pandangan Singarimbun dan Effendi 1995 yang dterjemahkan oleh peneliti menjadi beberapa faktor yang dianggap penting yaitu :
1. Kawasan yang dipetakan adalah termasuk kampung lokal bermukimnya marga-
marga Suku Malind 2. Kawasan kampung merupakan bagian dalam kawasan project percepatan lahan
pangan MIFEE seluas 228.000 ha 3. Tanah milik adat yang saat ini merupakan Konsesi beberapa investasi pangan,
perkebunan dan kehutanan 4. Merupakan kawasan yang rawan konflik dan atau sedang terjadinya konflik
lahan. 5. Aksesnya dapat dijangkau dan tidak terisolasi.
Dalam kaitannya dengan Pola pemanfaatan ruang oleh masyarakat adat maka hasil pemetaan Tempat penting di empat kampung yang menggambarkan
jenis dan area Tempat penting yang akan dianalisis untuk menghasilkan pola ruang tradisional. Setelah dilakukan kodefikasi Tempat penting diharapkan akan
dihasilkan pola ruang tradisional yang membagi ruang kelola dalam fungsi ruang lindung dan budidaya sesuai dengan RTRW Kabupaten Merauke. Hal diperlukan
untuk pembahasan yang menghasilkan arahan ruang berbasis kearifan Tempat penting masyarakat.
Wawancara Mendalam indepth interview
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara merupakan metode
pengumpulan data dengan cara tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Pada ummnya dua orang atau lebih hadir
secara fisikdalam proses tanya jawab dan masing-masing pihak dapat menggunakan saluran saluran komunikasi secara wajar dan lancar. Nasution
dalam Tika 2005 jenis wawancara dalam penelitian ini dipilih wawancara tidak berstruktur. Hal ini berkaitan dengan upaya mendapatkan data yang lebih
mendalam, dengan tetap memahami kondisi tingkat pengertian masyarakat di kampung.
Menurut Moleong 2002 wawancara mendalam atau Indepth interview merupakan proses menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas
dengan masalah dan fokus penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian. Metode wawancara mendalam dilakukan dengan terlebih dahulu disusun secara bebas
daftar pertanyaan, hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang mendalam dan terarah. Kenneth 1977 mengemukakan teknik snow ball random sampling atau
teknik acak bola salju adalah pengambilan sampel dengan berusaha untuk menghubungkan informasi secara mendalam dari informan satu ke informan kunci
yang lain sampai informasi yang didapatkan tidak menghasilkan informasi baru. Selain itu teknik ini dapat juga membantu penelusuran informan kunci, untuk
membuktikan bahwa satu informasi dapat diuji kebenarannya setelah dinyatakan oleh beberapa informan yang berbeda. Sesuai tujuan penelitian maka wawancara
mendalam lebih ditekankan pada informasi menyangkut pengetahuan akan Tempat penting dan pengakuan sejarah keberadaan Tempat penting sebagai
kawasan kearifan lokal masyarakat adat Malind yang secara turun-temurun masih
diberlakukan dan memiliki arti penting bagi masyakakat adat Malind untuk tetap dipertahankan.
Dalam melakukan penelitian alat yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu : 1 Pedoman wawancara mendalam ; 2 Lembar catatan wawancara ;
3. Alat penunjang berupa alat tulis dan tepe recorder untuk merekam; 4. Foto untuk argumentasi berupa gambaran visual. Informan yang akan diwawancarai
adalah tokoh adat kampung dan tokoh adat marga yang memiliki pengetahuan adat sesuai status tertinggi dalam inisiasi adat. Dengan teknis snow ball
mempermudah memperoleh sampai informasi tentang Tempat penting tersebut didapatkan dan dianggap cukup dan memadai. Di kampung juga dikumpulkan tua
marga dan kaum muda dari setiap marga dalam diskusi terfokus untuk mengetahui sejauh mana pemahaman, pendapat tentang Tempat penting dan harapan mereka
terhadap perencanaan tata ruang seharusnya dilaksanakan di tingkat kampung. Moleong, 2002
Dalam penelitian ini penulis telah mengupayakan untuk menggali berbagai informasi sesuai metode penelusuran tokoh kunci yang diseleksi untuk
mendapatkan data secara mendalam dan dianggap sudah tidak menghasilkan informasi baru. Perlu dipahami bahwa dalam pengumpulan data dengan cara
wawancara mendalam biasanya tokoh kunci akan menyampaikan tidak secara terbuka namun ada juga yang menggunakan bahasa kiasan atau perumpamaan, hal
ini karena mereka tetap menjaga sejumlah informasi yang dianggap sakral dan tidak bisa dibuka begitu saja kepada semua orang. Informan yang telah berusaha
penulis wawancarai secara mendalam disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar Informan Wawancara Mendalam
No Status Informan
Jumlah orang
1 Ketua Lembaga Masyarakat Adat
Kabupaten Merauke 1
2 Ketua adat tingkatan Kunam dari
Yeinan, Kanume, Marori, Malind, Mbian anim, khima khima
7
3 Tokoh Adat
2
4 Masyarakat Adat perwakilan marga
4
5
Tokoh Perempuan Malind 1
Jumlah 15
3.4.2 Pengolahan Citra Penginderaan Jauh dan Klasifikasi Penutupan Lahan
Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam klasifikasi citra
secara digital, bertujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap pixel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan
pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan spasial tertentu.
