Kebijakan Pembangunan Sektor Perikanan Kabupaten Belitung

9 desentralistik. Pasal 18 ayat 4 UU tersebut mengatur batas kewenangan teritorial laut untuk provinsi sejauh 12 mil dan kabupaten adalah 13 dari kewenangan provinsi 4 mil. Satria et al. 2002 menyatakan kewenangan yang dimaksud UU ini merujuk pada pemberian hak dalam pengelolaan dan pemanfaatannya, bukan dalam arti kedaulatan atau penguasaan. Desentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan menghendaki partisipasi seluruh stakeholders di daerah dapat terakomodasi, karena stakeholders tersebut lebih mengetahui dan memahami kondisi sumber daya, sosial ekonomi, maupun kelembagaan di wilayahnya masing-masing. Dengan demikian sepatutnya daerah akan lebih mampu memformulasikan model pengelolaan sumber daya perikanan yang sesuai. Pembangunan sektor perikanan yang dikembangkan di Kabupaten Belitung meliputi peningkatan produksi melalui perikanan tangkap, perikanan budidaya dan pengelolaan hasil perikanan, pembinaan sumber daya manusia dan kelembagaan serta peningkatan ketertiban dan pengawasan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan DKP Belitung 2009a. Hal ini sejalan dengan triple track strategy pembangunan nasional yaitu; peningkatan pertumbuhan ekonomi pro growth, penciptaan lapangan kerja pro job dan pengentasan kemiskinan pro poor melalui perikanan DKP RI 2005. Selama ini kondisi pembangunan sektor perikanan lebih ditekankan pada pembangunan sektor fisik berupa sarana dan prasarana pendukung kegiatan peningkatan produksi. Sumbangan sektor perikanan dalam perekonomian Kabupaten Belitung menunjukkan angka yang cukup signifikan. Berdasarkan data statistik tahun 2008, nilai PDRB sektor perikanan berdasarkan harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha adalah sebesar Rp 207,84 milyar, yang setara dengan 66,23 dari sumbangan sektor pertanian. Sektor pertanian secara keseluruhan memberikan kontribusi sebesar 27,83 terhadap PDRB Kabupaten Belitung BPS Belitung 2009a. Sesuai kondisi Kabupaten Belitung sebagai daerah kepulauan 98 pulau kecil, maka pembangunan fisik juga harus mempertimbangkan aspek pemerataan dan keberlanjutan sesuai dengan sifat sumber daya yang dimiliki DKP Belitung 2009b. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan pembangunan berbasis sumber daya kelautan dan perikanan, secara teknis dapat didefinisikan 10 bahwa pembangunan kelautan berkelanjutan sustainable marine development adalah suatu upaya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia, sedemikian rupa sehingga laju pemanfaatan tidak melebihi daya dukung carrying capacity kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya Dahuri 2002. Peningkatan produksi perikanan tangkap sangat didukung oleh sarana dan prasarana yang ada. Pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana perikanan terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta yang bergerak di sektor perikanan. Terkait dengan kondisi potensi perikanan maka Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung menetapkan visi pembangunan sektor kelautan dan perikanan yaitu; “Terwujudnya sumber daya perikanan dan kelautan yang lestari dengan jasa-jasa kelautan yang menjadi sumber penghidupan sebagai pilar pembangunan ekonomi masyarakat yang berkualitas dan s ejahtera” DKP Belitung 2009a. Hal ini sejalan dengan visi Pemerintah Kabupaten Belitung yang menginginkan, terwujudnya Kabupaten Belitung yang mandiri dan produktif dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Pemkab Belitung 2010. Selain perikanan tangkap, produksi perikanan di Kabupaten Belitung juga ditentukan oleh kegiatan budidaya, baik laut maupun air tawar. Kegiatan budidaya laut didominasi oleh budidaya Ikan Kerapu Kerapu Sunu, Bebek dan Macan dengan metode keramba jaring apung KJA. Berbeda dengan budidaya laut yang relatif sudah maju, kegiatan budidaya ikan air tawar masih berada pada tahap pengembangan. Hal ini dikarenakan preferensi masyarakat Belitung selama ini lebih menyukai ikan laut dibandingkan dengan ikan air tawar. Meskipun baru dalam tahap pengembangan, produksi perikanan hasil budidaya menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahun DKP Belitung 2009a.

2.3 Permasalahan Pembangunan Perikanan

Secara umum sumber daya dapat dikelompokkan sebagai sumber daya alam natural resources, sumber daya manusia human resources, sumber daya buatan man made resources, dan sumber daya sosial social recources. Dalam pengelompokan ini, sumber daya perikanan tergolong sebagai sumber daya alam 11 yang lebih khusus lagi diklasifikasikan sebagai sumber daya alam flow alir, dimana jumlah kuantitas fisiknya berubah sepanjang waktu. Dengan kata lain, disebut sumber daya yang dapat diperbaharui renewable tergantung pada proses reproduksinya. Berdasarkan sifat persaingan untuk memanfaatkan dan kemungkinan penguasaannya, maka sumber daya perikanan digolongkan sebagai barang publik public goods karena memiliki dua sifat dominan yaitu non-rivalry dan non-excludable Fauzi 2006. Stobutzki et al. 2006a menyatakan bahwa salah satu permasalahan utama perikanan tangkap di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia adalah kekhawatiran tentang keadaan perikanan pesisir, terutama kondisi penyusutan sumber daya. Penyebab utama penyusutan tersebut adalah overfishing penangkapan yang berlebihan, yang diperburuk dengan degradasi lingkungan. Salah satu indikator overfishing pada perikanan pesisir adalah penyusutan hasil tangkapan per unit usaha. Hal ini disebabkan besarnya jumlah nelayan yang terlibat dalam kegiatan eksploitasi sumber daya ikan di daerah pesisir. Menurut Widodo dan Suadi 2006, beberapa ciri yang dapat menjadi patokan perikanan sedang menuju kondisi overfishing adalah: 1 waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya; 2 lokasi melaut menjadi lebih jauh dari biasanya; 3 ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya; 4 produktivitas hasil tangkapan per satuan upaya atau trip, CPUE yang menurun; 5 ukuran ikan sasaran yang semakin kecil; dan 6 biaya operasional penangkapan yang semakin meningkat. Sependapat dengan pernyataan Stobutzki et al. 2006a, Fauzi 2005 menyatakan bahwa penyebab utama krisis perikanan global adalah buruknya pengelolaan perikanan dilihat dari dua fenomena menonjol, yaitu overcapacity dan destruksi habitat. Dari kedua fenomena itu kemudian muncul berbagai penyebab lain, misalnya subsidi yang massive, kemiskinan, overfishing dan berbagai turunannya. Overcapacity di sektor perikanan akan menimbulkan berbagai masalah, yaitu: 1 tidak sehatnya kinerja sektor perikanan sehingga permasalahan kemiskinan dan degradasi sumber daya dan lingkungan menjadi lebih persisten; 2 menimbulkan tekanan yang intens untuk mengeksploitasi sumber daya ikan melewati titik lestarinya; 3 menimbulkan inefisiensi dan