Pembangunan dan Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan

pemantauan dan pelaporan perubahan penutup lahan pada suatu negara yang memiliki penerimaan di tingkat internasional. Dalam sistem klasifikasi penutup lahan UNFAO, makin detail kelas yang disusun, makin banyak kelas yang digunakan. Kelas penutup lahan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu daerah bervegetasi dan daerah tak bervegetasi. Semua kelas penutup lahan dalam kategori daerah bervegetasi diturunkan dari pendekatan konseptual struktur fisiognomi yang konsisten dari bentuk tumbuhan, bentuk tutupan, tinggi tumbuhan, dan distribusi spasialnya. Dalam kategori daerah tak bervegetasi, pendetailan kelas mengacu pada aspek permukaan tutupan, distribusi atau kepadatan, dan ketinggian atau kedalaman objek. Klasifikasi tutupan disederhanakan dari skala peta 1:250.000 yang dikeluarkan oleh BIG, dengan maksud agar memudahkan pendetilan klasifikasi yang disusun. Klasifikasi tutupan lahan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Penutupan Lahan menurut BIG skala 1: 250.000 No. Kelas Penutup lahan No. Kelas Penutup lahan 1 Daerah Bervegetasi 2.1.4 Gumuk pasir 1.1 Daerah Pertanian 2.2 Permukiman dan lahan bukan pertanian yang berkaitan 1.1.1 Sawah 2.2.1 Lahan terbangun 1.1.2 Sawah pasang surut 2.2.1.1 Permukiman 1.1.3 Ladang 2.1.1.2 Bangunan industrial 1.1.4 Perkebunan 2.2.1.3 Jaringan jalan 1.1.5 Perkebunan campuran 2.2.1.3.1 jalan arteri 1.1.6 Daerah bukan Pertanian 2.2.1.3.2 jakal kolektor 1.2 Daerah Bukan Pertanian 2.2.1.3.3 jalan lokal 1.2.1 Hutan Lahan kering 2.2.1.4 Jaringan jalan kereta api 1.2.1.1 hutan lahan kering primer 2.2.1.5 Bandar udara domestikinternasional 1.2.1.2 Hutan lahan kering sekunder 2.2.1.6 Pelabuhan laut 1.2.2 Hutan Lahan Basah 2.2.2 Lahan tidak terbangun 1.2.2.1 hutan lahan basah primer 2.2.2.1 Pertambangan 1.2.2.2 Hutan lahan basah sekunder 2.2.2.2 Tempat penimbunan sampahdeposit 1.2.4 Semak dan belukar 2.3 Perairan 1.2.5 Padang Rumput, alang-alang, sabana 2.3.1 Danau atau waduk 1.2.6 Rumput rawa 2.3.2 Tambak 2 Daerah tak bervegetasi 2.3.3 Rawa 2.1 Lahan terbuka 2.3.4 Sungai 2.1.1 Lahar dan lava 2.3.5 Anjir pelayaran 2.1.2 Hamparan pasir pantai 2.3.6 Terumbu karang 2.1.3 Beting pantai 2.3.7 Gosong pantai Sumber data : SNI BIG

