Profil Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Kehutanan

V. ANALISIS PERTUMBUHAN GROSS OUTPUT SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN

5.1. Profil Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia

Sektor berbasis kehutanan adalah sektor yang outputnya terdiri dari kayu, hasil hutan non kayu, dan kayu olahan. Berdasarkan klasifikasi sektor dalam tabel I-O Indonesia, sektor berbasis kehutanan terdiri dari sektor kayu dan hasil hutan lainnya kehutanan dan sektor industri kayu yang dirinci menjadi industri kayu gergajian, industri kayu lapis, industri pulp dan industri barang yang terbuat dari kayu, bambu dan rotan atau disebut sebagai industri mebel dan kerajinan. Sektor- sektor tersebut memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Adapun perkembangan secara umum masing-masing sektor diuraikan berikut ini.

5.1.1. Profil Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Kehutanan

Peran sektor kayu dan hasil hutan lainnya atau sektor kehutanan pada dekade 1980-an merupakan sektor strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional saat itu yang masih bertumpu pada sumberdaya alam, khususnya kayu dan produk turunannya dalam menghasilkan devisa. Namun demikian, saat ini kondisi sumberdaya hutan Indonesia berada dalam kondisi yang kritis akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa memperhitungkan aspek kelestarian dan lingkungan. Selama ini pemanfaatan hutan khususnya kayu dilakukan dengan cara menebang besar-besaran di hutan alam yang ketersediaannya semakin menipis. Oleh karena itu, esensi pembangunan kehutanan ke depan yaitu mengoptimalkan pengelolaan hutan yang masih tersisa melalui pengelolaan hutan lestari. Dengan pengelolaan ini diharapkan kontribusi sektor kehutanan dapat lebih berperan dalam pembangunan ekonomi nasional ke depan khususnya dalam kontribusinya terhadap PDB nasional yang selama satu dekade terakhir terus menurun, penyerapan tenaga kerja, mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan dalam jangka panjang sektor kehutanan diharapkan dapat kembali menyumbangkan perolehan devisa dan penerimaan negara lainnya secara lebih signifikan. Dalam revitalisasi sektor kehutanan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2004 - 2009 disebutkan bahwa salah satu kebijakan prioritas pembangunan sektor kehutanan adalah mendorong investasi yang difokuskan pada pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI karena luasan hutan pada hutan alam semakin menipis. Menurut Departemen Kehutanan 2009a, areal pengusaan hutan pada hutan alam hingga tahun 2008 sebagian besar tersebar di pulau Kalimantan sekitar 12.2 juta hektar dari total 26.2 juta hektar dan paling sedikit tersebar di pulau Maluku sekitar 1.5 juta hektar. Pengembangan HTI dilatarbelakangi oleh kondisi kesenjangan antara kapasitas industri perkayuan dengan pasokan bahan baku kayu yang pada waktu itu hanya mengandalkan dari kayu hutan alam. Jenis tanaman HTI yang dibudidayakan pada umumnya jenis kayu cepat tumbuh seperti akasia, sengon, eucaliptus, gmelina dan lainnya. Pada saat itu pembangunan HTI ditargetkan seluas 6 juta hektar, dengan perkiraan pada waktu panen akan mampu mendukung kebutuhan industri bersama-sama kayu dari hutan alam. Pembangunan investasi HTI sendiri dimulai sejak tahun 1990. Pada mulanya, pembangunan HTI diarahkan pada areal hutan yang tidak produktif dengan kriteria potensi pohon berdiameter 50 cm kurang dari 20 m 3 per hektar. Kemudian berkembang berdasarkan jumlah ketersediaan pohon serta anakan dengan jumlah tertentu. Sejak tahun 2000 pemerintah hanya mengeluarkan ijin HTI di dalam kawasan hutan produksi pada areal-areal non hutan tanah kosong, alang-alang, semak belukar sehingga pada areal-areal tersebut tentunya tidak akan diterbitkan Ijin Pemanfaatan Kayu IPK yang selama ini seringkali dicurigai sebagai motivasi utama dari investor yang berinvestasi dalam usaha hutan tanaman. Kebijakan tersebut sekaligus merupakan komitmen untuk mulai mengkonservasi dan memelihara sisa hutan alam di Indonesia. Kebijakan pemberian ijin HTI atau Usaha Hutan Tanaman hanya pada areal non hutan di dalam kawasan hutan produksi ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1Kpts-II2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman IUPHHK-HT. Istilah tersebut mengacu kepada UU 411999 tentang Kehutanan, menggantikan istilah Hutan Tanaman Industri HTI. Pada perkembangannya, investasi pada IUPHHK-HT belum optimal dilakukan dan realisasinya masih jauh dari yang diharapkan. Sampai dengan pertengahan tahun 2001, tanaman yang terealisasi pada areal Usaha Hutan Tanaman seluas 1.9 juta hektar tidak termasuk hutan tanaman yang dikembangkan Perum Perhutani di Jawa, hutan tanaman unggulan yang dikembangkan secara swakelola oleh Dinas-Dinas Kehutanan di Indonesia, serta hutan rakyat yang dikembangkan pada lahan milik masyarakat. Sedangkan jumlah ijin yang telah diberikan secara definitif sebanyak 104 unit, terdiri dari 21 unit HTI pulp, 32 unit HTI pertukangan dan 51 unit HTI-Trans. Kemudian sampai dengan tahun 2006, pengembangan Hutan Tanaman Industri HTI mencapai sekitar 3 juta hektar dan pada akhir tahun 2007 mencapai 3.57 juta hektar. Angka ini baru mencapai separuh dari yang ditargetkan oleh Departemen Kehutanan yaitu sekitar 5 juta hektar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009. Menurut Departemen Kehutanan 2009, sampai dengan bulan Desember 2008 perusahaan IUPHHK-HT sebanyak 227 unit perusahaan dengan total areal kerja seluas 10.04 juta hektar. Pada tahun 2008 realisasi tanaman pada HTI seluas 4.31 juta hektar. Hingga saat ini, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan terus mendorong pengembangan investasi di Hutan Tanaman Industri untuk mendorong pembangunan industri kayu olahan yang mengalami kekurangan pasokan kayu bulat yang selama ini masih mengandalkan dari hutan alam yang persediaannya semakin menipis. Adanya investasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan peran sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional ke depan.

5.1.2. Profil Sektor Industri Kayu Gergajian