Suku dan Pembagian wilayah Adat

Tabel 10. Luasan Klaster I-IV MIFEE Klaster Fungsi Kawasan Luas Klaster Ha APL HPK Air Klaster I 11,580 32,635 24 44,239 Klaster II 5,567 44,574 0.04 50,141 Klaster III 31,291 49,425 1 80,717 Klaster IV 16,806 36,102 18 52,926 Jumlah 65,244 162,736 43,04 228,023 Gambar 12. Peta Kawasan Project MIFEE Sejauh ini perkembangan MIFEE sampai dengan tahun 2012 tercatat kurang lebih 1λ perusahaan yang berada di 4 klaster MIFEE. Dalam praktek perolehan lahan produksi sebagian besar perusahaan mempunyai keluhan yang senada seputar pembebasan tanah dan belum jelasnya batas hak atas tanah dan kawasan tempat penting masyarakat di dalam lokasi konsesi. Persoalan lain dari sisi kebijakan adalah tentang perizinan seperti moratorium hutan lewat surat edaran Gubernur No.05035λ5Set tanggal 26 Oktober 2010, bahwa semua permohonan ijin yang menggunakan lahan skala luas harus menunggu Penetapan PERDA Provinsi Papua tentang RTRW Provinsi Papua Tahun 2010-2030 dan penundaan izin-izin karena belum ditetapkan RTRW Papua. Tentunya menimbulkan reaksi beragam dari berbagai pihak baik pengusaha, pemerintah maupun masyarakat. Persoalan lain yang juga penting adalah pengurusan dokumen lingkungan AMDAL yang belum bisa dipenuhi sebagian besar perusahaan karena adanya perubahan waktu perizinan menjadi hanya 14 hari. Berdasarkan surat pernyataan sikap tertanggap 28 mei 2013 masyarakat adat melakukan pemalangan terhadap operasional perusahaan group Rajawali di klaster II Distrik Kurik dan Malind, akibat banyaknya janji-janji yang diberikan dan tidak dipenuhi kepada masyarakat kampung Domande sehingga berujung pada sengketa tersebut. Salah satu pemicu konflik adalah pelanggaran batas tanah dan ganti rugi harga kayu hasil tebangan hutan alam. Hampir pasti setiap investasi selama kurang lebih delapan tahun memiliki persoalan yang muaranya adalah konflik kepemlikan, transaksi lahan dan pemanfaatannya. Sebut saja beberapa kasus lain sebelumnya di Boepe distrik Kabtel tahun 2011 terhadap ganti rugi tanah yang tidak adil pembagiannya, pemberhentian besar-besaran masyarakat lokal sampai 60 orang dari kerja tetap beralih ke kerja harian oleh perusahan HTI. Di klaster 4 distrik Muting juga terjadi kleim masyarakat atas pelanggaran perjanjian pelepasan lahan garapan ke lahan garapan lainnya dari lahan milik marga mahuze ke lahan lain milik marga di Suku muyu, yang akhirnya memicu pemalangan dan protes marga Mahuze. Ini terjadi sekitar akhir Desember 2012 lalu, dan sampai saat ini masih berjalan terus penyelesaian kasus tersebut. Beberapa kasus ekstrim lainnya adalah terjadinya pembunuhan karena sengketa atas pembagian pembayaran ganti rugi kayu di Zanegi yang berakibat jatuh korban satu orang tokoh marga Balagaize. Peruntukan lahan sesuai fungsi kawasan pada masing-masing klaster pada Tabel 10 sebagian besar telah terbagi dalam wilayah konsesi investasi, baik perkebunan maupun kehutanan dan pangan antara lain dari Group Korindo, Group Rajawali, Group Wilmar dan Group Medco. Lampiran 3 memperlihatkan konsesi lahan investasi untuk keempat klaster mencapai 17 perusahaan baik komoditi Acacia untuk HTI, serta kelapa sawit dan tebu, total izin adalah seluas 145,541 hektar. Empat perusahaan belum berjalan atau tidak aktif salah satu penyebabnya adalah proses perizinan belum selesai. Lima perusahaan sudah mendapat izin Pemanfaatan Kayu IPK masing-masing seluas 40 hektar yang diberikan untuk pembibitan awal. 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kearifan tentang Tempat penting dan Penerapannya pada Rencana Detil Tata Ruang Kata Malind berasal dari kata Mayo atau maloh yang berarti keramat, sakral atau penting, dan Malind mengandung pengertian adalah orang dari mayo. Semua Penyebutan Malind anim punya kaitan dengan kateori bangsa melanesia karena orang papua bagian selatan disebut sebagai ha-anim, Pengertian sebenarnya dari Malind-anim adalah orang dengan ras bangsa melanesia yang menganut kepercayaan ‘mayo’. Gambar 13 memperlihatkan postur orang Malind dengan asesories yang dimodifikasi sesuai simbol marga masing-masing. Gambar 13. Postur dan Asesories baju Adat Masyarakat Malind-anim Setiap marga memiliki kearifan tersendiri dalam memperlakukan nakali atau identiknya di alam terutama dalam pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti hewan buruan, tanaman obat dan seterusnya. Semua nakali diperlakukan dengan mekanisme aturan dan tata cara adat untuk menjaga kelestarian dan keseimbangannya di alam, jika ada keseimbangan maka alam dipercaya memberikan keberlimpahan. Wilayah adat Suku Malind di Kabupaten Merauke terbagi habis dalam sub suku dari tanah besar di daratan dan pulau Kimaam. Dusun marga biasanya digunakan untuk mendapatkan segala kebutuhan sehari-hari seperti daging dari hasil buruan, ikan di rawa, ubi-ubian dari kebun kumbili, bahan bangunan dan obat obatan yang didapatkan dari hutan dll. Gambar 14 menunjukan konstruksi nilai kearifan dalam dimensi lingkungan sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan karena ikatan-ikatan dalam nilai dan sistem yang identik dengan lingkungan alam yang dianut kuat oleh Suku Malind.