Kebijakan Pemerintah dalam Industri Gula

pendamping gula antara lain bahan bakar nabati biofuel, penyedap masakan atau MSG, pakan ternak dan lain-lain.

2.2. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Gula

Telah diketahui bahwa sejumlah industri gula di Indonesia terutama yang berstatus BUMN berkinerja rendah dan tidak efisien yang ditunjukkan oleh menurunnya tingkat produktivitas tebu maupun rendemennya. Berbagai faktor mempengaruhi inefisiensi ini berkaitan erat dengan kebijakan politik dan ekonomi makro maupun ekonomi mikro dan manajemen pabrik. Sampai dengan tahun 2005, pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan, yang secara langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi dan kebijakan harga Tabel 5. Diantara berbagai kebijakan produksi dan kebijakan input, kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 91975, pada tanggal 22 April 1975. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi gula serta pendapatan petani tebu. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik gula. Pada awal tahun 1990-an, kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi luas areal, produktivitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 51997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Inpres tersebut juga mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula, baik melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga penelitian maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan tebu rakyat Sudana, 2000. Namun Inpres tersebut dicabut dengan Inpres No 51998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No. 121996. Selain kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula dalam negeri. Beberapa kebijakan terpenting adalah Kepmenperindag No. 25MPPKep11998 yang tidak lagi memberi monopoli pada Bulog untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Ketika harga gula dalam negeri terus merosot pada pertengahan tahun 2002 dan tekanan produsen semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya pada Importir Produsen IP dan Importir Terdaftar IT. Saat liberalisasi perdagangan diberlakukan tahun 1998, gula impor masuk ke pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah. Hampir seluruh negara penghasil gula utama melakukan intervensi dalam berbagai bentuk kebijakan dengan intensitas berbeda-beda, antara lain dalam bentuk subsidi input kredit, jaminan harga pembelian, tarif dan kuota impor. Intervensi ini juga diterapkan di Indonesia melalui pengaturan tarif atau bea masuk yaitu Kepmenkeu No.324KMK.012002. Tujuan dari kebijakan tersebut diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan ini ditempuh pemerintah untuk mencukupi kekurangan gula. Gula yang diimpor IP hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75 persen berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No.643MPPKep 92002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3 100 per kilogram. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan tersebut direvisi dengan Kepmenperindag No. 527MPPKep92004 tentang Ketentuan Impor Gula , yang mewajibkan IT untuk menyangga harga di tingkat petani pada tingkat Rp 3 410 per kilogram. Pada bulan Mei 2005, harga ditingkat petani yang merupakan harga minimum dengan mekanisme dana talangan oleh investor ditetapkan Rp 3 800 per kilogram. Estimasi total impor gula Indonesia saat ini bervariasi mulai dari 450 ribu ton gula putih, versi DGI, lalu 1.8 juta ton gula mentah, versi AGRI dan 2.4 juta ton gula total, versi Departemen Pertanian Amerika Serikat-USDA. Walaupun demikian, volume impor gula di atas sebenarnya tidak terlalu besar dibandingkan estimasi produksi gula dunia tahun 20072008 yang tercatat 167.1 juta ton Arifin, 2008. Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah kebijakan protektif, salah satunya soal tataniaga impor gula. Pemerintah telah menetapkan tarif Rp 550 per kilogram gula mentah dan Rp 700 per kilogram gula putih. Tahun 2002, kebijakan ini dikombinasikan dengan kuota impor yang diberikan kepada IT dan IP lewat Kepmenperindag No 643MPPKep92002, tentang Tataniaga Impor Gula TIG. Ini membuat Indonesia melangkah pada kebijakan tariff rate quota TRQ. Tabel 5. