Penataan Ruang Wilayah Wisdom Perspective of Malind Tribe Important Sites as Referrals in Detailed Land Use Plan Preparation of Merauke Regency

menginterpretasi pengalaman dan membentuk tingkah laku, dan ethnografi merupakan penelitian yang membahas kebudayaan, baik yang eksplisit maupun implisit. Penelitian etnografi memusatkan perhatian pada keyakinan, bahasa, nilai- nilai, ritual, adat-istiadat dan tingkah laku sekelompok orang yang berinteraksi dalam suatu lingkungan sosial-ekonomi, religi, politik, dan geografis. Analisis etnografi bersifat induktif dan dibangun berdasarkan perspektif orang-orang yang menjadi partisipan penelitian. Karena obyek etnografi adalah kebudayaan yang memiliki unsur eksplisit dan implisit, proses pelaksanaannya menjadi unik dibandingkan dengan penelitian lain. Penelitian tentang unsur-unsur kebudayaan yang eksplisit dapat dilakukan dengan cukup mudah karena unsur-unsur kebudayaan seperti itu relatif dapat diungkapkan partisipan secara sadar. Namun bila penelitian berhubungan dengan unsur-unsur kebudayaan yang implisit, yang dipahami secara tidak sadar oleh pemiliknya, data dan makna harus disimpulkan secara hati-hati berdasarkan penuturan dan tingkah laku para patisipan. Hal inilah yang membuat seorang etnografer perlu terlibat dalam kehidupan masyarakat yang diteliti dengan berperan sebagai pengamat berparisipasi participant-observer. Spradley 1980 menekankan: participation allows you to experience activities directly, to get the feel of what events are like, and to record your own perceptions. Menurut Creswell 2008, penelitian etnografi dapat dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang atau pola ‘kaidah-kaidah’ yang mendasari sesuatu yang ‘dialami’ atau ‘dimiliki’ oleh sekelompok orang secara bersama, seperti tingkah laku, bahasa, nilai-nilai, adat-istiadat dan keyakinan. Penelitian etnografi memiliki beragam bentuk, akan tetapi jenis utama yang sering muncul dalam laporan-laporan penelitian pendidikan adalah etnografi realis, studi kasus, dan etnografi kritis. Penelitian ini kemudian akan mengarahkan tujuan pertama untuk menggali lebih jauh Tempat penting dengan menggunakan pendekatan kualitatif etnografi realis menggunakan teknik bola salju dan pemetaan partisipatif. Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penelitian kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks ‘ keseluruhan cara hidup ’, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif,termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah. Metode pengumpulan data yang utama adalah observasi atau wawancara yang kemudian melalui catatan lapangan semua hasil dicatat dan didokumenkan. Tahapan berikutnya adalah validisasi mengacu pada upaya membuktikan bahwa apa yang ada dalam dunia kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia mamang sesuai dengan sebenarnya ada atau terjadi. Tahap akhir adalah menganalisis dan membuat simpulan akhir yang memenuhi harapan objektifitas dalam penyimpulan hasil.

2.8 Konsensus Pemetaan Partisipatif Masyarakat adat Malind tentang

kearifan Tempat penting Pemetaan Partisipatif PP atau participatory mapping sudah dikenal di dunia dalam perkembangan teori-teori sosial dan antropologi sejak dekade 1980an, dimana teori partisipatif diperkenalkan dengan melihat paham positivistik lebih bersifat perencanaan teknokratik tanpa melihat perkembangan dan keberadaan masyarakat. Di Indonesia sejak tahun 1992 telah dipublikasi hasil pemetaan partisipatif di Long uli perbatasan Taman Nasional Kayang Mentarang, dan kemudian munculah forum Jaringan Komunikasi Pemetaan Partisipatif JKPP pada sekitar tahun 1996 memperkuat kegairahan dalam mengusung gerakan ini secara terkoordinasi dan lebih terogranisir. Tercatat sampai kini tercatat kurang lebih 510 komunitas yang telah melaksanakan kegiatan ini di seluruh Indonesia, dengan berbagai tujuan yang muaranya pada penyelesaian konfik lahan secara horisontal antar masyarakat maupun vertikal antar masyarakat dengan pihak pemerintah dan swasta, selain itu tujuan lain dari pemetaan adalah sebagai upaya mempersiapkan masyarakat melakukan langkah pengelolaan lahan secara spasial. Misalnya, peta digunakan untuk mengetahui pola pemanfaatan sumber daya alam secara tradisional, tetapi juga peta digunakan untuk membangun identitas seperti yang dilakukan di Jayapura, Papua oleh PtPPMA dengan masyarakat adat Nambluong. Contoh lain dapat dilihat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur serta banyak lagi daerah lainnya. Safitri, 2009 High Conservation Value atau kawasan bernilai konservasi Tinggi adalah alat pendekatan yang digunakan oleh berbagai lembaga Swadaya Masyarakat seperti misalnya Yayasan WWF Indonesia melalui Panduan HCV yang dikeluarkan oleh konsorsium HCV Tolkit Indonesia. Konsep High Concervation Value HCV atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi muncul pada tahun 1999 sebagai ‘Prinsip ke sembilan λ’ dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan Forest Stewardship Council FSC. Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV adalah bahwa wilayah-wilayah yang dijumpai atribut dengan nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep HCV mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan danatau peningkatan HCV tersebut. Dalam hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. Konsorsium Toolkit HCV, 2008. Penyusunan dokumen kearifan nilai adat Malind dengan memasukan unsur HCV sebagai bagian dari pemikiran lingkungan diinisiasi dalam proses pemetaan partisipatif nilai kearifan dan pemetaan Tempat penting di Kabupaten Merauke. Hal ini merupakan alternatif menjawab kesiapan masyarakat Malind dalam memperjuangkan dihormati dan diakuinya hak atas pengelolaan sumber daya alam mereka dalam setiap kebijakan pembangunan terutama penataan ruang di Kabupaten Merauke. Pemetaan Partisipatif Tempat penting bagi Suku Malind sendiri bertujuan untuk mengidentifikasi semua Tempat penting dalam skala Suku dan wilayah adat Malind anim yang antara lain wilayah khima-khima, makleuw, Muli anim, Kum-animMalind anim, mbian anim, imbutirahuk anim, nggawil anim, Marori Mengey, Kanume dan Yeinan. Sejalan dengan inisiatif adat tersebut pada tahun 2006 telah dibangun ikrar bersama antara masyarakat adat dan para pihak di dua negara Indonesia dan Papua New Guinea melalui dokumen visi- misi TransFly yang isinya merumuskan dan menghasilkan peta TransFly. Peta tersebut telah mengakomodir Tempat penting masyarakat adat dan visi ekoregion