Analisis spasial penggunaan lahan dalam penelitian ini dilakukan dengan
melakukan interpretasi citra landsat Enhanced Thematic MapperETM, yaitu dengan melihat data penutup lahan sebelum RTRW ditetapkan melalui Citra
Landsat ETM 5 tahun 2000 yang telah diolah datanya melalui laporan
Penghitungan Karbon oleh WWF Indonesia 2012. Data penutup lahan sesudah RTRW ditetapkan menjadi Peraturan daerah yaitu melalui Citra Landsat ETM+ 7
tahun 2012. Kedua data ini diharapkan dapat menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang signifikan terjadi, yang berdampak bagi penutupan lahan
dan kebijakan tata ruang terutama sistem tatanan nilai kearifan adat nantinya.
Citra penginderaan jauh digunakan sebagai input untuk analisis perubahan penutup lahan tahun 2012 secara temporal. Pra pemrosesan citra menyangkut
pemilihan input data citra penginderaan jauh, pemilihan daerah fokus pemetaan Area of Interest, image correction, pengisian stripping citra Landsat,
mosaicking, serta image cropping.
Pemilihan input data citra penginderaan jauh disesuaikan dengan output skala pemetaan yang akan disajikan. Fokus daerah pemetaan dalam hal ini adalah
satuan administrasi Kabupaten Merauke. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah
Pasal 23 bahwa peta wilayah daerah Kabupaten berpedoman pada tingkat ketelitian minimal berskala 1:100.000. Pada pasal selanjutnya yakni Pasal 27
disebutkan bahwa dalam hal wilayah Kabupaten yang bentangan wilayahnya sempit dapat menggunakan peta wilayah dengan skala 1 : 50.000 sampai 1 :
100.000. Kabupaten Merauke dinilai memiliki cakupan wilayah yang tidak terlalu luas.
Sesuai dengan aturan skala dan resolusi citra menurut Tobler 1987 bahwa untuk output peta 1 : 50.000, resolusi raster yang direkomendasikan untuk
input data adalah 25 meter. Citra satelit yang mendekati nilai resolusi spasial tersebut adalah citra satelit Landsat-5 dan 7 dengan resolusi spasial 30 meter.
Landsat memiliki lebar sapuan 165 km
2
sehingga Kabupaten Merauke tercakup 6 scene citra Landsat-5 dan 7 ETM+. Tabel 5 menyajikan tanggal pengambilan data
Citra yang digunakan.
Tabel 5. ID Citra Landsat dan Perekaman kawasan Merauke Tipe Citra
Kode Citra
Tahun 2000 Tahun 2012
Landsat ETM+ 100
– 065 22 Oktober 2000
11 Maret 2011 Landsat ETM+
100 – 066
25 Oktober 2001 1 September 2012
Landsat ETM+ 101
– 065 26 Agustus 2000
05 April 2012 Landsat ETM+
101 – 066
10 Agustus 2000 06 September 2012
Landsat ETM+ 102
– 065 16 Mei 2001
19 September 2012 Landsat ETM+
102 – 066
16 Mei 2001 26 Maret 2012
Koreksi Citra Radiometri dan Geometri
Pemrosesan awal citra yang dilakukan adalah proses koreksi yang meliputi koreksi radiometri dan koreksi geometri. Koreksi radiometri menyangkut
perbaikan nilai spektral citra. Citra Landsat yang digunakan telah terkoreksi secara sistematis sehingga tidak diperlukan proses koreksi radiometri dapat
dilihat dari distribusi nilai piksel citra telah berada pada rentang 0-2558 bit. Meskipun citra telah mengalami koreksi secara sistematis, koreksi geometri masih
perlu untuk dilakukan khususnya koreksi lokal agar sesuai dengan fokus daerah
penelitian. Koreksi geometri diperlukan untuk menghilangkan distorsi geometrik sehingga tiap piksel berada pada lokasi planimetrik di peta. Hal ini akan
memudahkan dalam proses ekstraksi informasi yang berhubungan dengan peta tematik lain dalam pemrosesan dengan system informasi geografi Jensen, 1986.
Koreksi geometri pada data citra Landsat perlu dilakukan untuk mengurangi distorsi geometrik selama melakukan akuisis citra, adapun pengaruh
seperti rotasi bumi, kecepatan scenning dari beberapa sensor yang tidak normal dan efek panoramik. Kesalahan geometrik menimbulkan efek terhadap variasi
jarak, luasan, sudut, arah dan bentuk disemua bagian data citra sehingga sangat perlu dikoreksi sebagai data yang bisa digunakan kelak. Koreksi dilakukan agar
semaksimal mungkin menyerupai keadaan aslinya dilapangan. Selanjutnya dilakukan proses rektifikasi yaitu proses melakukan transformasi data dari satu
sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input atau aslinya maka piksel yang
digunakan untuk mengisi citra yang baru harus diresampling kembali.
Acuan koreksi geometri menggunakan citra Landsat Orthorectified yang diakui secara nasional sebagai acuan standar pemetaan. Landsat Ortho telah
dikoreksi dengan menggunakan aspek ketinggian sehingga distorsi topografi dapat diminimalisir. Proses koreksi geometri dilakukan dengan metode Image to Image
yakni dengan mengambil Ground Control Points GCP serta menggunakan perhitungan matematis. GCP adalah lokasi dapat diidentifikasi pada citra yang
akan dikoreksi dan secara akurat terdapat pada petacitra yang telah terkoreksi. Pemilihan lokasi harus benar-benar sama dan diusahakan pada titik yang tidak
memiliki perubahan secara temporal. Ukuran untuk menentukan citra telah terkoreksi secara tepat adalah pada angka Root Mean Square Error RMSE.
Menurut Jensen 2004 bahwa nilai RMSE kurang dari 1 piksel pada axis x dan y.
Selanjutnya dilakukan persamaan transformasi yang berfungsi untuk interpolasi spasial, yaitu persamaan polinomial baik orde 1,2, maupun 3. Contoh
rumus fungsi tersebut sebagai berikut : x= a0 + a1X +a2X + a3XY
y= b0 + b1Y +b2Y + b3XY Dimana : x,y : Koordinat baris, kolom pada image yg belum terkoreksi
X,Y : koordinat kolom pada image yng sudah terkoreksi GCP Pemilihan orde disesuaikan dengan kondisi topografi daerah penelitian.
Kabupaten Merauke relatif memiliki topografi yang datar sehingga persamaan yang digunakan merupakan persamaan polynomial orde 1.
Langkah terakhir adalah melakukan interpolasi intensitas nilai kecerahan dengan salah satu metode Nearest Neighbour, Bilinear Interpolation dan Cubic
Convolution dan membuat citra baru dengan sistem koordinat dan ukuran piksel output sesuai resolusi yang umumnya sesuai resolusi aslinya. Agar tidak terjadi
perubahan nilai piksel digunakan interpolasi Nearest Neighbour yang memperhatikan piksel tetangga terdekat untuk proses interpolasi.
Pengisian Strip Citra Landsat Gap Filling
Citra Landsat sejak tahun 2003 mengalami kerusakan pada band SLC atau dikenal dengan istilah SLC-off sehingga perekaman citra setelah tahun tersebut
mengalami stripgaris-garis hitam hasil pemotretan yang menunjukkan area yang
tidak terpotret oleh sensor. Hal ini dapat menganggu proses interpretasi baik secara visual maupun digital. Untuk memperbaiki stripping citra tersebut
dilakukan proses pengisian gap dengan menggunakan citra yang tidak mengalamai stripping dengan memperhatikan temporal citra yang kurang lebih
sama agar nilai piksel tidak terpaut jauh untuk pengisian nilai piksel citra yang kosong.