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Indonesia Nomor SKKeppresKepmen Perihal Tujuan Keppres No. 431971, 14 Juli 1971 Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula Menjaga kestabilan pasokan gula sebagai bahan pokok Surat Mensekneg No. B.136ABN SEKNEG 374, 27 Maret 1974 Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP Penjelasan mengenai Keppres No. 431971 yang meliputi gula PNP Inpres No. 91975, 22 April 1975 Intensifikikasi tebu rakyat TRI Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122 KpIII81, 12 Maret 1981 Tataniaga gula pasir dalam negeri Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Kepmenkeu No. 342KMK.0111987 Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik UU No. 121992 Budidaya tanaman Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar Inpres No. 51997, 29 Desember 1997 Program pengembangan tebu rakyat Pemberian peranan kepada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Inpres No. 51998, 21 Januari 1998 Penghentian pelaksanaan Inpres No. 51997 Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 121992 Kepmen perindag No. 25MPPKep11998 Komoditas yang diatur tataniaga impornya Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang Kepmenhutbun No. 282Kpts- IX1999, 7 Mei 1999 Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi Kepmenperindag No. 363MPP Kep81999, 5 Agustus1999 Tataniaga impor gula Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen Kepermenindag No. 230MPP Kep61999, 5 Juni 1999 Mencabut Kepmenperindag No. 363MPPKep81999 Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri. Kepmenkeu No. 324KMK.012002 Perubahan bea masuk Peningkatan efektivitas bea masuk Kepmenperindag No. 643MPPKep92002, 23 September 2002 Tataniaga impor gula Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petaniprodusen Kepmenperindag No. 527MPPKep92004: Penyempurnaan tataniaga impor gula IT wajib menyangga harga di tingkat petani dan impor dilakukan bila harga minimum Rp 3 410 Sumber: Susila, 2005 Dalam keputusan ini juga diatur jenis impor gula yang meliputi raw sugar, refined sugar dan plantation white sugar, serta membatasi IT hanya lima perusahaan juga dikritik karena potensial merupakan bentuk terselubung dari praktik monopoli. Posisi IT yang merupakan produsen gula, potensial menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan sebagai produsen dengan pedagang. Seperti diketahui, inti TIG sebenarnya mengatur pemasukan impor gula waktu, jumlah dan tujuan, baik impor gula mentah maupun gula putih. Impor gula mentah hanya bisa dilakukan IP yang diakui oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri yang direkomendasi oleh Dirjen Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Depperindag dan Dirjen Bina Produksi Perkebunan Deptan. Waktu impor pengapalan gula, jumlah dan jenis gula yang diimpor dibatasi. Gula mentah tak boleh langsung diperjualbelikan di pasar. Impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh IT gula yang ditunjuk oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Depperindag yang minimal 75 persen bahan bakunya bersumber dari petani tebu. Melalui kinerja usahatani tebu, upaya intervensi melalui kebijakan tataniaga dan langkah revitalisasi industri gula di dalam negeri outcome yang diharapkan bahwa target swasembada gula bisa dipenuhi. Berbagai kebijakan di atas dapat dipetakan seperti disajikan pada Gambar 3. Dalam memasuki era liberalisasi, pemerintah telah memasukkan gula ke dalam highly sensitive list. Ini berarti untuk AFTA liberalisasi ditunda sampai 2010 yang berarti gula impor tetap dikenakan bea masuk sampai 2010. Impor juga harus dilakukan pada saat giling atau ketika stok tidak cukup, dan tidak ditujukan pada sentra penghasil gula utama Jawa dan Lampung. Lahan HGU Lahan Sewa Lahan Petani Lahan Petani Pasar White Sugar PG Rafinasi Raw Sugar Impor Pabrik Gula Bank TRI Mandiri Kemitraan PG sbg Avalist Kebijakan Harga Kebijakan Impor dan Tarif Bea Masuk Sistem TRI 51998 Sistem TRI INPRES 975 Kebijakan Kredit Sistem Bagi Hasil Pola Kemitraan Kebijakan Pemanfaatan Dana dan Bea Masuk Impor K ebi ja ka n I m p o r da n T ar if B ea M as uk R eh ab il ita si P ab rik G u la P en in g k ata n P ro d u k ti v ita s L ah an K ebi ja ka n P em as ar an Sumber : Departemen Pertanian dan Lembaga Penelitian IPB, 2002 Gambar 3. Kebijakan Pergulaan Nasional

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu