Tinjauan Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

stok tidak cukup, dan tidak ditujukan pada sentra penghasil gula utama Jawa dan Lampung. Lahan HGU Lahan Sewa Lahan Petani Lahan Petani Pasar White Sugar PG Rafinasi Raw Sugar Impor Pabrik Gula Bank TRI Mandiri Kemitraan PG sbg Avalist Kebijakan Harga Kebijakan Impor dan Tarif Bea Masuk Sistem TRI 51998 Sistem TRI INPRES 975 Kebijakan Kredit Sistem Bagi Hasil Pola Kemitraan Kebijakan Pemanfaatan Dana dan Bea Masuk Impor K ebi ja ka n I m p o r da n T ar if B ea M as uk R eh ab il ita si P ab rik G u la P en in g k ata n P ro d u k ti v ita s L ah an K ebi ja ka n P em as ar an Sumber : Departemen Pertanian dan Lembaga Penelitian IPB, 2002 Gambar 3. Kebijakan Pergulaan Nasional

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai komoditas gula terutama gula putih di Indonesia telah banyak dilakukan. Hal ini disebabkan gula merupakan komoditas strategis dihubungkan dengan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Beberapa hasil mengenai gula putih ini diperlukan untuk mengkaji secara mendalam mengenai gula rafinasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan dalam penyusunan model bagi industri gula rafinasi. Salah satu penelitian yang berkaitan dengan analisis kebijakan pemerintah pada industri gula dilakukan oleh Hadi dan Nuryanti 2005, dengan menggunakan pendekatan model keseimbangan parsial, meneliti mengenai dampak penerapan kebijakan proteksi yang berupa kebijakan tarif dan nontarif pengawasan dan pembatasan impor terhadap perekonomian gula nasional di tingkat makro agregat dan tingkat mikro usaha tani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan proteksi yang telah dilakukan pemerintah telah berhasil secara signifikan menurunkan impor dan meningkatkan harga gula dalam negeri, produksi, surplus produsen dan pendapatan perani. Artinya kebijakan ini mampu secara efektif mendorong perkembangan industri gula nasional. Berkaitan dengan kebijakan proteksi, Susila dan Sinaga 2005 telah menganalisis beberapa kebijakan mencakup: 1 kebijakan produksi yang difokuskan pada kebijakan subsidi pupuk, 2 kebijakan harga fokus pada kebijakan jaminan harga harga provenue, dan 3 kebijakan perdagangan yang difokuskan pada kebijakan tarif impor dan tariff-rate quota, periode waktu tahun 1972-2003 dengan menggunakan analisis simulasi kebijakan model ekonometrik industri gula nasional. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam situasi perdagangan yang distorsif, kebijakan yang berkaitan dengan harga output lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan yang berkaitan dengan input. Berbagai kombinasi kebijakan harga provenue, tarif impor, tariff-rate quota dan subsidi input adalah pilihan kebijakan yang efektif. Namun Widiastuty 2001 yang meneliti mengenai kebijakan tarif impor dengan mengunakan analisis regresi dan analisis surplus produsen, menemukan bahwa dengan adanya kebijakan tarif maka hanya menguntungkan pemerintah, produsen gula, dan produsen pengimpor gula saja tetapi merugikan konsumen. Dalam penelitiannya Widiastuty tidak mengikutsertakan variabel impor dalam model penawarannya. Berkaitan dengan perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan, Ernawati 1997 meneliti mengenai keragaan pasar gula indonesia dan melakukan simulasi dampak kebijakan liberalisasi perdagangan gula dunia dengan beberapa skenario yaitu menurunkan marjin pemasaran, harga provenue dan harga gula dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi gula meningkat karena meningkatnya luas areal tanam, bukan karena produktivitas. Stok gula secara nyata dipengaruhi oleh stok tahun lalu dan besarnya produksi. Impor gula dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, jumlah populasi, dan pendapatan per kapita. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Ismail 2001, bahwa peningkatan daya saing industri gula nasional perlu dibuat program untuk menjamin optimalisasi dalam budidaya dan efisiensi pabrik gula dan bukan memperluas areal tanam. Penelitian yang dilakukan Abidin 2000 menggunakan persamaan simultan dan dinamis dengan metode Two Stage Least Squares telah menganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaaan industri gula dalam negeri. Model industri gula Indonesia menggunakan data sekunder time series sejak tahun 1969- 1997, disusun dengan mengkaitkan pasar internasional dengan pasar dalam negeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 di negara eksportir, tingkat produksi menjadi pertimbangan yang utama dalam mengekspor, sedangkan di negara importir adalah harga impor dan tingkat konsumsi, 2 intervensi pasar negara eksportir dan importir akan mempengaruhi harga dunia, 3 adanya kebijakan kemandirian produksi gula dalam negeri penting di era liberalisasi perdagangan, dan 4 akses kredit, penerapan teknologi, dan perluasan areal menjadi penentu keberhasilan keragaan industri gula dalam negeri. Paulino dan Thirwall 2004 mengkaji mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan pada kegiatan ekspor, impor dan neraca pembayaran dengan menggunakan data panel dari 22 negara. Temuannya menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan yang telah dijalankan oleh negara tersebut tidak hanya mendorong kegiatan ekspor mereka, tetapi juga meningkatkan impor sehingga