II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Industri Gula Indonesia
2.1.1. Perkembangan Produksi Gula dan Pola Pengusahaan
Industri gula merupakan usaha dari sektor perkebunan tebu. Hal ini disebabkan karena gula dalam negeri merupakan hasil pengolahan dari tebu oleh
pabrik-pabrik gula yang ada, meskipun belakangan sedang dikembangkan industri gula yang menggunakan bahan baku gula mentah. Perkembangan industri gula
dalam negeri sangat tergantung pada perkembangan perkebunan tebu. Dalam perkembangannya industri gula dalam negeri pernah mengalami
kejayaannya. Data produksi gula dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produksi Tabel 1. Selain disebabkan karena peningkatan luas
areal, berbagai kebijakan pemerintah seperti kebijakan tataniaga impor dan program akselerasi peningkatan produktivitas berdampak positif pada peningkatan
produksi gula dalam negeri. Efisiensi industri gula yang dicerminkan dari produktivitas tebu dan
hablur pernah dicapai selama periode 1930-1940. Pada saat itu, produktivitas tebu hampir mendekati 140 ton per hektar dan produktivitas hablurnya sekitar 18 ton
per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas tebu dan hablur saat ini yang hanya sekitar 78 dan 6 ton per hektar. Berbagai program peningkatan
industri gula yang dibuat pemerintah sejak tahun 1950 hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Selama diberlakukannya program Tebu
Rakyat Intensifikasi TRI, yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975, produktivitas tebu dan hablur mengalami penurunan dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Luas areal tanaman tebu saat ini sekitar 439 ribu hektar, dan 63 persen
berada di Jawa. Dari luasan pertanaman tebu di Jawa tersebut, sekitar 40 persen diusahakan di lahan sawah dan 60 persen di lahan tegalan. Namun karena
tebu tidak lagi mampu bersaing dengan tanaman alternatifnya, khususnya padi, tanaman tebu sejak akhir tahun 1980 tidak lagi ditanam pada lahan sawah
berpengairan teknis. Sebagai akibatnya, di Jawa saat ini pertanaman tebu hampir seluruhnya berada di lahan sawah tadah hujan dan lahan tegalan,
sementara di luar Jawa seluruhnya diusahakan di lahan tegalan. Pada tahun 1930 tercatat ada sekitar 179 PG, kemudian seiring dengan
terjadinya malaise, jumlah PG yang beroperasi pada tahun 1935 turun hingga tinggal 38 buah. Pada tahun 1940, jumlah PG yang beroperasi meningkat lagi
menjadi 92 buah, kemudian turun pada saat perang kemerdekaan dan pada tahun 1950 tercatat hanya 30 PG yang beroperasi. Pada saat nasionalisasi tahun 1957,
jumlah PG yang beroperasi tercatat 52 buah dan meningkat lagi pada tahun 1962 menjadi 55 buah. Berdasarkan data sampai tahun 2004, PG yang beroperasi
adalah 58 PG dengan total kapasitas terpasang sekitar 198 ribu ton tebu per hari.
Kinerja PG cenderung menurun disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling tidak mencapai standar. Berdasarkan hubungan
usahatani dan PG, industri gula dalam negeri dibedakan antara perusahaan gula pengelola Hak Guna UsahaHGU di luar Jawa dan tanpa HGU umumnya di
Jawa. Untuk perusahaan gula pengelola HGU, usahatani tebu dan PG terintegrasi dalam satu pengelolaan PG. Secara teknis perencanaan tanam, komposisi
varietas, masa tanam dan masa tebang serta penerapan baku teknis budidaya
dan pasca panen sangat dimungkinkan untuk sesuai dengan tuntutan persyaratan teknis PG dan dengan biaya pengadaan bahan baku yang relatif murah. Ini
merupakan salah satu penentu keunggulan PG-PG di luar Jawa, terutama di Lampung, bila dibandingkan dengan PG-PG di Jawa yang umumnya tidak
mengelola HGU. PG-PG di Jawa umumnya, usahatani tebu dikelola petani, sedangkan
PG dikelola oleh perusahaan gula. Keduanya bermitra, petani sebagai pemasok bahan baku tebu dan PG mengolah tebu menjadi gula dalam suatu sistem
bagi hasil. Dalam hubungan kemitraan itu, kegiatan produksi gula sesungguhnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu petani menghasilkan gula dalam bentuk
sukrosa yang tersimpan dalam batang tebu, dan PG mengambil sukrosa dalam batang tebu dan mewujudkannya dalam bentuk kristal. Hubungan produksi yang
demikian itu mengandung potensi konflik kepentingan, terutama pada saat pengaturan pembagian manfaat.
2.1.2. Perkembangan Konsumsi dan Harga Gula