Mosaik Citra
Citra yang telah diisi stripping selanjutnya dilakukan penggabungan scene atau dikenal dengan proses mosaik. Proses penggabungan citra tidak ada aturan
khusus namun harus memperhatikan beberapa hal seperti prioritas meletakkan scene yang memiliki tutupan awan rendah serta stripping yang lebih baik secara
visual agar proses klasifikasi tidak memiliki gap yang cukup besar antar scene. Citra harus dilakukan penyesuaian histogram karena memiliki tingkat kecerahan
yang berbeda. Hal ini dilakukan agar perbedaan nilai piksel antar scene bisa diminimalisir. Namun dalam kasus ini, penyesuaian histogram tidak bisa
dilakukan karena terdapat beberapa scene yang berdekatan memiliki waktu perekaman yang berbeda sehingga nilai piksel tidak bisa disesuaikan karena
memang merupakan obyek yang berbeda.
Cropping Citra
Setelah proses penggabungan citra, dilakukan proses pemotongan agar pemrosesan fokus pada area yang dipetakan yakni dengan melakukan tahap image
cropping. Langkah ini berfungsi untuk mengurangi volume kerja komputer maupun waktu pemrosesan. Data pemotong yang digunakan adalah batas
administrasi Kabupaten Merauke yang bersumber dari Bappeda Kabupaten Merauke.
Processing Citra
Processing citra untuk penyadapan informasi penutup lahan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan
klasifikasi multispektral.
Klasifikasi multispektral menggunakan pendekatan nilai piksel dalam mengelompokkan
piksel yang dipandang memiliki karakteristik pantulan yang sama menggunakan aturan perhitungan statistik. Secara ideal asumsi dalam pendekatan klasifikasi
multispektral adalah bahwa piksel yang membentuk satu obyek yang sama memiliki karakteristik spektral yang sama dan obyek yang berbeda akan memiliki
perbedaan karakteristik spectral. Namun, dalam kenyataannya terdapat suatu fakta bahwa obyek yang sama belum tentu memiliki nilai pantulan yang sama ke
sensor, dan obyek yang berbeda bisa memiliki nilai pentulan yang sama akibat dari gangguan respon spektral. Hal inilah yang menjadi kelemahan dengan
pendekatan
multispektral. Klasifikasi
multispektral tidak
menggunakan subyektivitas dominan dalam pengelompokan kelas kenampakan obyek dalam
citra. Klasifikasi multispectral tergolong menjadi 2 pendekatan yaitu unsupervised dimana interpreter tidak terlibat langsung dalam proses klasifikasi klasifikasi
dilakukan oleh komputer berdasarkan pendekatan persamaan nilai piksel dan perhitungan statistik. Yang kedua adalah pendekatan supervised yaitu interpreter
terlibat dalam proses klasifikasi. Dalam pendekatan supervised yakni interpreter
memiliki peran dalam mengambil piksel sample yang mewakili tiap kelas obyek. Dengan adanya peran interpreter ini, kesalahan komputer dalam mengkelaskan
obyek dengan nilai pantulan berbeda namun merupakan obyek yang sama maupun sebaliknya dapat diminimalisir.
Penentuan Kelas Penutup Lahan
Kelas penutup lahan yang akan dicapai pada proses klasifikasi multispektral menggunakan acuan Standar Nasional Indonesia SNI Klasifikasi
Penutup Lahan 7645:2010 untuk skala 1 : 50.000. Klasifikasi penutup dari 17 kelas yang dibuat untuk data tahun 2000 disederhanakan menjadi hanya 8 tipe
yaitu : 1 Lahan hutan, 2 Mangrove, 3 Semak Belukar, 4 Savana, 5 Tubuh air, 6 Lahan terbangun, 7 Lahan Pertanian, 8 Lahan terbuka dan tidak ada data
Awan, Bayangan Awan, No Value Area. Kelas penutup lahan secara rinci tersaji pada Tabel 6. Laporan WWF Indonesia, 2011
Tabel 6. Kelas Penutup lahan hasil penyederhanaan No. Kelas Penutup lahan
Deskriptif 1.
Daerah Pertanian Areal yang diusahakan untuk budidaya tanaman
pangan dan hortikultura. Vegetasi alamiah telah dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti dengan
tanaman anthropogenik dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan
hidupnya. Antar masa tanam, area ini kadang-kadang tanpa tutupan vegetasi. Seluruh vegetasi yang ditanam
dengan tujuan untuk dipanen termasuk dalam kelas ini.
2. 3.
Lahan Hutan Bakau Mangrove
Hutan yang tumbuh dan berkembang di sesuai tipe habitat yang dapat berupa hutan dataran rendah,
perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi.
Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah, belum mengalami intervensi manusia dengan
vegetasi dominan berupa bakau.
