46 hukum sebagai subyek hak ulayat, 2 institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas
publik dan perdata atas wilayah hak ulayat, dan 3 wilayah sebagai obyek hak ulayat baik tanah, perairan dan sumberdaya alam di dalamnya Saad 2009.
Hak ulayat laut sebagaimana ditulis oleh Solihin et al 2005, adalah bentuk desentralisasi pengelolaan untuk menanggulangi kerusakan sumberdaya pesisir dan
kelautan. sara kadie oleh sara kesultanan diberi kebebasan membuat turunan aturan untuk mengatur rumah tangga sendiri sesuai dengan kebutuan dan kondisi lokal
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Murtabat Tujuh. Hal ini menunjukkan adanya kewenangan desentralistik pada kadie.
Saat ini contoh pengelolaan berbasis sistem lokal adalah penerapan awig-awig pada komunitas lokal suku Sasak di Lombok Barat, membuktikan sistem lokal
mampu mengurangi konflik internal nelayan karena pelanggaran wilayah larang tangkap dan konflik nelayan lokal dengan nelayan luar Satria et al 2003. Dua
sampai tiga tahun pertama pengelolaan TNW sejak ditetapkan tahun 1996, aksi konservasi keanekaragaman hayati seperti tindakan swieping biota kima yang
diperjual-belikan di pasar tradisional Waha Kecamatan Tomia menjadi justifikasi konservasi dan taman nasional yang membekas pada pengetahuan masyarakat.
Contoh kasus tersebut menunjukkan adanya jarak antara kebudayaan dan pengetahuan masyarakat dengan pengelolaan TNW. Kesenjangan yang tidak terkelola
dengan baik selalu menjadi awal timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam.
5.1.2 Pembagian Wilayah Adat Kadie
Kelompok masyarakat adat pemilik hak ulayat laut di Kepulauan Wakatobi adalah Kadie Liya, Mandati, Wanci, Kapota di Wangi-Wangi. Barata Kaedupa
mencakup wilayah yurisdiksi Pulau Kaledupa, Hoga, Lente’a, Darawa dengan wilayah yang terbagi dalam sembilan Limbo Kadie yakni Limbo Langge, Tampara,
Tapa’a, Kiwolu, Tomboloruha, La Olu’a, Liwuto, Ollo, Watole. Di Pulau Tomia terdapat Kawati Kadie Timu, Tongano, Waha. Sedangkan di Pulau Binongko
terdapat Kadie Wali Binongko Cia-Cia dan Kaluku Binongko Kaumbeda La
47 Beloro ketua Forum Kaledupa Toudani, La Arabu tokoh adat Wali, La Ode Abdul
Hamid tokoh adat Wakatobi, komunikasi pribadi Desember 2009. Berdasarkan zonasi TNW, wilayah adat wilayah-wilayah kadie mayoritas
masuk dalam ZPL, ZPB dan ZPr. Sebanyak 100 wilayah Kadie Liya, Kapota dan Wanci menjadi ZPL. Pada wilayah adat Kadie Mandati yakni 2,29 Karang
Matahora menjadi ZPB dan 3,44 Karang Sousu menjadi ZPr. Pengelolaan ZPL ditujukan untuk kegiatan mata pencaharian masyarakat lokal. Nelayan luar kawasan
tidak diperkenankan masuk dalam ZPL. Namun demikian baik TNW maupun pemerintah Kabupaten Wakatobi belum memiliki pengertian baku tentang batasan
istilah lokal apakah kriterianya desa, pulau atau Wakatobi. Karena itu penegakan peraturan zonasi di lapangan oleh TNW baru mengacu pada administrasi
kependudukan nelayan dan asal kampung secara tradisional pribumi. Definisi lokal dalam sistem kadie adalah komunal yakni masyarakat kadie. Posisi wilayah kadie dan
zonasi di Pulau Wangi-Wangi ditunjukkan dengan gambar 3.