2.5 Penataan Ruang Wilayah

Rustiadi 2011 mengatakan ada dua kondisi yang harus dipenuhi dalam penataan Ruang wilayah: i kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan dan ii adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Sasaran utama dari Penataan Ruang Wilayah pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum yaitu : i efisiensi, ii keadilan dan akseptabilitas masyarakat, serta iii keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan sumberdaya diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat publik. Wilayah sebagai suatu matriks fisik harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan wilayah juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan sustainable. Proses pembelajaran yang berkelanjutan adalah buah pengalaman manusia yang didalam kehidupannya berada dalam siklus tanpa akhir berupa : pemanfaatan – monitoring mengamati – evaluasi pembelajaran – tindakan pengendalian – perencanaan upaya memperbaiki, mengantisipasi masa depan dan memutuskan tindakan – pemanfaatan dan seterusnya. Rangkaian siklus diatas dilakukan oleh manusia untuk menuju keseimbangan dalam penataan ruang yang lebih baik. Sebagai proses perubahan penataan ruang secara formal adalah proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial. Alasan yang melandasi pentingnya penataan ruang adalah perbedaan kepentingan antara individu dan masyarakat, ruang itu sendiri merupakan atmosfer bersifat public good, ruang sebagai bagian dari fungsi ekologis menjadi daya dukung dan berkelanjutan bagi suatu sistem. Penataan ruang di Kabupaten Merauke setelah kurang lebih sembilan tahun sejak pemekaran tahun 2002, tepatnya pada tahun 2011 ditetapkan Peraturan Daerah PERDA no 11 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Merauke RTRW. PERDA ini dianggap unik dan bahkan mendapat penghargaan produk RTRW terbaik ketiga di Indonesia karena merupakan produk ruang yang mengadopsi dan memasukan dokumen Tempat penting masyarakat adat dalam bentuk lokasi dan pengetahuan nilai kearifan lokal Suku Malind. Menurut Rustiadi 2011 secara alamiah tanpa atau dengan keterlibatan manusia berlakunya hukum-hukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala benda ataupun sumberdaya alam dengan keteraturan yang dinamis, yang berpola dan terstruktur secara spasial maupun waktu sehingga membentuk pola ruang. Tempat penting masyarakat adat merupakan pola adaptasi turun-temurun dari nilai mitologi yang menjadi identitas penting Suku Malind ditanah animha di wilayah paling selatan Provinsi Papua. Sampai saat ini nilai tersebut masih dipertahankan dengan berbagai ritual dan aturan main adat yang diakui sebagai bagian dari keseimbangan fisik lingkungan dan sosial budaya. Dengan demikian proses penataan ruang di Kabupaten Merauke telah berpedoman pada pendekatan pembangunan berbasis pada nilai-nilai setempat atau lokal yang hidup dan berkembang dan dilestarikan.

