Musyawarah Kadie dan Antar Kadie Musyawarah Kolaboratif

89

5.6.3 Musyawarah Kadie dan Antar Kadie

Musyawarah kadie dilakukan untuk menyamakan presepsi antara masyarakat yang sudah terbagi-bagi dalam wilayah administrasi pemerintahan desa yang berbeda-beda. Kemungkinan adanya nilai baru seperti ego desa bisa saja terjadi mengingat kuatnya kepentingan ekonomi dan politik aktor lokal dari masing-masing desa. Dengan demikian musyawarah kadie efektif untuk menyepakati nilai-nilai yang akan direvitalisasi dan pelembagaan yang tidak tumpang tindih dengan peran lembaga desa atau tidak mengganggu posisi politik pejabat-pejabat desa. Hasil musyawarah kadie akan menguatkan peta wilayah, narasi kearifan yang dituangkan dalam bentuk profil kearifan tradisional kadie. Kesepakatan kadie kemudian ditindak lanjuti dengan musyawarah antara wakil-wakil kadie yang akan berguna engidentifikasi dari awal persoalan-persoalan batas wilayah dan pembuatan agenda strategi perjuangan bersama.

5.6.4 Musyawarah Kolaboratif

Pada level ini wakil kelompok masyarakat adat dan pemerintah duduk bersama untuk membangun persepsi yang sama mengenai persoalan substansi kolaborasi sebagaimana yang dimaksud Widodo dan Suadi 2005 sebagai pendekatan ruang pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah dan pemangku kepentingan. Melihat proses yang dikonstruksi dalam penelitian ini, model kolaborasi yang akan dibangun adalah kolanorasi sistem bukan kolaborasi aktor-aktor yang berada dalam kawasan. Kolaborasi sistem adalah penyelenggaraan pengelolaan kawasan yang mengakomodir sistem tradisional masyarakat lokal yang karena latar belakang historis dikenal pemilik property right atas kawasan berupa hak ulayat sesuai sistem adatnya. Musyawarah kolaborasi pada level ini penting mengingat masih adanya kesenjangan pengelolaan pada wilayah atol pasi Kaledupa dan Kapota dimana sebagian wilayah kelola tradisional sistem huma tersebut masuk dalam wilayah ZPB, wilayah Kadie Mandati yakni sebagian Karang Sousu menjadi ZPr dan sebagian 90 Karang Matahora menjadi ZPB. Hasil yang diharapkan dalam tahapan ini adalah kesepakatan konservasi yang dapat meliputi : a. Peengelolaan dalam wilayah kadie dilakukan dengan sistem adat kadie. b. Pembagian peran kelompok masyarakat adat dan pemerintah dalam pengelolaan wilayah tangkap tradisional yang dimanfaatkan masyarakat lintas kadie seperti di atol Kaledupa, Kapota, Moromaho sehubungan dengan karang atol tersebut sebagian menjadi ZPB dan ZPr. c. Legitimasi pengelolaan berdasarkan adat kadie oleh pemerintah. Melihat faktanya bahwa sebagian besar wilayah adat kadie adalah ZPL maka secara operasional pengaturan adat atas wilayah tersebut seharusnya dapat dilakukan. Teori-teori desentralisasi dan perundang-undangan seperti UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau keci, Undang-Undang Perikanan dan zonasi TNW sendiri merupakan justifikasi terhadap pengaturan dengan kearifan adat.

5.6.5 Proses Legalitas