Gambar 3 : Posisi wilayah adat kadie dalam zonasi TNW
Sumber : Dioleh dari Peta Zonasi TNW
48
5.1.3 Tanda Batas Wilayah Adat
Batas-batas wilayah adat kadie biasanya ditandai dengan kampung kampo, nama pantai oa, tumbuhan kau, tanjung untu, teluk kolo, nama karang watu
rumbu, nama batu watu atau ciri tertentu di tengah kampung yang memungkinkan klaim bahwa laut depan kampung tersebut masuk dalam wilayah adat. Petunjuk arah
yang merupakan titik proyeksi batas menggunakan arah mata angin. Penggunaan tanda dan mata angin dapat dilihat pada batas wilayah adat Wanci dan Mandati di
pantai timur pulau Wangi-Wangi yakni di kampung Longa yang masyarakatnya campuran kelompok adat Mandati dan Wanci. Tanda batas ditentukan melalui
penamaan ayam dalam masyarakat kampung. Belahan kampung yang masyarakatnya menyebut ayam dengan nama manu adalah Longa Mandati menjadi wilayah adat
Mandati sedangkan yang menyebut ayam dengan nama kadola adalah Longa Wanse menjadi wilayah adat Wanci. Batas laut depan kampung berpatokan pada arah mata
angin. Titik batas wilayah di pantai lurus ke arah mata angin timur di laut adalah tapal batas. Arah mata angin ke tenggara adalah wilayah Mandati dan ke arah timur laut
adalah milik Wanci. Batas wilayah kelompok adat Liya dan Mandati di sebelah timur Pulau
Wangi-Wangi adalah batu yang disebut Watu Wakara di Teluk Ponta sebelah selatan desa Matahora. Batas pada perairan sebelah barat Pulau Wangi-Wangi adalah ollo
laut dalam La Kapala sampai batas pantai Numana Mandati dan Patinggu Liya yang dikenal dengan nama Oa pantai La Hudu. Konon di oa inilah pendaratan Sara
Wolio sara pemerintah pusat Kesultanan Buton untuk menentukan tapal batas Kadie Liya dan Mandati. Selain di Pulau Wangi-Wangi, wilayah ulayat kelompok
adat Liya juga berada di Pulau dan Perairan Pulau Kapota. Batas Liya dan Kapota sebelah timur adalah Pantai Wa Toruntoru. Laut depan Pantai Wa Toruntoru milik
Sara Mandati sampai ou laguna didepan kampung Kolo. Ou masih berada di dalam wilayah adat Liya sedangkan wilayah Mandati berada di timur ou kampung Kolo
yakni nokoi gosong pasir Melanga sampai Oa La Hudu diperbatasan Patinggu dan Numana. Disebelah tenggara ou yaitu daerah pasang surut masuk wilayah Mandati
49 sampai pantai Kaluku Ina Wa Turi kaluku berarti pohon kelapa, ina berarti seorang
ibu, Wa Turi adalah nama orang. Laut di pesisir pantai dari kaluku Ina Waturi kearah selatan sampai pantai barat yakni Pantai Ondaria tepatnya disalah satu bagian
pantai yakni Uju Melanga adalah milik Sara Liya. Selepas Uju Melanga ke arah utara adalah milik Sara Kapota. Sebelumnya,
diantara kaluku Ina Waturi dengan pantai Ondaria terdapat Nokoi Koyambako yang bersambung dengan daratan. Nokoi Koyambako yang tidak kering pada saat pasang
surut adalah laut Mandati sedangkan bagian yang kering, ekosistem mangrove sampai daratan adalah wilayah Liya. Batas hak ulayat laut kelompok adat Kapota dengan
kelompok adat Mandati dan Wanci adalah laut dalam ollo yang terletak di antara Pulau Kapota dan Pulau Wangi-Wangi.
Penggunaan nama dan tanda batas dengan nama kampung, pantai, pohon, batu dan lain-lain yang berada di alam serta petunjuk arah proyeksi batas di laut
menggunakan mata angin memudahkan masyarakat mengenali batas wilayah, karena merupakan istilah, nama, ataupun benda yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu penggunaan tanda-tanda pada alam akan membuat manusia tidak dengan mudah melakukan perubahan bentang alam seperti menimbun dan menggerus pantai
atau merambah pepohonan. Secara tidak langsung kearifan tersebut merupakan aksi konservasi sumberdaya alam. Tanda batas dalam kearifan masyarakat juga tidak
sesulit memahami tanda batas zona dalam TNW. Penggunaan titik koordinat untuk menandai batas zonasi menyulitkan
masyarakat untuk mengetahuinya karena harus membutuhkan alat dan pengetahuan baru tentang alat ukur titik koordinat GPS, selain itu tanda secara fisik tidak dapat
dikenali karena laut tidak bisa diberi tanda garis seperti halnya daratan. Sebenarnya setiap bagian karang baik karang atol yang jauh dari pulau maupun wilayah pesisir
memiliki nama-nama lokal. Karang Atol Kaledupa misalnya memiliki lebih dari 10 bagian titik dengan nama-nama yang diberikan masyarakat dari dulu. Demikian
juga dengan atol lainnya. Penggunaan nama-nama lokal sebagai titik batas zonasi dapat menjadi acuan diikuti titik koordinat dari lokasi yang memiliki nama lokal.
50 Batas lokasi ke laut dalam yang tidak memiliki nama lokal khusus dapat dilakukan
dengan menyebut arah mata angin dari lokasi titik acuan yang memiliki nama lokal.
5.1.4 Kelembagaan dan Sanksi