Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Identifikasi dan Pendugaan Model

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan deret waktu time series sejak tahun 1980 sampai dengan 2007 yang diperoleh dari berbagai lembaga atau instansi terkait dengan penelitian ini, antara lain Badan Pusat Statistik BPS, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Dewan Gula Indonesia DGI, Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia AGRI serta Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia GAPMMI. Data dari berbagai instansi ini digunakan sebagai pelengkap dalam melakukan analisis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari sampai Mei 2009.

4.2. Metode Analisis

Untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama digunakan analisis deskriptif dengan melakukan analisis mendalam berkenaan dengan kondisi industri gula rafinasi di Indonesia. Data yang bersumber dari instansi terkait akan digunakan sebagai pelengkap pada analisis ini. Untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua dan ketiga yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan industri gula, khususnya gula rafinasi dan untuk menganalisis dampak dari penerapan kebijakan pemerintah adalah menggunakan model persamaan simultan dengan melakukan simulasi beberapa skenario kebijakan perdagangan.

4.3. Model Ekonometrika

Model ekonometrika adalah suatu model statistik yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang mencakup unsur stokastik yang terdiri dari satu atau lebih peubah acak Intriligator, 1978. Menurut Koutsoyiannis 1977, dikatakan suatu model yang baik harus dapat memenuhi kriteria ekonomi theoritically meaningfull, kriteria statistik yang dilihat dari suatu derajat ketepatan goodness of fit biasanya dengan melihat R 2 signifikan secara statistik, dan kriteria ekonometrika yaitu apakah suatu pendugaaan model memiliki sifat unbias, konsistensi, kecukupan, dan efisiensi. Model persamaan simultan merupakan model yang mengandung lebih dari satu persamaan, dimana sejumlah persamaan membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara berbagai peubah dalam persamaan-persamaan tersebut. Ciri unik dari model persamaan simultan adalah bahwa peubah tak bebas dalam satu persamaan mungkin muncul sebagai peubah yang menjelaskan dalam persamaan lain dari sistem. Fungsi permintaan dan penawaran tersebut dianalisis menggunakan persamaan simultan. Dengan alasan persamaan simultan dapat melakukan analisis terhadap dua persamaan secara bersama-sama. dalam model ini tidak mungkin menaksir hanya satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan lain. Untuk memahami fenomena ekonomi pergulaan di Indonesia diperlukan suatu kerangka pendekatan analisis yang sederhana tetapi cukup komprehensif. Pada dasarnya, keterkaitan yang terjadi antara komponen permintaan, penawaran, harga, pendapatan masyarakat dan penetapan harga gula saling terkait secara simultan dan dinamis dalam suatu sistem pasar gula. Perubahan pada salah satu komponen akan berpengaruh terhadap komponen yang lain dan biasanya akan terjadi efek balik pada periode waktu yang sama atau periode waktu berikutnya. Model industri gula rafinasi indonesia didasarkan pada kerangka teori maupun fenomena yang terjadi yang mencerminkan keterkaitan yang simultan dan dinamik dengan memasukkan peubah bedakala lagged variable dengan notasi t-1, karena industri memiliki hubungan yang kompleks serta berkesinambungan Gambar 9. Notasi t kecil yang melekat pada peubah mengindikasikan tahun pendugaan, dan t-1 memiliki arti satu tahun sebelumnya. Berdasarkan model ekonometrika dan simulasi model, pengamatan dititikberatkan pada industri gula rafinasi di dalam negeri. Dalam analisis simultan ini, akan dijelaskan perilaku secara sistem antara faktor-faktor penawaran, permintaan, dan harga berikut ini.