4. Semak dan belukar
Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen
dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah alami.
Catatan : Semak belukar di Indonesia biasanya kawasan bekas hutan dan biasanya tidak menampakkan
lagi bekas atau bercak tebangan.
5. SabanaSavana
Areal terbuka yang didominasi berbagai jenis rumput yang tinggi serta rumput rendah heterogen.
6. Lahan terbuka
Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah maupun artifisial. Menurut karakteristik
permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi consolidated dan unconsolidated surface.
7. Lahan Terbangun
Lahan terbangun dicirikan oleh adanya substitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semialami oleh
penutup lahan yang bersifat artifisial dan seringkali kedap air.
8. Tubuh Air
Semua kenampakan perairan, termasuk laut, waduk, terumbu karang, dan padang lamun.
Pengambilan Training Sample
Proses klasifikasi multispectral diawali dengan pengambilan training sample untuk tiap obyek. Pengambilan training sample menggunakan pendekatan
deteksi visual kenampakan citra untuk mendefinisikan kelas tiap obyek. Klasifikasi yang digunakan mengacu pada Standar Nasional Indonesia tentang
klasifikasi penutup lahan untuk skala 1 : 50.000. Proses pengambilan training sesuai aturan klasifikasi multispectral mengambil minimal 100 piksel murni dari
obyek, namun dalam pemetaan ini, pengambilan sampel piksel murni tidak dilakukan pada semua obyek karena terdapat unsur situs dan asosiasi yang
menjadi unsur pembeda utama antara beberapa kelas.
Sebagai contoh untuk kelas Hutan Lahan Kering dan Hutan Rawa akan memiliki pantulan yang sama ketika waktu perekaman berada pada bulan kering.
sehingga digunakan pendekatan asosiasi yaitu hutan rawa relatif dekat dengan objek rawa berbeda dengan hutan lahan kering yang jauh dari obyek rawa. Contoh
lain adalah hutan rawa pasang surut akan memiliki pantulan yang sama dengan hutan rawa, namun dapat digunakan pendekatan situs bahwa hutan pasang surut
akan berada di lokasi yang tidak jauh dari pantai akibat pengaruh proses pasang surut. Pengambilan training sample dilakukan dengan menggunakan pendekatan
visual dengan komposit citra 543 untuk memudahkan dalam pembedaan tutupan vegetasi.
Uji Keterpisahan Training Sample ROI Separability
Proses kalkulasi tingkat keterpisahan antar sampel dilakukan untuk mengetahui tingkat pemisahan atau perbedaan antar kelas. Dengan dasar
perhitungan statistik, komputer melakukan komputasi mengenai tingkat keterpisahan spektral pasangan antar Region Of Interest ROI yang terpilih untuk
input file yang diberikan atau ROI Separability. Nilai ROI Separability ini dapat digunakan untuk menilai apakah training sample telah dapat diterima untuk
proses eksekusi klasifikasi. Nilai ROI Separability mengindikasikan seberapa baik pasangan ROI dapat dipisahkan secara statistik yakni rentang antara 0-2. Nilai
lebih dari 1,9 mengindikasikan bahwa pasangan memiliki keterpisahan yang baik. Pasangan ROI yang memiliki nilai lebih rendahkurang dapat dilakukan
pengambilan training sample ulang Farda, 2008
Proses eksekusi hasil interpretasi dilakukan setelah diperoleh nilai ROI Separability yang dapat diterima, namun akan ada proses verifikasi secara visual
mengenai hasil proses klasifikasi. Hal ini dikarenakan perbedaan temporal citra dalam scene yang overlap sehingga akan ada perbedaan kelas pada scene yang
overlap. Metode klasifikasi yang digunakan adalah Maximum Likelihood yang relative memiliki keunggulan dalam hal akurasi dibandingkan dengan metode
klasifikasi yang lain. Maximum Likelihood menggunakan criteria perhitungan statistic untuk membantu klasifikasi karakter piksel yang tumpang tindih yaitu
piksel dengan nilai probabilitas tertinggi.
Klasifikasi yang telah dilakukan perlu dilakukan evaluasi hasil dengan melihat dan membandingkan secara visual melalui kenampakan yang ada pada
citra. Ketika terdapat kenampakan yang dinilai sama namun terklasifikasi berbeda maupun sebaliknya, akan dilakukan pengambilan ulang training sampel dan
proses klasifikasi ulang hingga didapatkan citra hasil klasifikasi yang sesuai