Permasalahan Pembangunan Perikanan TINJAUAN PUSTAKA
11 yang lebih khusus lagi diklasifikasikan sebagai sumber daya alam flow alir,
dimana jumlah kuantitas fisiknya berubah sepanjang waktu. Dengan kata lain, disebut sumber daya yang dapat diperbaharui renewable tergantung pada proses
reproduksinya. Berdasarkan sifat persaingan untuk memanfaatkan dan kemungkinan penguasaannya, maka sumber daya perikanan digolongkan sebagai
barang publik public goods karena memiliki dua sifat dominan yaitu non-rivalry dan non-excludable Fauzi 2006.
Stobutzki et al. 2006a menyatakan bahwa salah satu permasalahan utama perikanan tangkap di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia adalah
kekhawatiran tentang keadaan perikanan pesisir, terutama kondisi penyusutan sumber daya. Penyebab utama penyusutan tersebut adalah overfishing
penangkapan yang berlebihan, yang diperburuk dengan degradasi lingkungan. Salah satu indikator overfishing pada perikanan pesisir adalah penyusutan hasil
tangkapan per unit usaha. Hal ini disebabkan besarnya jumlah nelayan yang terlibat dalam kegiatan eksploitasi sumber daya ikan di daerah pesisir.
Menurut Widodo dan Suadi 2006, beberapa ciri yang dapat menjadi patokan perikanan sedang menuju kondisi overfishing adalah: 1 waktu melaut
menjadi lebih panjang dari biasanya; 2 lokasi melaut menjadi lebih jauh dari biasanya; 3 ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya; 4
produktivitas hasil tangkapan per satuan upaya atau trip, CPUE yang menurun; 5 ukuran ikan sasaran yang semakin kecil; dan 6 biaya operasional
penangkapan yang semakin meningkat. Sependapat dengan pernyataan Stobutzki et al. 2006a, Fauzi 2005
menyatakan bahwa penyebab utama krisis perikanan global adalah buruknya pengelolaan perikanan dilihat dari dua fenomena menonjol, yaitu overcapacity
dan destruksi habitat. Dari kedua fenomena itu kemudian muncul berbagai penyebab lain, misalnya subsidi yang massive, kemiskinan, overfishing dan
berbagai turunannya. Overcapacity di sektor perikanan akan menimbulkan berbagai masalah, yaitu: 1 tidak sehatnya kinerja sektor perikanan sehingga
permasalahan kemiskinan dan degradasi sumber daya dan lingkungan menjadi lebih persisten; 2 menimbulkan tekanan yang intens untuk mengeksploitasi
sumber daya ikan melewati titik lestarinya; 3 menimbulkan inefisiensi dan
12 memicu economic waste sumber daya yang ada, di samping menimbulkan
komplikasi dalam pengelolaan perikanan, terutama dalam kondisi akses yang terbuka open acces. Penyusutan sumber daya perikanan di Indonesia makin
diperparah oleh adanya otonom daerah, dimana setiap daerah terus memacu pendapatan setinggi-tingginya melalui eksploitasi sumber daya perikanan tanpa
memperhitungkan daya dukungnya Heazle and Butcher 2007. Kondisi degradasi lingkungan di Kabupaten Belitung perlu diwaspadai
terutama penurunan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan timah. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap sedimentasi dan
tingkat kekeruhan perairan yang akhirnya akan berdampak pada sumber daya perikanan secara keseluruhan PPO LIPI 2005.
Menurut Fauzi 2005, permasalahan perikanan dan penyelesaiannya akan sangat tergantung pada bagaimana kita mengambil pelajaran dari kegagalan-
kegagalan yang terjadi dimasa lalu path dependency. Dengan demikian maka pembangunan perikanan akan lebih banyak dilaksanakan oleh segenap masyarakat
yang didukung oleh pemerintah melalui instansi terkait sebagai penyedia prasarana dan sarana yang bersifat non komersial dan bersifat pembinaan.
Sependapat dengan hal tersebut, Widodo dan Suadi 2006 menyatakan bahwa pengelolaan perikanan merupakan proses yang terintegrasi dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya, dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan
dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya.
Fauzi 2005 menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan perikanan tradisional didominasi oleh penentuan tingkat produksi lestari maksimum
Maximum Sustainable Yield, MSY. Pendekatan ini lebih diarahkan pada sisi biologi semata tanpa mempertimbangkan aspek lain dalam pengelolaan perikanan.
Dalam kenyataannya, pendekatan MSY sering mengalami kegagalan karena bersifat umum dan abstrak serta didasarkan pada indikator yang tidak jelas
measuring unmeasurable. Oleh karena itu disarankan agar kebijakan pengelolaan perikanan lebih didasarkan pada kapasitas perikanan dibandingkan
dengan yang berbasis MSY. Kebijakan berbasis kapasitas ini dikenal dengan
13 istilah CuCme yang merupakan kependekan dari Capacity Utilization dan
Capacity Measurement. Kapasitas perikanan dapat diartikan sebagai: 1 kemampuan input kapital untuk menghasilkan produksi perikanan; 2 kapasitas
optimum hanya bisa dicapai dengan biaya pengelolaan yang minimum; dan 3 jumlah stok ikan maksimum yang dapat dihasilkan jika input yang digunakan
dalam kondisi biologi, ekonomi, dan teknologi yang optimum. Pendekatan CuCme bekerja dengan mendeteksi terlebih dahulu penyakit inefisiensi baik dari
sisi teknis, ekonomis, maupun biofisik yang menjadi penyebab buruknya kinerja perikanan. Hal ini dilakukan dengan mengukur kapasitas perikanan pada suatu
wilayah terlebih dahulu. Dahuri 2002 menyatakan bahwa pembangunan berbasis sumber daya
kelautan dan perikanan harus dijadikan arus utama pembangunan nasional baik secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya karena alasan: 1 melimpahnya
sumber daya yang kita miliki, dengan sejumlah keunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang sangat tinggi; 2 keterkaitan yang kuat backward dan forward
linkage antara industri berbasis kelautan dan perikanan dengan industri dan aktivitas ekonomi lainnya; 3 merupakan sumber daya yang senantiasa dapat
diperbaharui sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif ini dapat bertahan lama asal diikuti dengan pengelolaan yang arif; 4 dari aspek politik, stabilitas
politik dalam dan luar negeri dapat dicapai jika kita memiliki jaminan keamanan dan pertahanan dalam menjaga kedaulatan perairan; dan 5 dari sisi sosial dan
budaya, merupakan penemuan kembali reinventing aspek kehidupan yang pernah dominan dalam budaya dan tradisi kita sebagai bangsa maritim.