4.3.1. Produksi Gula

Model empiris penawaran gula yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya menggunakan model penyesuaian parsial Nerlove. Untuk memperoleh dugaan respon penawaran maka dilakukan pendugaan tak langsung. Hubungan antara luas areal panen, produktivitas dan output produksi, dalam bentuk yang sederhana adalah output dispesifikasikan sebagai perkalian antara luas areal panen, produktivitas serta peubah teknis dan ekonomi lainnya. Dalam melakukan perencanaan produksi, luas areal tanam dan perolehan hasil per satuan luas tanaman yang diusahakan merupakan faktor-faktor penentu bagi seorang petani produsen. Petani akan mengalokasikan sumberdaya lahannya secara optimal dengan mempertimbangkan beberapa faktor, baik teknis maupun ekonomis. Luas areal tebu diduga dipengaruhi oleh harga gula eceran, harga input pupuk urea, harga Gabah Kering Panen GKP, produktivitas tahun sebelumnya dan luas areal tebu tahun sebelumnya. Penggunaan harga di tingkat konsumen atau harga eceran pada persamaan struktural luas areal tebu petani digunakan karena harga gula di tingkat petani selalu diatur oleh pemerintah dengan menetapkan sejenis harga dasar harga provenue , yang mulai tahun 1999 harga provenue tersebut dimodifikasikan menjadi harga talangan, yaitu sejenis harga minimum yang dijamin investor pihak swasta dan dengan pertimbangan menuju era perdagangan bebas, kebijakan pemerintah selama ini melalui penetapan harga provenue dan harga talangan diasumsikan tidak ada lagi. Harga GKP mempengaruhi luas areal tebu karena padi merupakan tanaman saingan alternatif tebu dimana apabila harga padi lebih tinggi maka petani memilih menanam padi daripada tebu. Hal ini merugikan karena tebu menghasilkan lebih baik bila ditanam di lahan sawah dibandingkan lahan kering. Tabel 6. Perkembangan Luas Areal Padi dan Tebu Tahun 2000-2006 Luas Areal 000 Ha Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pertumb Padi 11793.48 11500.00 11521.17 11488.03 11922.97 11839.06 11786.43 0.01 Padi Ladang 1175.88 1080.62 1064.19 1093.52 1123.50 1105.48 1073.42 -1.44 Padi Sawah 10617.60 10419.38 10456.98 10394.52 10799.47 10733.58 10713.01 0.17 Tebu 340.66 344.44 350.72 335.73 344.79 381.79 384.02 2.11 Sumber : Diolah dari Departemen Pertanian, 2009 Meskipun belum ada penelitian yang secara khusus meneliti mengenai pemakaian bergantian antara padi dan tebu, tetapi berdasarkan data di atas bahwa dalam setiap beberapa tahun, penurunan luas areal padi dibarengi dengan pertambahan luas areal tebu, seperti pada tahun 2000-2002 dan 2004-2006. Hasil penelitian Gaol dalam Hafsah 2002, menyebutkan bahwa di lahan sawah, usahatani tanaman alternatif yaitu padi, bawang merah, kedelai lebih unggul dalam nilai absolut dibandingkan usahatani tebu. Harga input pupuk sebagai biaya produksi dan biaya modal tingkat suku bunga mempengaruhi keputusan petani dalam menanam tebu karena dengan penghematan biaya produksi yang dikeluarkan akan dapat meningkatkan produksi hablur per hektar. Oleh karena itu, persamaan luas areal tebu dapat dituliskan sebagai berikut: AREA t = a + a 1 HECR t + a 2 HINPR t + a 3 HGKPR t + a 4 YI t-1 + a 5 AREA t-1 + μ 1 ........................................................................................... 