersama
masyarakat menentukan radius Tempat penting mulai dari 500 meter sampai dengan 2 kilo meter tergantung kesepakatan marga di masing-masing kampung.
Pernyataan masyarakat adat juga menginginkan adanya pembangunan yang masuk ke kampung dan wilayah adat mereka dengan cara menghormati tempat-
Tempat penting dengan tentunya mengajak mereka berdiskusi diawal kegiatan.
Ga mbar
24. P eta te
mp at P
enti ng
Ka
mpun g
Z an
eg i
Ga mbar
25. P eta T
empat P
enti ng
Ka mpun
g K
ali ki
tempa t P
enti ng
Gambar 26. Peta Tempat penting Kampung Kolam
Gambar 27. Peta Tempat Penting Kampung Selouw Pemetaan yang dilakukan di empat kampung menunjukan pembagian pola
ruang detil sebagai hasil kesepakatan tetapi juga merupakan proses bagaimana masyarakat memahami arti pentingnya ruang untuk pembangunan yang masuk ke
kampung mereka. Ruang dimaksud dibagi dalam empat katagori kodefikasi yang diklasifikasi kedalam fungsi ruang lindung dan ruang budidaya. Gambar 28
Gambar 28. Peta Hasil pemetaan 4 kampung Hasil analisis empat kampung yang ditunjukan pada Tabel 11 memberikan
gambaran rumusan bentuk pola ruang tradisional yang telah menyesuaikan dengan fungsi ruang lindung dan budidaya dengan masing-masing pembagian
sebagai berikut : 1. Pola Lindung berkaitan dengan kawasan yang tidak diizinkan atau dilarang,
kawasan bersyarat, dan kawasan terbatas. kawasan yang tidak diizinkan berupa kawasan lokasi sakral dan pelestarian
adat, kawasan pengelolaan bersyarat yang meliputi lokasi ritual, kediaman leluhur, kawasan pengelolaan terbatas meliputi dusun sagu, sumber air ,
kawasan perburuan dan lokasi kebun serta dusun bevak.
2. Pola budidaya berkaitan dengan kawasan yang diizinkan untuk pengelolaan lahan baik skala kecil sedang maupun besar.
Kawasan pengelolaan diizinkan adalah kawasan yang dianggap masyarakat dapat dinegosiasikan untuk keperluan yang lebih luas seperti mendukung
pembangunan kampung dan pemukiman, pembangunan daerah dan swasta perkebunan dan kehutanan. tabel kodefikasi pada Lampiran 11
Tabel 11. Perhitungan Pemanfatan Lahan hasil Pemetaan Partisipatif
Kelas Pengelolaan setiap Kampung Luas Ha
Luasan Kelas Pengelolaan Ruang Zanegi Pengelolaan Tidak Diizinkan
12,403 16.8
Pengelolaan Bersyarat 9,861
13.4 Pengelolaan Terbatas
11,600 15.7
Pengelolaan Diizinkan 39,965
54.1 Luas Total Kampung Hasil Pemetaan
73,829 Luasan Kelas Pengelolaan Ruang Kolam
Pengelolaan Tidak Diizinkan 9,428
25.3 Pengelolaan Bersyarat
13,871 37.2
Pengelolaan Terbatas 5,375
14.4
Pengelolaan Diizinkan 8,586
23.0 Jumlah luas Kampung
37,261 Luasan Kelas Pengelolaan Ruang Selauw
Pengelolaan Tidak Diizinkan 29,824
15.4 Pengelolaan Bersyarat
209 0.1
Pengelolaan Terbatas 13,998
7.2
Pengelolaan Diizinkan 149,363
77.2 jumlah luas Kampung
193,394 Luasan Kelas Pengelolaan Ruang Kaliki
Pengelolaan Tidak Diizinkan 7,850
17.8 Pengelolaan Bersyarat
9,146 20.7
Pengelolaan Terbatas 3,189
7.2
Pengelolaan Diizinkan 23,992
54.3 Jumlah Luas Kampung
44,176 Rekaputilasi empat kampung
Pengelolaan oleh masyarakat adat 126,754
36.4 Pengelolaan kemitraan dengan pihak lain
221,906 63.6
Luas Keseluruhan Kawasan 4 Kampung
348,660
100.0 Gambar 29 berupa Grafik pie menunjukan luasan dan prosentasi jumlah
masing masing pola ruang tradisional dari penggabungan luasan empat kampung. Luasan yang disepakati masyarakat menyangkut kawasan yang tidak diizinkan
17 berupa kawasan lokasi sakral dan pelestarian adat, kawasan pengelolaan bersyarat 9 yang meliputi lokasi ritual, kediaman leluhur, kawasan
pengelolaan terbatas 10 meliputi dusun sagu, sumber air , kawasan perburuan
dan lokasi kebun serta dusun bevak. Kawasan pengelolaan diizinkan 64 adalah kawasan yang dianggap masyarakat dapat dinegosiasikan untuk keperluan
yang lebih luas seperti mendukung pembangunan kampung dan pemukiman, serta kegiatan pembangunan lainnya. Dengan kecendrungan ruang budidaya lebih besar
luasanyanya mencapai 221,906 hektar atau sekitar 63,7 dan luasan lindungan mencapai 126,754 atau 36.3 dari total luas kampung.
