60 sebagai simbol dari kesediaan mengikuti adati yi pasi adat di karang. Pemilik
huma akan menunjukkan lokasi tempat menangkap ikan agar tidak mengganggu lokasi tangkap nelayan lainnya. Po adati yi pasi mengikat setiap orang untuk tidak
lempagi melewati batas dan sabaragau sembarangan, suatu nilai rasa moral dari manusia suku Buton yakni “Binchi-binchiki kuli”, artinya mencubit diri sendiri jika
terasa sakit maka sakit pula dirasakan orang lain Saidi 2000. Perwujudannya adalah sikap saling menghargai poangga-angga dan tolong-menolong pohamba-hamba.
Relevansinya dengan pengelolaan huma adalah kepatuhan pihak yang berinteraksi dalam ekosistem tersebut melewati batas teritorial dari kadie masing-masing.
Nelayan yang tidak mematuhi po adati yi pasi dan langsung melakukan penangkapan ikan dianggap melakukan kegiatan pencurian illegal fishing sehingga
pemilik huma wajib memberikan peringatan dan mengusirnya. Alat tangkap yang digunakan dalam sistem huma adalah bubu polo. Satu kelompok pemilik huma
dapat memiliki 100–200 polo yang dipasang pada bagian dasar laut datar, berpasir dan ditumbuhi lamun di sekitar ekosistem terumbu karang.
Sebagian lokasi huma di atol Kaledupa bagian barat saat ini menjadi ZPB TNW. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan dalam ZPB adalah pemancingan
tradisional, pancing dasar, pancing tonda, budidaya, jaring dasar, bubu, sero, menyelam teripang, lobster dan kerang, memanah ikan, meti-meti, memasang
rumpon, perahu pelingkar dan bagan. Dalam sistem huma lokasi tersebut hanya dikelola dengan alat tangkap bubu dan target tangkapan ikan, pengambilan biota
seperti kima tidak dilakukan. Kegiatan penangkapan ikan dengan alat lain seperti pancing oleh nelayan lain hanya dapat dilakukan bila mendapat izin pengelola huma.
5.2.6 Homali
Lokasi homali atau pemali di darat disebut kaombo. Sebenarnya asal dari istilah kaombo adalah sistem pengelolaan hutan yang merupakan kewajiban setiap
kadie yang tertulis dalam Undang-Undang Murtabat Tujuh. Karena sifatnya yang dilindungi adat, maka kaombo tidak dapat dijamah, homali atau terlarang. Tempat-
61 tempat seperti itu kemudian berkembang pada masyarakat sebagai lokasi sakral atau
keramat dengan berbagai peristiwa historis yang menyertainya. Menurut Zuhud dalam Soedjito et al 2009 menjelaskan tiga stimulus sebagai pendorong sikap
konservasi yakni stimulus alamiah, manfaat dan religius. Sinyal dari situs sakral atau keramat homali sebagaimana dijelaskan di atas adalah stimulus religius yang
mempengaruhi sikap konservasi masyarakat atas kawasan homali. Kawasan homali yang tidak dapat diakses sembarang bertahan dalam kondisi alamiah, bertahan dari
degradasi lingkungan karena menyatu dengan sistem kepercayaan dan kebudayaa masyarakat setempat Soedjito et al 2009.
Selain karena kepercayaan terdapat lokasi-lokasi lindung karena fungsi ekosistem sebagai batas wilayah kadie, contohnya ekosistem mangrove yang
membatasi wilayah kelompok adat Kaumbeda dan Cia-Cia di sekitar desa Oihu pulau Binongko. Tetapi di lokasi penelitian ini umumnya lokasi homali terjadi karena faktor
kepercayaan seperti larangan untuk melakukan aktivitas pengambilan hasil mulai dari daratan sampai daerah pasang surut pesisir homali atau ketentuan yang hanya
membolehkan kegiatan terbatas tidak berbuat sembarangan. Pelanggaran atas homali diyakini membawa dampak negatif seperti bencana alam, wabah penyakit
yang menimpa manusia dan kampung. Larangan untuk eksploitasi bukan hanya bagi komunitas setempat pemilik keyakinan tetapi juga terhadap orang diluar komunitas.
Oleh sebab itu setiap ada yang melakukan aktivitas dalam wilayah tersebut akan ditindak oleh komunitas setempat.
Lokasi-lokasi yang memiliki nilai sakral dalam lokasi penelitian ini umumnya berada pada sebuah tanjung untu, meliputi ekosistem pantai dan pesisir, seperti
Untu Wa Ode, Untu Melambi, Oguu Dua Hu’u, Saru-Sarua, Untuno, Liyantande, Untu Moori, Kansira, Bungi dan Watu Towengka. Perlakuan non eksploitatif bukan
dilatarbelakangi oleh pengetahuan terhadap nilai penting ekosistem tetapi keyakinan turun-temurun, yang menjadi suatu bentuk aksi konservasi masyarakat. Kepatuhan
pada situs keramat menjadi bagian penting konservasi kawasan, meskipun dari aspek
62 luas tidak begitu besar, tetapi dampaknya sangat penting dalam menjamin konservasi
keanekaragaman hayati dan pelestarian budaya Soedjito et al 2009. Semua lokasi situs keramat homali merupakan bagian dari ZPL dalam
zonasi TNW yang berarti terbuka untuk segala bentuk penggunaan peralatan tangkap tradisional ramah lingkungan. Pada lokasi homali Untu Waode aktivitas penangkapan
ikan dari perairan pantai sampai daerah tubir tidak dapat dilakukan, sementara pada lokasi homali lainnya dapat dilakukan mengambil hasil laut tetapi dengan ketentuan
yang dsebut mbeaka to sabaragau kita tidak boleh berbuat sembarang atau bebas,, dilarang berkata-kata yang tidak sopan dan harus bersikap berhati-hati.
Pada situs Saru-Sarua yang terletak di tanjung barat laut Pulau Kapota terdapat kepercayaan bahwa jika ikan berwarna merah tertangkap pancing pada areal
karang perairan Saru-Sarua merupakan sinyal musibah. Jadi ketika menangkap ikan merah nelayan bersangkutan sudah harus meninggalkan lokasi tersebut. Sinyal ikan
merah menjadi stimulus bagi aksi konservasi atas jenis ikan karang berwarna merah seperti ikan kakap family Lutjanidae dan sunu Plectropomus Leopardus untuk
tidak tertangkap secara berlebih atau tidak menjadi target tangkapan, yang berarti secara langsung merupakan bentuk konservasi ekosisitem karang yang merupakan
tempat sosialisasi ikan merah jenis kakap atau sunu.
5.2.7 Ika nu Sara