4.1 dimana : AREA t = luas areal tebu 000 ha HECR t = harga riil gula eceran Rpkg HINPR t = harga riil input pupuk urea Rpkg HGKPR t = harga riil GKP Rpkg YI t-1 = produktivitas tahun sebelumnya tonha AREA t-1 = luas areal gula tahun sebelumnya 000 ha μ 1 = peubah pengganggu Tanda parameter pendugaan yang diharapkan adalah: a 1 , a 4 0; a 2 , a 3 0; 0a 5 1. Sementara itu, produktivitas tebu selain dipengaruhi oleh karakteristik biologis tanaman tebu itu sendiri juga dipengaruhi oleh jumlah penggunaan input baik input tetap maupun tidak-tetap seperti jumlah tenaga kerja dan pupuk. Pupuk merupakan salah satu input penting bagi usahatani tebu. Pemberian pupuk berpengaruh pada kuantitas dan kualitas tebu yang dihasilkan pabrik gula maupun petani. Jenis pupuk yang digunakan antara lain urea, KCL, ZA dan TSP. Pada penelitian ini, hanya memasukkan harga pupuk urea saja dengan pertimbangan pupuk urea yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri berasal dari pabrik pupuk domestik, bahkan sudah bisa ekspor. Sedangkan pupuk KCL merupakan pupuk impor yang banyak faktor yang mempengaruhi ketersediaannya baik jumlah maupun waktu. Seperti yang telah dijelaskan pada kerangka pemikiran, pendekatan jumlah pupuk dilakukan dengan harga pupuk urea, demikian pula halnya dengan tenaga kerja, yaitu upah tenaga kerja. Biaya untuk membeli pupuk dan upah tenaga kerja yang semakin meningkat diduga akan mengurangi produktivitas tebu. Pengurangan tenaga kerja memang dapat berarti penghematan sepanjang tidak mengurangi atau menurunkan hasil. Sehingga produktivitas tebu dipengaruhi oleh harga gula di tingkat produsen, harga input pupuk urea, upah tenaga kerja, luas areal tebu, tingkat suku bunga, tren sebagai proksi perkembangan teknologi, dan produktivitas tebu tahun sebelumnya. Sehingga persamaannya sebagai berikut: YI t = b + b 1 HPR t + b 2 HINPR t + b 3 HTKR t + b 4 AREA t + b 5 SB t + b 6 T t + B 7 YI t-1 + μ 2 ……………………...….4.2 dimana : YI t = produktivitas tebu tonha HPR t = harga riil gula di tingkat produsen Rpkg HINPR t = harga riil input pupuk urea Rpha HTKR t = upah riil tenaga kerja pertanian RpHOK AREA t = luas areal tebu 000 ha SB t = tingkat suku bunga T t = tren waktu YI t-1 = produktivitas tahun sebelumnya tonha μ 2 = peubah pengganggu Tanda parameter pendugaan yang diharapkan: b1,b40; b2,b3,b5,b60; 0b71. Produksi tebu merupakan perkalian antara luas areal tebu dengan produktivitas tebu per hektar. PROD t = AREA t YI t …….…...……..…...……………………..4.3 dimana : PROD t = produksi tebu 000 ton AREA t = luas areal tebu 000 ha YI t = produktivitas tebu tonha Dalam menghasilkan gula agar dapat dikonsumsi, maka diperlukan suatu konversi dengan mengalikan suatu faktor rendemen yang telah diukur dan ditentukan dengan produksi tebu. Rendemen merupakan suatu rumus yang digunakan pabrik gula dalam menentukan keuntungan yang memperhitungkan rendemen potensial dan efisiensi pabrik, sehingga diperoleh persamaan berikut: PRODG t = PROD t REND t ……….……………...………..……..4.4 dimana : PRODG t = produksi gula 000 Ton PROD t = produksi tebu 000 ton REND t = rendemen Untuk gula rafinasi, karena pabrik gula rafinasi yang memproduksi gula rafinasi baru terbentuk tahun 2002, maka diasumsikan tidak ada produksi dalam negeri gula rafinasi.