memperburuk neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Hal ini mengindikasikan bahwa liberalisasi perdagangan memiliki dampak positif dan negatif pada suatu negara tergantung bagaimana negara tersebut mengelola sumberdaya yang ada. Pengaruh untuk Indonesia terutama setelah pembentukan AFTA dalam hubungannya dengan negara Asean menurut Pasadilla 2006, bahwa setelah terbentuk perdagangan bebas antar negara Asean, volume perdagangan antar negara Asean relatif kecil, total impor Asean menurun yang lebih disebabkan penurunan impor dari negara di luar Asean, sementara peningkatan ekspor sebagian besar terjadi penurunan ekspor ke negara luar Asean. Penelitian mengenai industri gula rafinasi belum banyak dijumpai. Tjokrodirdjo 1999 meneliti mengenai kemampuan industri gula dalam negeri menghasilkan gula mutu tinggi yang diperoleh dengan proses rafinasi, untuk mencukupi kebutuhan industri makanan dan minuman yang terus berkembang. Teknologi yang tepat dan kesesuaian teknis dan pemasaran produknya merupakan hal penting yang harus dibenahi. Moss dan Schmitz 2002 meneliti mengenai integrasi vertikal dan kebijakan perdagangan pada industri gula di Amerika Serikat AS. Tingkat integrasi vertikal antara gula mentah dan gula rafinasi tidak hanya ditentukan oleh biaya atau harga transaksi seperti pada teori integrasi tetapi juga adanya dipengaruhi oleh sewa ekonomi pada tiap saluran di tingkat pemasaran. Pemberian kebijakan berupa kuota impor yang ketat oleh pemerintah untuk mencegah masuknya gula ke dalam negeri mempunyai resiko munculnya freer trade yang berdampak pada industri gula di AS mulai dari produksi, pengolahan, dan proses rafinasi. Perusahaanprodusen yang berintegrasi dengan pabrik produksi tidak terlalu terpengaruh dibanding yang tidak terintegrasi. Industri gula dengan tingkat integrasi vertikal yang tinggi lebih mampu mengatasi masalah pergulaan seperti impor gula. Soebekty 2005 menganalisis struktur dan kinerja industri gula rafinasi Indonesia dengan menggunakan pendekatan Structure-Conduct-Performance SCP serta perumusan kebijakan dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process AHP. Hasil penelitian diperoleh bahwa industri gula rafinasi termasuk dalam struktur pasar oligopoli dengan perilaku yang mengarah pada praktek kolusi. Kebijakan yang dianggap perlu menjadi prioritas pemerintah dalam mewujudkan industri gula rafinasi yang efisien berupa optimasi pabrik, penerapan kuota impor, penurunan bea masuk raw sugar, dan memperketat perijinan dan pengawasan. Munir 2006 melakukan studi kasus di PT Angel Products, salah satu pabrik gula rafinasi terbesar, dan menganalisis mengenai aspek pemasarannya dimana dengan tingkat kualitas gula rafinasi yang lebih baik daripada kualitas gula putih, memiliki prospek yang cukup baik, sehingga diharapkan mampu menggeser konsumsi gula putih oleh masyarakat maupun industri penggunanya. Pasar gula rafinasi juga masih mengandalkan pasar industri makanan dan minuman skala menengah dan besar. Pasar industri kecil dan rumahtangga belum tergarap karena adanya ketentuan pemerintah terhadap gula rafinasi dibatasi hanya untuk industri. Dari uraian tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penggunaan metode yang sama untuk menduga peubah yang sama pada periode waktu dan lokasi yang berbeda akan menghasilkan nilai estimasi parameter yang berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain terletak pada lokasi penelitian, alat analisis, pembahasan dan periode penelitian. Lokasi penelitian dilakukan di Indonesia dengan periode waktu 1980-2007, dengan menggunakan persamaan simultan, dalam pokok bahasan tersebut belum pernah ada penelitian sejenis yaitu membahas industri gula rafinasi. Pembahasan lebih berfokus pada permintaan dan penawaran serta faktor-faktor yang mempengaruhi dengan menggunakan alat analisis yang sesuai. Dengan demikian maka dipandang perlu untuk melakukan pengkajian yang berkelanjutan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi pergulaan di Indonesia.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Penawaran Gula Model penawaran dan permintaan merupakan salah satu dari persamaan simultan. Penawaran dan permintaan secara bersama-sama akan menentukan harga dan kuantitas di pasar. Model ekonometrika yang menjelaskan perilaku harga dan kuantitas di pasar terdiri dari dua persamaan yaitu persamaan penawaran dan persamaan permintaan. Misalnya kita asumsikan model penawaran dan permintaan adalah linear yang ditulis sebagai berikut: Fungsi penawaran : …………………………….3.1 t s t e P Q 2 1 1 + + = γ γ Fungsi permintaan : ……………………...…….3.2 t d t e P Q 1 1 1 + + = β β Kondisi keseimbangan : …………………………………....3.3 s t d t Q Q = dimana = jumlah yang diminta, = jumlah yang ditawarkan, = harga, d t Q s t Q t P 1 γ , dan 1 β . Di dalam model fungsi permintaan ini kita asumsikan bahwa jumlah yang diminta adalah fungsi dari harga ditambah residual e 1t . Harga berhubungan negarif dengan jumlah yang diminta. Sedangkan fungsi penawaran juga hanya dipengaruhi oleh harga dan residual e 2t dan harga berhubungan positif dengan jumlah barang yang ditawarkan atau dijual ke pasar. Kedua model tersebut merupakan model persamaan simultan karena kedua persamaan akan berjalan bersama-sama menentukan harga dan kuantitas di pasar. Dalam model permintaan