50 Batas lokasi ke laut dalam yang tidak memiliki nama lokal khusus dapat dilakukan
dengan menyebut arah mata angin dari lokasi titik acuan yang memiliki nama lokal.
5.1.4 Kelembagaan dan Sanksi
Sara merupakan lembaga representasi dari masyarakat hukum adat, kewenangannya menyusun, menetapkan dan menegakkan hukum adat. Jumlah dan
struktur sara di keempat kadie penelitian ini beragam, pada Kadie Liya sara beranggota laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama, disebut sara mo ane
laki-laki dan sara wowine perempuan. Anggota sara yang menjalankan fungsi sara mengawasi pengelolaan sumberdaya laut adalah pangalasa untuk kelompok adat
Liya, serta jurubasa untuk kelompok adat Mandati, Kapota dan Wanci. Bobato dan bonto yang memimpin kadie disebut meantu’u. Disamping memimpin kadie, bobato
dan bonto kadie merupakan anggota sara kesultanan. Kedudukannya dalam kadie adalah tunggu-tunggu yang mewakili sara kesultanan serta memutuskan perkara
urusan yang tidak dapat diputuskan anggota sara kadie. Namun demikian bobato atau bonto kadie tidak dapat ikut campur dalam musyawarah sara kadie kecuali
diminta pendapatnya. Kewajiban bobato dan bonto kadie adalah menjalankan hasil musyawarah sara kadie dan mengkonsultasikan perkara yang tidak dapat diputuskan
sara kadie kepada sara kesultanan dan Saidi 2000. Pelanggaran atas hukum-hukum adat merupakan pelanggaran terhadap sara
karena seluruh sumberdaya alam adalah milik sara. Pelanggaran yang terjadi dapat berupa pengambilan hasil perikanan pada lokasi yang telah ditetapkan oleh sara
sebagai wilayah larang tangkap seperti lokasi wehai, tampora atau pelanggaran dalam penggunaan alat tangkap sanksinya disebut hoko da o ke te sara pengertian
harfiahnya pelaku dirusakkan oleh sara. Tidak dirinci apa saja bentuk sanksi yang dimaksud dengan hoko da o tersebut tetapi, tetapi merujuk pada Undang-Undang
Dasar Murtabat Tujuh maka setiap pelanggaran dapat menimbulkan konsekuensi tadosa ake yang membuat berutang, ta mate akea yang membuat mati dan ta sala
akea yang membuat kita salah. Konsekuensi hukumnya adalah sanksi sosial seperti
51 penurunan status yang menjadi seseorang sebagai budak. Dengan demikian
masyarakat takut dan tidak punya pilihan kecuali patuh. Bentuk-bentuk sanksi lainnya dari sara dapat berupa hukuman fisik seperti siasa siksa, denda materi
berhubungan dengan patudu’a ketika seseorang tidak mampu membayar denda, ampo ako’e te togo dikucilkan dalam bentuk tidak didatangi warga jika
melaksanakan kegiatan hajatan hidup maupun duka kematian. Sanksi paling ringan adalah ndou-ndou atau a-dari ditegur dan dinasehati sara dalam sebuah
majelis yang dibuat untuk tujuan tersebut. Kepatuhan pada sesuatu yang disebut no angka e te sara dilarang oleh sara
tersebut juga distimulus oleh ketakutan masyarakat atas sebutan tapa sara yang berarti tidak beradat atau tidak bermoral ketika melakukan perbuatan yang melanggar
norma bersama, sebab vonis tapa sara tidak hanya berimplikasi individual hanya untuk pelaku tetapi memiliki arti yang lebih luas dengan subjek mencakup satu
lingkaran keluarga individu pelaku. Seseorang yang dikatakan tapa sara dimaknai bahwa pelaku adalah turunan keluarga yang tidak memiliki pengetahuan po’adati
atau tidak mengajarkan adat. Jadi secara umum masyarakat sangat menghindari apa yang disebut dengan tapa sara karena hal tersebut mempertaruhkan nama keluarga.
Sejak campur tangan Belanda 1906 ditandai dengan pembentukan lembaga distrik yang mengkoordinir beberapa kadie Schoorl 2003 sampai tahun terakhir
Kesultanan masih berfungsi 1959 pelaksanaan sanksi atas pelanggaran adat yang disebut sala pake atau berperilaku tidak sesuai adat pelaksanaan sanksi tetap oleh
sara, tetapi pelanggaran yang sifatnya pidana seperti tindakan merusak atau mencuri hasil laut pelaksanaan sanksi dilakukan oleh Pemerintah Distrik.