4.3.2. Penawaran Gula

Penawaran gula dalam penelitian ini merupakan penjumlahan dari produksi gula dalam negeri dan jumlah impor atau pengadaan dari luar negeri. Stok gula tidak dimasukkan sebagai peubah eksogen karena pengadaan stok hanya untuk pengadaan di gudang Bulog saja. Sebagai negara net importir, jumlah ekspor Indonesia sangat kecil sehingga dalam penelitian ini dianggap nol, sehingga persamaan penawaran gula Indonesia adalah sebagai berikut: SG t = PRODG t + IMT t ……………..….………………..…..4.5 dimana : SG t = penawaran gula 000 ton PRODG t = produksi gula 000 ton IMT t = impor gula total 000 ton Swasembada gula Indonesia memang tidak dapat dipertahankan, ditandai dengan produksi yang tidak dapat mengimbangi jumlah permintaan dalam negeri yang terus meningkat telah menyebabkan pemerintah mengambil suatu kebijakan dalam upaya pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri dengan melakukan impor. Impor gula Indonesia dirumuskan menjadi satu persamaan identitas dan dua persamaan struktural yaitu impor gula yang langsung dikonsumsi oleh masyarakat dan impor gula permintaan khusus industri makanan dan minuman gula rafinasi, persamaan dapat diformulasikan sebagai berikut: IMT t = IM t + IMR t ………………..……………………..……..4.6 dimana : IM t = impor gula 000 ton IMR t = impor gula rafinasi 000 ton Gula putih dan gula rafinasi adalah dua jenis produk gula hampir sama dimana yang membedakan adalah mutu serta kualitas, sehingga dalam penelitian ini dianggap sama atau homogen. Masing-masing impor gula dipengaruhi oleh: IM t = c + c 1 HGWR t +c 2 HECR t + c 3 PRODG t + c 4 SDGRT t + c 5 SDGI t + c 6 NTKR t + c 7 TIM t + c 8 IM t-1 + μ 3 ……....4.7 dimana : IM t = impor gula 000 ton HGWR t = harga riil impor gula USkg HECR t = harga riil gula eceran Rpkg PRODG t = produksi gula 000 ton SDGRT t = perubahan permintaan gula rumahtangga 000 ton SDGI t = perubahan permintaan gula industri 000 ton TIM t = tarif impor IM t -1 = impor gula tahun sebelumnya 000 ton μ 3 = peubah pengganggu Tanda parameter pendugaan yang diharapkan : c 2 ,c 4 ,c 5 0; c 1 , c 3 ,c 6, c 7 0; 0c 8 1. Impor gula rafinasi pada mulanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan industri terutama makanan dan minuman yang memerlukan kualitas gula yang bermutu tinggi. Namun dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, permintaan gula dengan mutu lebih baik diperkirakan cenderung meningkat. Diduga impor gula rafinasi ini dipengaruhi oleh harga impor gula rafinasi, harga gula eceran, nilai tukar, tarif impor dan permintaan gula oleh industri makanan dan minuman tahun sebelumnya. Sehingga persamaan impor gula rafinasi diformulasikan sebagai berikut: IMR t = d + d 1 HRWR t +d 2 HECR t +d 3 DGIR t-1 + d 4 NTKR t + d 5 TIMR t + d 6 IMR t-1 + μ 4 …………..………………..4.8 dimana : IMR t = impor gula rafinasi 000 ton HRWR t = harga riil impor gula rafinasi USkg HECR t = harga riil gula eceran Rpkg DGIR t-1 = permintaan gula rafinasi industri sebelumnya 000 Ton NTKR t = nilai tukar rupiah RpUS TIMR t = tarif impor gula rafinasi IMR t -1 = impor gula rafinasi tahun sebelumnya 000 ton μ 4 = peubah pengganggu Tanda parameter pendugaan yang diharapkan adalah : d 2 ,d 3 0; d 1 ,d 4 ,d 5 0; 0d 6 1.