2.6 Kearifan Lokal

Keraf 2002, menyatakan bahwa kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sunaryo 2003, juga menjelaskan kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya kognisi untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu Ridwan, 2007. Kearifan secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya Geertz, 2007. Menurut Ardhana 2005, kearifan lokal dapat diartikan sebagai perilaku bijak yang selalu menggunakan akal budi, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam suatu wilayah geografis tertentu. Dalam kearifan lokal ada karya atau tindakan manusia yang sifatnya bersejarah, yang masih diwarisi masyarakat setempat. Perilaku bijak ini biasanya adalah tindakan, kebiasaan atau tradisi, dan cara-cara masyarakat setempat yang menuntun untuk hidup tenteram, damai dan sejahtera. Ardhana 2005, menjelaskan bahwa menurut perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka, termasuk mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tatanan sosial. Memahami kearifan lokal dapat dilakukan melalui pendekatan struktural, kultural dan fungsional. Menurut perspektif struktural, kearifan lokal dapat dipahami dari keunikan struktur sosial yang berkembang di masyarakat, yang dapat menjelaskan tentang institusi atau organisasi sosial serta kelompok sosial yang ada. Di Suku Baduy, di desa Cikartawana, Cikeusik, Cibeo dan masyarakat Baduy Luar, mencirikan adanya sebuah struktur sosial yang unik. Ada beberapa penelitian ilmiah maupun makalah dalam jurnal yang mengemukakan betapa kuatnya kearifan dalam masyarakat dengan adat istiadat yang melekat dengan alamnya, misalnya Sasaoka 2012 mengenai praktek kearifan lokal masyarakat adat di Seram tengah Maluku dalam pengelolaan sumber daya alam; Byer et al. 2001 meneliti peran keyakinan agama tradisional dalam melestarikan hutan lahan kering di Zimbabwe utara. Virtanen 2002 melihat di Mozambik tentang berfungsinya kelembagaan sosial budaya atas hutan keramat. Contoh lain juga dipraktekan oleh masyarakat adat Yi di Yunan China melalui pemetaan kawasan penting mereka yang memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan hutan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam komunitasnya Jinlong, 2012. Di Indonesia sendiri ada beberapa penelitian ilmiah seperti yang dilakukan oleh Wadley dan Pierce 2004 tentang hutan keramat di kalimantan barat yang adalah wilayah penting bagi satwa liar. Menurut perspektif fungsional, kearifan lokal dapat dipahami sebagai bagaimana masyarakat menjalankan fungsi-fungsinya, yaitu fungsi adaptasi, integrasi, pencapaian tujuan dan pemeliharaan pola. Contohnya dalam hal beradaptasi menghadapi era globalisasi televisi, akulturasi dan lain-lain. Sementara itu Nababan 2003 berpendapat bahwa sudah sejak lama masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati karena sebagian besar masyarakat adat memiliki sistem- sistem lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan dan ditumbuh- kembangkan terus menerus secara turun temurun. Kearifan nilai adat Suku Malind di merauke melalui wujud ruang yang disebut ‘Tempat penting’ tidak terlepas dari kisah sejarah mula penciptaan , salah satu tokoh kunci Suku Malind menyatakan : Awal mula alam semesta ini masih diliputi oleh kabut yang luas menyelimuti bumi dan pada waktu itu bumi masih merupakan suatu cairan lumpur hidup yang bergoyang. Ketika sang pencipta atau di sebut “Ala-Alawi” melayang-layang di udara di antara kabut tebal dan menggalungi lehernya dengan kantong yang berisi bongkahan tanah atau “wan”. Gebze 2000 Mitologi ini merupakan sistem religi yang melekat dalam pemahaman budaya Suku Malind dan “Dema” adalah leluhur mereka, atau pusat dari sistem religi yang dianut. Seluruh tumbuhan dan satwa endemic dan benda benda lain bahkan gejala alam yang hidup di atas wilayah adat Malind telah dijelmakan untuk membantu manusia didalam setiap penamaan marga atau boan, semua sudah terbagi dalam kepemilikan marga. Oleh karena itu setiap marga sangat menjunjung tinggi dan menghargai serta melindungi wujud-wujud “Dema” mereka, terutama mereka menganggap sebagai lumbung sumber kehidupan yang tidak boleh diperlakukan sembarangan oleh siapapun dan dimanapun sampai kapanpun. Berdasarkan mitologi ini maka ajaran “Mayo” identik disebut sebagai suatu kepercayaan yang mengajarkan totemisme dan pelestarian alam. Pengelolaan komponen biologis yang menjadi simbol-simbol tersebut dianggap sebagai tugas suci sepanjang masa. Air penyubur kehidupan genetik dikelola dengan penuh kasih sayang, selanjutnya kata Gebze : Api penggerak kehidupan meliputi segala komponen kehidupan lainnya. Angin mengisi semua ruang kehidupan. Tanah oleh kelengkapan komponen-komponen kehidupan lainnya menumbuhkan aneka spesies tumbuhan, aneka spesies satwa, dan pengelompokan klen-klenboan. Cakrawala pagi, siang, senja, malam, dan pagi penuh puja akan keagungan semesta buah karya abadi Amai yang tak terlihat. Cakrawala itu mahkota gali kehidupan yang terus berlanjut sepanjang masa. Sofyandi 2010 dalam tesisnya mengemukakan pengertian lingkungan dalam masyarakat hukum adat Malind dipahami dengan sebutan alam atau “unam”. Alam semesta mempunyai hubungan kekerabatan antara satu dengan yang lain terutama dengan manusia. Hubungan kekerabatan ini muncul dalam ajaran “totemisme”, dimana kekerabatan antara manusia dengan tumbuhan, manusia dengan hewan, tumbuhan dengan tumbuhan, hewan dengan hewan, tumbuhan dengan hewan, tumbuhan dengan unsur alam, hewan dengan unsur alam, manusia dengan unsur alam dan seterusnya. Gambar 1 menunjukan ilustrasi hubungan kekerabatan antara alam, manusia, tumbuhan, hewan. Sofyandi 2010