Gambar 29 Grafik Pie Persentasi Pembagian Pola Ruang Tradisional Pola pengelolaan tradisional kawasan Tempat penting mengandung makna
bahwa melalui pemetaan ini masyarakat secara arif memetakan Tempat penting mereka dan juga memberikan ruang yang cukup di kampung untuk proses
negosiasi dengan pemerintah atau pihak ketiga dalam mendukung pembangunan kampung dan wilayah Kabupaten. Pengalokasian ruang bagi Tempat penting
tidaklah mencakup seluruh kawasan kampung menunjukan bahwa masyarakat memiliki komitmen kuat untuk mendukung pembangunan daerah dengan
menyediakan lahan pengelolaan untuk pengembangan wilayah, di samping mengamankan kawasan Tempat penting Mereka.
Tempat penting sebagai sebagai makna dan nilai etnogradi yang dianut komunitas sebenarnya sulit untuk dibuat dalam urutan ranking yang lebih penting
satu dengan lainnya dalam kepentingan perencanaan ruang. Jalan tengah bagi penyelesaian konflik tanah dan peruntukan ruang dalam pembangunan, kawasan
yang dianggap zona Tempat penting yaitu : 1. Kawasan sakral berupa Persinggahan leluhur, tempat mitologi, kuburan
leluhur dan tempat ritual dianggap zona yang sangat penting karena memberikan ruang kepada masyarakat adat agar dapat melaksanakan kegiatan
budaya secara turun temurun dan melestarikan pusaka adat sebagai bentuk ekspresi praktek tradisi adat budaya. Disatu sisi memberikan pendidikan
bagi masyarakat umum untuk menghormati tempat-tempat sakral yang diyakini oleh masyarakat adat dan arah dalam kegiatan pembangunan agar
menghindari dan tidak melakukan kegiatan konversi pada kawasan sakral.
2. Kawasan Pelestarian Adat dianggap zona penting kedua setelah Sakral karena m
elindungi keanekaragaman hayati yang menjadi identitas adat dan budaya, ketahanan pangan dan sumber obat tradisional masyarakat adat Malind.
Wilayah ini tidak dapat diganti fungsi kawasannya selain komunitas adat marga pemilik kawasan.
3. Kawasan Perjalanan leluhur adalah zona yang melindungi alur perjalanan
leluhur terutama menyangkut penyebaran dan asal muasal marga-marga dalam
sejarah dan indentitas budaya Malind khususnya setiap marga. Dalam peruntukannya selama tidak merubah fungsi sebagai penghubung satu lokasi
ke lokasi lainnya dari tempat persinggahan leluhur dan telah mendapat izin dari marga pemilik lahan maka dapat dibijaki untuk kepentingan pemenuhan
infrastruktur ruang. 4. Kawasan budidaya tradisional mencakup dusun sagu, sumber air dan hutan
berburu mencakup zona yang m elindungi sumber bahan pangan bagi
masyarakat. Sebagai sumber bahan baku material bangunan. Mengatur sumber mata air selama musim kemarau. Melindungi nilai identitas budaya sebagai
Totem dan kearifan lokal. Kemudian dapat diselaraskan untuk kepentingan pertanian terbatas yang berbasis pada kearifan setempat.
5. Zona lainnya yang berada di luar zona tempat penting diatas dapat dikatagorikan sebagai zona yang dapat dimanfaatkan dalam pola budidaya
dengan keteraturan daya dukung alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat baik pemilik hak maupun semua pihak demi kemajuan wilayah
kabupaten.