4.3.3. Permintaan Gula

Konsumsi atau permintaan gula di dalam negeri terdiri dari permintaan gula oleh rumahtangga sebagai konsumsi langsung final demand, permintaan gula untuk industri makanan dan minuman sebagai salah satu input produksi dan permintaan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman sebagai salah satu input produksi yang disebut konsumsi tidak langsung intermediate demand. 1. Permintaan Gula Rumahtangga Tingkat permintaan terhadap suatu barang sangat dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri dan harga barang substitusinya. Selain itu juga dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk. Gula merah dan gula rafinasi dianggap sebagai barang substitusi untuk gula yang biasa dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Persamaan permintaan gula rumahtangga dirumuskan: DGRT t = e + e 1 HECR t + e 2 HGMR t + e 3 HRWR t + e 4 SPDBKAP t + e 5 T t + e 6 DGRT t-1 + μ 5 ………………………………...4.9 dimana: DGRT t = permintaan gula oleh rumahtangga 000 ton HECR t = harga riil gula eceran Rpkg HGMR t = harga riil komoditas gula merah Rpkg HRWR t = harga riil impor gula rafinasi USkg SPDBKAP t = perubahan PDB riil per kapita Rpkaptahun T t = tren waktu proksi dari selera konsumen DGRT t-1 = permintaan gula rumahtangga tahun sebelumnya 000 ton μ 5 = peubah pengganggu Tanda parameter pendugaan yang diharapkan: e 2 , e 3 , e 4 , e 5 0 ; e 1 0; 0e 6 1. 2. Permintaan Gula Industri Makanan dan Minuman Industri makanan dan minuman dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu industri makanan dan minuman yang menggunakan gula sebagai salah satu bahan baku produksi makanan atau minuman olahannya, dan yang menggunakan gula rafinasi dengan mutu dan kualitas yang ketat. DGI t = f + f 1 HECR t + f 2 HRWR t + f 3 SPDBI t + f 4 T t + f 5 DGI t-1 + μ 6 …………..……………………………………..…4.10 dimana: DGI t = permintaan gula industri makanan minuman 000 ton HECR t = harga riil gula eceran Rpkg HRWR t = harga riil impor gula rafinasi USkg SPDBI t = perubahan PDB riil industri makanan minuman Rpthn T t = tren waktu proksi dari selera konsumen DGI t-1 = permintaan gula industri makanan dan minuman tahun sebelumnya 000 ton μ 6 = peubah pengganggu Tanda parameter pendugaan yang diharapkan adalah: f 2 , f 3 , f 4 0 ; f 1 0; 0f 5 1. 3. Permintaan Gula Rafinasi Industri Makanan dan Minuman Permintaan gula rafinasi untuk bahan baku industri makanan dan minuman dipengaruhi oleh harga impor gula rafinasi. Harga gula rafinasi domestik untuk series data tidak tersedia. Semakin berkembangnya industri makanan dan minuman yang berbahan baku gula rafinasi yang semakin meningkat, dapat dilihat dari semakin meningkat Produk Domestik Bruto PDB industri. Komposisi atau persentasi gula rafinasi sebagai bahan baku industri makanan dan minuman dapat dilihat pada Tabel 4. Persamaan permintaan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman dirumuskan sebagai berikut: DGIR t = g + g 1 HRWR t + g 2 HOPR t + g 3 HECR t + g 4 PDBI t-1 + g 5 T t +g 6 DGIR t-1 + μ 7 ……………………………….4.11 dimana: DGIR t = permintaan gula rafinasi industri makanan minuman 000ton HRWR t = harga rill impor gula rafinasi USkg HOPRt = harga output industri USkg HECR t = harga riil gula eceran Rpkg PDBI t-1 = PDB riil industri makanan dan minuman tahun sebelumnya Rptahun T t = tren waktu proksi dari selera konsumen DGIR t-1 = permintaan gula rafinasi industri makanan dan minuman tahun sebelumnya 000 ton μ 6 = peubah pengganggu Tanda parameter pendugaan yang diharapkan adalah: g 2 , g 3 , g 4 , g 5 0; g 1 0; 0g 6 1. Sehingga dapat diperoleh persamaan permintaan total setara gula: DG t = DGRT t + DGI t + DGIR t ………………..……...……..4.12 dimana: DG t = permintaan gula total 000 Ton DGRT t = permintaan gula oleh rumahtangga 000 Ton DGI t = permintaan gula oleh industri makanan minuman 000 Ton DGIR t = permintaan gula rafinasi oleh industri makanan minuman 000 Ton

4.3.4. Harga Gula Eceran

Harga gula eceran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah harga gula putih dalam negeri di tingkat konsumen. Pangsa impor Indonesia sekitar 3.57 persen dari impor gula dunia memposisikan Indonesia sebagai negara kecil dalam perdagangan gula dunia, maka Indonesia bersifat price taker Susila dan Sinaga, 2005. Dengan demikian diduga harga gula eceran dipengaruhi pula oleh gula dunia, selain oleh harga di tingkat produsen, harga impor gula rafinasi, permintaan gula tahun sebelumnya, selisih penawaran gula dan harga gula eceran tahun sebelumnya. HECR t = h + h 1 HPR t + h 2 HGWR t +h 3 HRWR t +h 4 DG t-1 +h 5 SSG t + h 6 HECR t-1 + μ 8 ………………………………………………………. 4.13 dimana: HECR t = harga riil gula eceran Rpkg HPR t = harga riil gula di tingkat produsen Rpkg HGWR t = harga riil impor gula USkg HRWR t = harga riil impor gula rafinasi USkg DG t-1 = permintaan gula tahun sebelumnya 000 ton SSG t = perubahan penawaran gula 000 ton HECR t-1 = harga riil eceran tahun sebelumnya Rpkg μ 8 = peubah pengganggu Tanda parameter pendugaan yang diharapkan: h 1 ,h 2 ,h 3 , h 4 0; h 5 0; 0h 6 1.

