4.7.3. Totemisme dan Tempat yang Dianggap Penting
Dalam konteks mitologi Suku Malind pandangan totemisme yang disebutkan sebagai ‘Mayo’ meletakan manusia dalam hubungan transenden
dengan leluhur dan bahwa seluruh bagian dari alam merupakan manifestasi dari leluhur yang menjaga kehidupan manusianya, sehingga sumber daya alam adalah
merupakan kesatuan tak terpisahkan dengan manusianyaanim-ha. Dikenal dua kelompok marga besar yaitu Geb dan Sami yang selanjutnya diikuti sub marga
dibawah kedua marga tersebut. Setiap marga memiliki keterikatan spesifik dengan unsur alamnya, seluruh marga yang ada baik dari Geb dan Sami memiliki nama
dan simbol di alam. Hewan babi adalah penjelmaan dari dema basik-basik yang memberi kesempatan kepada marga tersebut memanfaatkan dan menjaga aturan
pemanfaatan hewan ini oleh semua marga lainnya tetapi juga wilayah habitat dari babi menjadi bagian perlindungan dalam pelestarian hewan tersebut. Ini berlaku
juga untuk flora dan gejala alam seperti air, guntur, kilat dan peristiwa-peristiwa alami yang terjadi lainnya.
Ketergantungan terhadap alam yang memberi ruang hidup dan tempat mendapatkan berbagai hasil bumi membuat nilai kearifan juga menyangkut aturan
main dan sangsi yang sangat jelas bagi mereka dan turunannya diberlakukan dan berinteraksi. Sistem membagi hak atas tanah untuk dikelola dan dimiliki sama
untuk orang Melanesia dimana garis paternalistik dari bapak kepada anak laki laki, yang biasanya dilakukan dalam tradisi komunal atau kelompok marga dan
individu si warga itu sendiri.
Dalam memahami pandangan ruang menurut Malind disamping teritori dan habitat yang sudah dijelaskan diatas maka kewilayahan kelola alam juga dikenal
dalam bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yaitu : tempat pemukiman, bevakkebunladang, wilayah berburu, wilayah dusun sagu, tanaman obat,
sumber air, dusun tanam watikumbili ubi ubian, tempat-tempat pamali atau dianggap sakral karena sangat berkaitan dengan penguburan, leluhur dan ritual
tertentu. Wilayah-wilayah kelola tersebut merupakan dimensi eksistensi transenden dengan leluhur, ilmu pengetahuan yang diwariskan secara turun-
temurun melalui inisiasi adat.
Nilai yang dianut secara arif melalui wilayah kelola kemudian dipetakan secara partisipatif dan disepakati dalam konsesus bersama seluruh sub Suku
sebagai ‘Tempat penting’ Suku besar Malind. Pemetaan partisipatif yang digagas sejak tahun 2006 lalu tersebut melahirkan dokumen peta Tempat penting
masyarkat adat Malind besar skala satu Kabupaten. Gambaran Tempat penting tersebut tidak terlepas dari pandangan nilai kearifan lokal pelestarian alam yang
mencakup enam aspek penting antara lain seperti yang disajikan pada Tabel 9.
4.8 Penataan Ruang Kabupaten
Pelaksanaan penataan ruang disusun berdasarkan subsistemnya yang mencakup perencanaan, implementasi dan pengendalian. Rustiadi, 2011
Perencanaan tata ruang melalui penyusunan dokumen RTRW ditingkat Kabupaten seperti di Kabupaten Merauke telah dilaksanakan sejak tahun 2006
sampai dengan ditetapkannya peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Merauke masa 2010-2030 pada November 2011. Pola lindung dalam kearifan
lokal Suku Malind yang disebut ‘Tempat penting’ telah masuk dan ditetapkan
sebagai bagian pada kawasan lindung dengan nama cagar budaya. Tabel 9. Simbol dan makna enam elemen Tempat penting
Simbol Jenis
Arti simbol
Tempat sakral Segi 7 melambangkan 7 penjuru mata angin,
warna merah merupakan warna sakral, dan titik hitam ditengah melambangkan patok tanda
larangan dan sangat penting
Persinggahan leluhur
Segi 7 melambangkan 7 penjuru mata angin, warna merah artinya tidak boleh diganggu,
namun tidak mendasar tidak terlalu penting Perjalanan leluhur
warna merah merupakan salah satu warna adat penting dan garis perjalanan lebih tebal
Dusun sagu gambar pohon sagu dewasa dan tunas sagu,
mengandung arti pohon sagu dewasa dapat diambil oleh generasi saaat ini, dan sagu anak
untuk generasi mendatang
Sumber air lingkaran melambangkan air yang diam
seperti sumur, danau , rawa dan gelombang cabang kecil melambangkan air mengalir
seperti sungai
Kawasan konservasi adat
diberi warna merah tapi agak mudah, menunjukkan kawasan yang penting untuk
konservasi tetapi bukan daerah yang dilarang, oleh masyrakat dapat digunakan untuk
mengambil hasil hutan.
Sumber : Hasil konsesus Suku Malind tahun 2006
Konsep perlindungan kawasan Tempat penting bagi suku setempat menjadi bagian yang harus dipertimbangkan secara baik dalam penataan ruang
pembangunan. Beberapa pasal dalam perda RTRW dengan jelas telah menjelaskan tentang tempat penting yaitu : pasal 17 d, 20c, 21c, 35b dan
lampirannya. Cagar budaya dalam pola ruang dengan simbol garis putus-putus berwarna ungu yang menunjukan keberadaaannya dalam peta RTRW
Kabupaten masih bersifat imaginer.
Berawal dari visi agropolitan tahun 2006 – 2011, perekonomian berbasis
pertanian diupayakan dengan berbagai cara untuk berkembang dan menghasilkan pemasukan yang utama bagi daerah. Masuknya investasi skala luas di Kabupaten
Merauke disatu sisi menunjukan bahwa Merauke memiliki kekayaan sumber daya alam berupa lahan yang sangat menjanjikan terutama bagi komoditi seperti kelapa
sawit, tebu dan jenis tanaman pangan seperti padi dan palawija.
Digelarnya rencana nasional perluasan lahan pangan yang disebut Merauke Integrated Food and Energy EstateMIFEE, disampbut pemerintah daerah dengan
alokasi untuk tahap awal lahan seluas 228.023 ha. Lokasinya dibagi dalam empat klaster pengembangan yaitu : Klaster Merauke termasuk distrik Semangga,
Tanah Miring, Jagebob; klaster Kali Kumbe termasuk Distrik Jagebob dan Sota,
dan klaster Muting mencakup Muting, Eligobel dan Ulilin. Luasan lahan dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 12.