Kearifan Tradisional TINJAUAN PUSTAKA

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kearifan Tradisional

Kearifan tradisional lahir dari ekstraksi pengalaman hidup manusia dengan lingkungan hidupnya selama turun-temurun dan berulang pada wilayah yang dikuasai secara adat. Babcock dalam Arafat dan Manan 2000 menyatakan hal yang sama tentang kearifan masyarakat sebagai kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar pada kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Dari definisi itu nampaklah hubungan erat antara kearifan manusia dengan lingkungan. Ketakterpisahan mahkuk hidup termasuk manusia dengan lingkungan hidupnya dilukiskan Soemarwoto 2008 sebagai dua sejoli, bahwa mahluk hidup membentuk lingkungan hidupnya dan sebaliknya mahluk hidup bergantung pada lingkungan hidupnya. Terdapat hubungan timbal balik, saling ketergantungan, mahluk hidup hanya mungkin dapat mempertahankan proses reproduksinya berkat nilai yang diterima dari lingkungan hidupnya dan kemampuan daya dukung lingkungan tergantung bagaimana mahluk hidup menciptakan keseimbangan dalam lingkungan hidupnya Soemarwoto 2008. Fokus dalam hubungan mahluk hidup dengan lingkungannya adalah hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya karena ruang lingkup hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya mencakup lingkungan fisik tidak hidup serta tumbuhan dan hewan sebagai materi di dalam lingkungan hidup manusia. Karena itu dalam pengelolaan lingkungan yang menjadi fokus adalah ekologi manusia. Soemarwoto 2008 menambahkan, dalam sejarah hidup manusia, ekologi dan faktor lain seperti ekonomi, teknologi bahkan faktor yang tidak material seperti sistem sosial, budaya dan religius menjadi arena bagi manusia dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan kunci untuk mengelola lingkungan hidup. Interaksi yang panjang, teratur dan terus-menerus antara manusia dengan alam melahirkan pengalaman-pengalaman hidup di alam berkaitan dengan pemanfaatan alam untuk 11 sumber kehidupan dan mempertahankan alam agar senantiasa memberikan layanan ekologisnya Soemarwoto 2008. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alam sebagai lingkungan tempat hidup manusia di muka bumi merupakan suatu media pengetahuan yang melahirkan kebudayaan manusia. Kebudayaan didapatkan dari proses interaksi yang terus menerus dan teratur dengan lingkungan hidupnya membentuk suatu sistem pengelolaan lingkungan Ranjabar, 2006. Dari sinilah lahirnya nilai-nilai kearifan yang menjadi sistem tradisional masyarakat. Nilai-nilai tersebut tidak hanya menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan yang diyakini adanya kekuatan dalam selubung alam yang memerlukan penghormatan secara religius tetapi dalam nilai-nilai tersebut terdapat pengetahuan yang menjelaskan secara ekologi sebuah kearifan Susilo 2008. Nababan 2003 menilai kearifan tradisional melekat pada pemilik sumberdaya dalam suatu wilayah yakni masyarakat adat. Contoh yang dapat memperlihatkan kelekatan itu dapat dilihat pada hubungan antara masyarakat adat dengan hutan dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang sebagaimana diuraikan dalam Uluk et al 2001. Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 mendefinisikan masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat Nababan 2003. Unsurnya adalah komunitas, histories, wilayah, hukum dan kelembagaan. Memperhatikan definisi tersebut masyarakat hukum adat pemilik sumberdaya laut di Kepulauan Wakatobi dengan nilai-nilai kearifan yang melekat dengan wilayah kekuasaan adat terbagi dalam 9 kadie dan 1 barata memiliki 9 limbo atau kadie, merupakan bagian dari 72 kadie dan 4 barata Kesultanan Buton Zuhdi, 1996. Kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya alam menarik untuk dicermati mengingat dampak negatif yang cenderung muncul akibat penerapan teknologi modern yang eksploitatif terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang menghendaki 12 harmoni dengan alam, dapat ditemukan pada sistem tradisional, tetapi pendekatan kearifan tradisional bukan berarti memutar roda kehidupan kapada masa lalu dalam dominasi alam. Membangkitkan kearifan tradisional merupakan suatu cara menjaga lingkungan dan meredam watak eksploitatif manusia atas alam. Muatan kearifan lokal yang tidak eksploitatif dibanding teknologi modern yang perlu dikembangkan yakni kearifan yang melayani kebutuhan secara subjektif, sesuai jumlah optimum yang dibutuhkan tanpa eksploitasi besar-besaran Susilo 2008. Endah dalam Adnan et al 2008 menuliskan kekhawatiran pada lunturnya minat kaum muda terhadap kearifan tradisional dan lebih memilih budaya-budaya modern seperti kebiasaan berkumpul di warung sambil menonton aneka sajian siaran televisi dari antena parabola di desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, disekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Dampaknya pada penegakan aturan-aturan adat adalah jika ada perlawanan dari pelaku perusakan atau pencurian sumberdaya alam aturan adat tidak bisa menindak. Dalam sidang musyawarah masyarakat para pelaku pelanggaran tersebut selalu menggunggat mana aturan yang dilanggar dan siapa yang menetapkannya. Belajar dari hal tersebut masyarakat desa Batu Kerbau kemudian mulai mendokumentasikan aturan adatnya. Aturan-aturan adat yang disepakati dalam musyawarah masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya alam dibakukan dalam bentuk piagam kesepakatan sehingga meskipun lembaga adat tradisional telah bubar tetapi piagam menjadi landasan dan pedoman pengambilan keputusan kolektif masyarakat adat. . Kasus desa Batu Kerbau adalah pelajaran empirik yang menegaskan kedinamisan kearifan tradisional. Bahwa kearifan tradisional terletak pada nilai kelolakan masyarakat pemilik sumber daya, bukan sekedar warisan dari masa lalu Adimihardja 2008. Dalam pengelolaan laut, sistem tradisional pudar karena, pertama sistem pengelolaan laut yang berbasis ilmu pengetahuan moderen menganggap pengelolaan yang bersifak lokal tidak relevan karena tidak didasarkan pada metode yang imiah. Akibatnya sistem tradisional diabaikan padahal pengelolaan tradisional sarat dengan 13 prinsip moral yang mendorong masyarakat bertanggung jawab atas stabilitas ekosisitem laut. Kedua, pengelolaan laut sentralistik Satria 2009b.

2.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dari Sentalisasi ke Desentralisasi