4.4. Identifikasi dan Pendugaan Model

Salah satu yang menentukan metode pendugaan model adalah identifikasi model. Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Identifikasi model struktural berdasarkan order condition menurut Koutsoyiannis 1977 adalah: K-M G-1 dimana: K = total peubah dalam model peubah endogen dan peubah predeterminan M = jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model G = total persamaan dalam model, banyaknya jumlah peubah endogen dalam model Berdasarkan hasil perhitungan order condition diatas, akan ditentukan metode pendugaan model untuk mendapatkan seluruh nilai dan koefisien- koefisien model. Bila hasil perhitungan order condition ternyata model over- identified atau K-M G-1, maka untuk mendapatkan nilai penduga-penduga estimator yang unbiased, consisten, dan valid, lebih efisien bila menggunakan metode Two Stage Least Squares 2 SLS . Sedangkan bila model ternyata model ditemukan under identified K-M G-1 atau exackly identified K-M = G- 1 maka metode pendugaan yang dipergunakan adalah Three Stage Least Squares 3 SLS. Kedua metode pendugaan ini merupakan metode pendugaan yang relatif baik untuk model simultan yang bersifat linear. Dari spesifikasi model yang telah ditentukan dapat diketahui bahwa total persamaan sebanyak 13, yang terdiri dari 8 persamaan struktural dan 5 persamaan identitas. Dengan jumlah peubah endogen yang diduga sebanyak 8 persamaan dan jumlah peubah predeterminan 41, serta jumlah peubah dalam satu persamaan berkisar 5-8, maka hasil identfikasi dalam model ini menunjukkan bahwa setiap persamaan struktural adalah over identified untuk dapat menduga parameter- paremeternya sehingga pendugaan parameternya menggunakan metode 2 SLS. Setelah model diidentifikasi maka tahap selanjutnya adalah melakukan pendugaan model dengan menggunakan prosedur SYSLIN sehingga diperoleh hasil apakah seluruh parameter memberikan koefisien parameter pendugaan yang sesuai dengan harapan yang didasarkan pada konsep teori, fenomena dan pengalaman empiris. Untuk menguji apakah ada autocorrelation dalam model dilakukan dengan menggunakan Durbin-Watson, tetapi karena seluruh persamaan struktural mengandung peubah beda kala lag maka uji statistik yang dapat digunakan adalah uji statistik durbin-h. Bila statistik h lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model tidak mengalami autocorrelation. [ ] { } 5 . 1 5 . 1 ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − = VarBarth T T DW h dimana: h = angka statistik durbin-h T = jumlah pengamatan contoh Var Barth = varian dari koefisien peubah bedakala endogen DW = nilai statistik Durbin Watson Untuk mengetahui dan menguji apakah peubah bebas independent variable secara bersama-sama berpengaruh signifikan atau tidak terhadap peubah tak bebas dependent variable, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistit F. Sedangkan untuk menguji apakah masing-masing peubah bebas berpengaruh signifikan atau tidak terhadap peubah tak bebas dilakukan uji statistik t. Penggunaan program SAS atau program aplikasi lain, hasil uji statistik t bisa dilihat dari nilai nilai probabilitas ρ. Nilai probabilitas ρ ini merupakan probabilitas ρ untuk uji dua sisi two tails test, sementara pada penelitian ini hipotesis parameter pendugaan yang diharapkan searah maka probabilitas ρ menggunakan uji satu sisi one tail test. Untuk itu, jika ingin melakukan uji hipotesis satu sisi dan arah parameter pendugaan yang dihasilkan sesuai dengan hipotesis maka nilai probabilitas ρ dibagi dua. Sebaliknya bila arah yang dihasilkan berlawanan dengan hipotesis, maka hasil uji hipotesis satu sisi adalah satu dikurangi dengan nilai probabilitas ρ yang telah dibagi dua UCLA Academic Technology Services, 2009; Widarjono, 2007.

4.5. Validasi Model