Dalam pengelolaan wilayah, setiap sara kadie hanya bertanggung jawab atas pengelolaan wilayahnya. Berbeda dengan kelembagaan taman nasional Balai TNW
yang mengurus kawasan seluas 1,3 juta Ha. Dengan mandat desentralistik dari sara kesultanan untuk membuat peraturan adat dan bertanggung jawab penegakannya
maka sara kadie secara efektif mampu mengelola sumberdaya. Meskipun secara teknis kewenangan BTNW menjadi tanggung jawab Seksi Pengelolaan Taman
52 Nasional SPTN yang berkedudukan di setiap pulau utama Wangi-Wangi,
Kaledupa, Tomia, Binongko, namun tugas yang diberikan pada SPTN hanya melaksanakan fungsi pengelolaan taman nasional dalam wilayah SPTN, mewakili
kepala balai, melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam lingkup kerja tanpa kewenangan membuat aturan sebagaimanan kewenangan sara kadie.
5.2 Pengelolaan Laut oleh Adat dengan Pendekatan Ruang 5.2.1 Hak Pengambilan Hasil Perikanan Fishing Right Wilayah Adat
Laut Wakatobi dikelola dalam unit terkecil yaitu satuan wilayah kadie. Undang-undang kesultanan menetapkan peraturan khusus yang disebut “Pitu pulu
rua kadiena” yang pengertian hukumnya adalah tujuh puluh dua bagian tanah untuk rakyat. Inti peraturan khusus itu adalah memberikan kewenangan desentarilisasi pada
kadie untuk mengatur rumah tangga sendiri. Isinya mengatur ketentuan pemilikan tanah sebagai milik kadie yang dipergunakan rakyat. Pemilikan perorangan yang
diperoleh dari kekuasaan dan kekuatan disimbolkan dengan keberadaan golongan bangsawan kaomu dan walaka dalam kadie tidak dibenarkan. Pengolahan hanya
diijinkan dengan persetujuan sara kadie tetapi sumberdaya tanah tetap menjadi milik kadie. Ketentuan ini berlaku sampai ke laut karena laut dalam konsep teritorial use
right adat disebut sebagai te sinai nu togo artinya milik kampung, itulah sebabnya perbatasan teritorial antara kadie dihitung secara detail sampai ke laut. Misalnya
batas Kadie Liya dan Kadie Mandati adalah ditengah-tengah ollo laut dalam La Kapala. Bukti kewenangan sara sampai ke laut diantaranya dapat dilihat pada
pengelolaan wilayah laut te mone’a nu sara, adat istiadat dalam menggunakan alat tangkap, pembatasan input nelayan luar atau penetapan lokasi-lokasi perlindungan
wehai dan homali. Hal terpokok dari pengelolaan di darat maupun laut dalam adat sara kadie
menggariskan bahwa sumberdaya adalah milik bersama. Sara kadie mengatur pengelolaan baik pemanfaatan maupun pengamanan sehingga menghindarkan laut
sebagai wilayah open access. Bentuk pengelolaan ini menurut Satria 2009b
53 melindungi nelayan kecil yang memiliki jangkauan operasi hanya pada daerah pesisir.
Pengelolaan dalam unit wilayah terkecil seperti dalam sistem kadie dimasa lalu mendekatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, efisien dan
efektif karena pengelolaan menjadi bagian dari hak ulayat dalam sistem adat mereka Satria 2009b.
Pembatasan input berupa alat tangkap dalam ZPL juga diatur dalam zonasi TNW. Alat tangkap yang diperbolehkan dalam ZPL adalah peralatan tradisional
tetapi fishing right tidak secara ekslusif diberikan pada masyarakat kampung. Sehingga sebagai konsekuensinya, laut kampung tetap menjadi area persaingan lokasi
tangkap sesama nelayan tradisional, serta persaingan penggunaan alat yang menentukan jenis hasil yang akan diambil. Pada sistem tradisional, fishing right
penduduk kampung bukan hanya berkenaan dengan wilayah tetapi perlindungan dari alat tangkap nelayan luar kampung yang berarti proteksi atas nelayan kecil dalam
kampung dan perlindungan atas hasil laut selain ikan. Hal tersebut disebabkan adanya ketentuan yang hanya membolehkan penggunaan alat pancing bagi nelayan yang
berasal dari luar kampung kadie.
5.2.2 Wehai