Pemasaran Gula Rafinasi Impor Bahan Baku dan Gula Rafinasi

Dari jumlah perusahaan industri makanan dan minuman, lebih 80 persen pengguna gula rafinasi adalah industri besar. Meskipun mengalami penurunan yang cukup tinggi dari tahun 1997 sampai tahun 2001 akibat krisis moneter yaitu sekitar 12.07 persen, namun kondisi pada tahun 2006 mengalami perbaikan dimana persentasi jumlah perusahaan industri besar naik lebih tinggi dibandingkan indsutri sedang. Hal ini berarti bahwa semakin meningkatnya tingkat kepercayaan dalam berinvestasi di Indonesia yang ditentukan dari skala ekonomi perusahaan besar yang semakin besar dan efisien.

4.7. Pemasaran Gula Rafinasi

Jika dilihat dari penggunaan gula rafinasi pada industri makanan dan minuman, gula rafinasi yang diproduksi dalam negeri hampir 100 persen diserap oleh industri makanan dan minuman. Hal ini sesuai dengan Kepmenperindag No. 643MPPKep92002 mengenai tataniaga impor gula yang mengatur mengenai penggunaan gula rafinasi hanya dipergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi. Perusahaan industri makanan dan minuman memperoleh gula rafinasi dari pabrik rafinasi melalui jalur penjualan pemesanan atau kontrak beli pada .pabrik rafinasi. Pembelian gula rafinasi dalam negeri memiliki kemudahan dalam prosedur, cara pembayaran serta tidak selalu tunai, dapat diperoleh dalam tempo dua minggu dampai satu bulan, dan dapat diperoleh secara partai kecil minimal 50 ton. Sementara kalau melalui impor banyak kendala seperti masalah prosedur, misalnya setelah memperoleh rekomendasi dan pengakuan sebagai IP gula juga harus melakukan verifikasi oleh PT Sucofindo, pembayaran dan pesanan jumlah besar, serta harus melakukan kontrak jauh hari sedangkan harga gula rafinasi di pasar dunia tidak menentu Munir, 2006. Pada dasarnya pemasaran gula rafinasi dari pabrik gula rafinasi ke industri makanan dan minuman bersifat oligopoli Soebekty, 2005. Jumlah pabrik rafinasi sebagai penjual gula rafinasi sangat sedikit dan terbatas dibandingkan jumlah industri pengguna gula rafinsi. Keadaan ini seharusnya menimbulkan ketergantungan indsutri makanan dan minuman kepada pabrik rafinasi dan posisi pabrik rafinasi dalam pembentukan harga menjadi sangat kuat. Namun dalam kenyataan di lapangan, dengan adanya kebijakan pengaturan impor Kepmenperindag No. 643MPPKep92002 dimana dalam kepmen ini diatur ada beberapa industri makanan dan minuman yang dapat langsung melakukan impor gula rafinasi, menyebabkan posisi pabrik rafinasi tidak terlalu dominan.

4.8. Impor Bahan Baku dan Gula Rafinasi

Untuk memenuhi permintaan gula rafinasi, impor bahan baku gula mentah dapat dilakukan oleh pabrik gula rafinai sesuai dengan rasio impor atau jatah yang berlaku. Pemasok gula mentah terbesar adalah Thailand dan Australia, yang diduga karena faktor lokasi yang berdekatan dengan indonesia. Ketergantungan bahan baku gula mentah bagi pabrik gula rafinasi di dalam negeri masih cukup besar, perkembangan impor gula mentah dan gula rafinasi selama sepuluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4. Dari tabel tersebut terlihat bahwa peningkatan impor terjadi baik gula mentah maupun gula rafinasi. Bertambahnya impor ini tidak terlepas dari beberapa faktor seperti peningkatan kapasitas produksi pabrik rafinasi, penawaran dan permintaan gula rafinasi oleh industri dalam negeri, tingkat harga domestik terhadap harga dunia serta kebijakan pemerintah dalam industri pergulaan dari mulai tingkat usahatani sampai tingkat industri pengolahan makanan dan minuman. Dilihat dari sisi penawaran dan permintaan, produksi gula rafinasi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan bahan baku industri pengolahan makanan dan minuman, sehingga sisanya harus impor. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir 2006 pada salah satu pabrik gula rafinasi, dengan respondennya adalah industri pengguna gula rafinasi yang pernah membeli gula rafinasi di pabrik tersebut menyatakan bahwa 60 persen keputusan pembelian gula yang dilakukan sangat ditentukan oleh perkembangan harga jual gula rafinasi di pasar dunia, sedangkan sisanya disebabkan faktor kualitas dan mutu produk yang dirasakan kurang stabil serta kontinuitas produk.

4.9. Kebijakan Pemerintah mengenai Gula Rafinasi