dan pasca panen sangat dimungkinkan untuk sesuai dengan tuntutan persyaratan teknis PG dan dengan biaya pengadaan bahan baku yang relatif murah. Ini
merupakan salah satu penentu keunggulan PG-PG di luar Jawa, terutama di Lampung, bila dibandingkan dengan PG-PG di Jawa yang umumnya tidak
mengelola HGU. PG-PG di Jawa umumnya, usahatani tebu dikelola petani, sedangkan
PG dikelola oleh perusahaan gula. Keduanya bermitra, petani sebagai pemasok bahan baku tebu dan PG mengolah tebu menjadi gula dalam suatu sistem
bagi hasil. Dalam hubungan kemitraan itu, kegiatan produksi gula sesungguhnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu petani menghasilkan gula dalam bentuk
sukrosa yang tersimpan dalam batang tebu, dan PG mengambil sukrosa dalam batang tebu dan mewujudkannya dalam bentuk kristal. Hubungan produksi yang
demikian itu mengandung potensi konflik kepentingan, terutama pada saat pengaturan pembagian manfaat.
2.1.2. Perkembangan Konsumsi dan Harga Gula
Gula yang berasal dari tebu merupakan sumber pemanis utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, selain gula merah dan gula sintetis pemanis
buatan. Penggunaan gula oleh masyarakat adalah dengan cara dikonsumsi secara langsung oleh rumahtangga dan dikonsumsi secara tidak langsung melalui
makanan dan minuman olahan. Penggunaan terbesar adalah untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
Meningkatnya pendapatan masyarakat serta perubahan pola konsumsi, menyebabkan konsumsi gula nasional cenderung terus meningkat Tabel 2.
Permintaan gula untuk industri makanan dan minuman sebagai bahan pemanis terus meningkat dengan pesat. Secara garis besar pemanis dibagi menjadi dua
kelompok yaitu gula dan non gula. Kelompok pertama meliputi gula kristal dan gula cair, sedangkan kelompok kedua merupakan pemanis buatan seperti
saccharine , cyclamate dan lain sebagainya.
Keharusan untuk mencukupi kebutuhan gula nasional yang cukup besar dari gula impor tersebut setiap tahun menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap harga gula di pasar dunia. Situasi harga gula di pasar dunia bersifat volatile
dan selalu berfluktuasi tajam dalam waktu yang relatif singkat. Kondisi ini tidak menguntungkan tersebut diakibatkan oleh berbagai kebijakan dan upaya
dari pemerintah negara-negara eksportir dan importir gula. Kebijakan tersebut telah mengakibatkan terdistorsinya harga gula di pasar dunia dan berdampak
terhadap harga gula di pasar dalam negeri. Sampai tahun 1999, pemerintah telah melakukan penyesuaian harga
provenue dengan tujuan agar sistem insentif ekonomi yang terkandung di
dalamnya dapat meningkatkan produksi gula. Saat terjadi krisis ekonomi 1997- 1999, harga provenue meningkat hampir tiga kali lipat yaitu dari Rp 96 080 per
kwintal menjadi Rp 250 000 per kwintal. Dampak dari harga provenue ini adalah terjadinya peningkatan harga gula di tingkat eceran ditambah dengan pengaruh
dari depresiasi nilai tukar rupiah sehingga harga eceran gula meningkat tajam. Namun kenaikan harga eceran yang tinggi tersebut tidak dapat dinikmati oleh
petani produsen karena bagian gula sebesar 90 persen yang diterima petani dari pihak PG diberikan dalam bentuk tunai sesuai dengan harga provenue yang telah
ditetapkan Sudana, 2002. Perkembangan harga gula eceran dan harga yang
diterima petani berupa harga provenue dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Perkembangan Harga Gula Eceran dan Harga Gula yang Diterima Petani
Tahun 1980-2007
Harga Eceran Harga diterima Petani
Persentase diterima Petani Tahun
Rpkg Rpkg 1980 333
226 67.88
1981 489 350
71.52 1982 551
350 63.47
1983 555 350
63.06 1984 604
400 66.23
1985 634 425
67.04 1986 649
465 71.64
1987 689 468
67.96 1988 758
514 67.78
1989 878 600
68.37 1990 1
023 650
63.56 1991 1
108 708
63.91 1992 1
213 795
65.55 1993 1
269 795
62.63 1994 1
270 795
62.59 1995 1
430 911
63.71 1996 1
489 950
63.80 1997 1
525 950
62.30 1998
2 754 1 450
52.66 1999
3 444 2 500
72.60 2000
3 028 2 600
85.88 2001
3 739 3 100
82.92 2002
4 015 3 100
77.22 2003
4 447 3 100
69.71 2004
4 463 3 410
76.41 2005
5 826 3 800
65.22
Sumber : Departemen Pertanian, 2008 Harga gula di masa mendatang diharapkan tergantung pada keseimbangan
antara produksi dan konsumsi gula di masa depan. Menurut Sabil 2004 untuk menghindari fluktuasi harga yang cenderung kurang menguntungkan, petani tebu
menjalin kerjasama dengan investor dalam rangka penyediaan dana talangan
sumber perbankan atau pemerintah. Dana talangan dikucurkan selama gula petani yang diperoleh dari penggilingan tebu di PG belum terjual.
Pada musim giling 2004 harga dasar sebagai patokan besarnya dana talangan disepakati sebesar Rp 3 410 per kg. Harga gula petani tetap mengacu
pada mekanisme pasar. Otoritas penjualan gula tetap berada pada petani, sedangkan pelaksanaannya dilakukan melalui mekanisme tender, dimana apabila
hasil tender kurang dari harga yang disepakati Rp 3 410, maka resiko ditanggung oleh investor. Sebaliknya apabila hasil tender lebih besar dari harga
yang disepakati Rp 3 410, maka kelebihannya dibagi proporsional antara petani dengan investor dengan formula profit sharing yang disepakati bersama.
2.1.3. Perkembangan Impor Gula