4.11.3. Produksi Tebu dan Produksi Gula
Dalam penelitian ini, produksi tebu merupakan perkalian dari luas areal tebu dengan produktivitas tebu melalui persamaan identitas. Sedangkan produksi
gula merupakan perkalian dari produksi tebu dengan faktor rendemen. Hablur yang dihasilkan dicerminkan dengan rendemen tebu. Dalam prosesnya ternyata
rendemen yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan proses penggilingan di pabrik.
Untuk mendapatkan rendemen yang tinggi, tanaman harus bermutu baik dan ditebang pada saat yang tepat. Namun sebaik apapun mutu tebu, jika pabrik
sebagai sarana pengolahan tidak baik, hablur yang didapat akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada di batang. Oleh sebab itu sering terjadi permasalahan
dengan cara penentuan rendemen di pabrik. Berbagai kasus yang ada dan bahkan menyebabkan konflik antara petani dan pabrik gula adalah karena ketidakjelasan
penentuan rendemen. Perkembangan produksi gula nasional cenderung meningkat dengan laju
2.98 persen pertahun, dengan produksi terendah pada tahun 1998. Namun pada tahun 2004 mulai mengalami peningkatan. Berbagai kebijakan pemerintah seperti
kebijakan tataniaga impor dan program akselerasi peningkatan produktivitas berdampak positif dalam meningkatkan kembali produksi gula nasional.
4.11.4. Impor Gula
Harga gula eceran berpengaruh secara signifikan positif terhadap impor gula. Artinya semakin tinggi harga gula eceran di dalam negeri maka impor gula
semakin besar. Hal ini biasanya dilakukan untuk mengamankan harga dan
ketersediaan pasokan. Gula eceran didominasi oleh gula produksi dalam negeri menjadi pensubstitusi gula impor. Impor gula juga sangat responsif terhadap
perubahan harga eceran dilihat dari nilai elastisitas baik jangka pendek sebesar 4.15 maupun jangka panjang sebesar 7.56. Artinya setiap peningkatan harga
eceran gula sebesar 1 persen, akan meningkatkan jumlah impor sebesar 4.15 persen dalam jangka pendek, dan peningkatan ini lebih tinggi dalam jangka
panjang sebesar 7.56 persen. Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Impor Gula
Elastisitas Peubah
Parameter Dugaan
P- value
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept -1843.6100
0.1183 harga impor gula
20.4570 0.4760
harga gula eceran 0.6142
a 0.0183
4.1447 7.5598
produksi gula -0.1303
0.3060 perubahan permintaan gula rumah tangga
0.1085 0.3656
perubahan permintaan gula industri 0.7579
0.1785 nilai tukar rp terhadap dolar
0.0684 0.1533
tarif impor gula -1.9179
0.4563 impor gula tahun sebelumnya
0.4517 a
0.0533 0.4041 0.7370
R
2
= 0.72389; DW = 1.75553; Dh =0.666005
Impor gula juga dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah impor tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan terjadinya peluang impor naik terus. Lain
halnya dengan produksi gula yang berpengaruh negatif terhadap impor yang artinya bahwa semakin besarnya produksi gula yang dihasilkan akan
menyebabkan menurunnya jumlah impor. Tetapi pengaruh tersebut tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi gula tidak mencukupi konsumsi
gula, sehingga impor tetap harus dilakukan untuk mencukupi kebutuhan nasional. Nilai tukar rupiah terhadap dolar memiliki pengaruh yang bertolakbelakang
dengan harapan mengindikasikan bahwa impor gula yang selama ini dilakukan
tidak memperhitungkan faktor nilai tukar, yang didukung oleh data impor pada saat terjadi krisis moneter tahun 1997 dimana Indonesia mengalami depresiasi
lebih dari 100 persen namun pertumbuhan impornya malah meningkat sebesar 0.41 persen sampai tahun 2000. Hal ini disebabkan ketersediaan gula lebih
diprioritaskan oleh pemerintah. Harga impor gula disini merupakan harga CIF yang dipengaruhi oleh kurs
valuta dan tarif impor, dimana seharusnya semakin besar harga impor maka impor menurun. Akan tetapi, harga impor gula ternyata memiliki tanda yang berlawanan
artinya perubahan harga impor gula tidak mempengaruhi keputusan untuk melakukan impor gula sebab impor gula selama masa pemerintahan Orde Baru
sampai awal tahun 1998 merupakan monopoli Bulog sebagai lembaga penstabilisasi harga. Artinya harga impor gula bukan merupakan indikator untuk
melakukan impor, karena Bulog mempunyai tugas menjaga kestabilan jumlah gula yang beredar di dalam negeri. Melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No.25MPPKep11998, menetapkan impor gula yang semula hanya dilakukan oleh Bulog mulai tanggal 2 Februari 1998 dibebaskan sesuai dengan
mekanisme pasar dengan diperbolehkannya impor dilakukan oleh importir umum. Selisih perubahan permintaan gula rumahtangga dan perubahan permintaan
gula untuk industri menunjukkan pengaruh yang positif meskipun tidak secara signifikan. Artinya apabila selisih permintaan gula dengan tahun sebelumnya
besar, maka jumlah impor juga akan besar. Sebaliknya dengan tarif impor, yang memiliki tanda negatif yang berarti semakin besarnya tarif akan mengurangi
impor gula. Kebijakan tarif ini dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi industri gula domestik, dimana pada saat ini negara Indonesia merupakan importir
gula. Hal ini menunjukkan kebijakan tarif yang selama ini dilakukan pemerintah tidah berpengaruh secara signifikan bagi pengurangan impor gula. Produksi yang
ada tidak mampu mengimbangi peningkatan konsumsi. Dari persamaan impor gula di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peubah
harga gula eceran dapat menjadi instrumen kebijakan dalam mengendalikan impor gula, sebab naiknya produksi gula akan mensubtitusi impor gula dan naiknya
harga merupakan signal adanya keterbatasan ketersediaan gula sehingga akan menaikkan impor. Produksi gula juga harus mampu mencukupi kebutuhan dalam
negeri.
4.11.5. Impor Gula Rafinasi