Katondo Lamba Bubu Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Alat Tangkap .1 Jenis Alat Tangkap

69 Kewajiban pemilik ompo yang melekat pada pemberian hak kelola oleh sara adalah tanggung jawab menjaga adat po’adati yang melekat pada ompo misalnya larangan menangkap ikan oleh masyarakat umum pada zona lansano, menjaga wilayah dari kegiatan pencurian hasil laut oleh nelayan luar dan perusakan ekosistem. Anggota masyarakat lainnya tetap bisa mengakses wilayah sekitar ompo untuk mencari hasil laut dengan ketentuan po’adati dan tidak memasang alat yang sama secara berdekatan. Ukuran jauh atau dekat secara tradisional adalah mengikuti nama pantai atau nama lokasi. Misalnya jika seseorang telah diberikan hak untuk memasang ompo pada pesisir pantai Usuno maka orang lainnya hanya boleh memasang alat yang sama pada pesisir pantai lainnya. Ompo dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yaitu perairan pesisir dan karang atol, dan dalam ZPU, tetapi melihat kondisi dimana ZPU berada di perairan laut dalam maka alat tangkap ini tidak dapat digunakan pada ZPU. Penggunaan alat ini dalam sistem tradisional hanya digunakan pada daerah pasang surut perairan pesisir pulau, tidak digunakan pada daerah karang atol meskipun bagian-bagian atol memiliki kesamaan fisik dengan pesisir. Hal ini menegaskan keterkaitan ompo dengan pengelolaan ruang adat di pesisir kampung. Pola penggunaan alat berhubungan dengan hak pengambilan hasil perikanan atas wilayah penggunaan alat maka dalam sistem tradisional alat tersebut tidak dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain.

5.3.3 Katondo

Katondo sama dengan fungsi ompo tetapi terbuat dari batu yang disusun seperti benteng dan wilayah pemasangan alat tersebut jauh dari pantai yakni dekat tubir atau yi wiwi wilayah pasang surut yang sudah berdekatan dengan laut dalam. Ikan-ikan kecil awu yang terperangkap dalam ompo harus dilepaskan. Katondo juga sering disebut bala watu ompo dari batu. Bahan yang digunakan yakni batu karang sehingga tergolong yang tidak ramah lingkungan. 70

5.3.4 Lamba

Lamba dalam kebudayaan masyarakat Wakatobi terbuat dari tali hutan yang sepanjang bentangannya digantungkan daun-daunan dengan fungsi membatasi pergerakan ikan. Penggunaannya dengan cara melingkari laut yang telah dipastikan sebagai tempat ikan berkerumun. Lalu kedua ujung tali digerak-gerakan sehingga ikan takut untuk keluar dari dalam lingkaran. Ika-ikan dalam lingkaran ditangkap dengan tombak. Saat ini lamba lokal sudah tidak ditemukan lagi, beberapa nelayan dari Bajo Lamanggau Kecamatan Tomia dan nelayan Bajo Sapuka dari Sulawesi Selatan menggunakan alat tangkap jaring redi dan menyebutnya sebagai lamba. Dalam Perda Kabupaten Wakatobi tentang alat tangkap, lamba termasuk alat tangkap yang dapat digunakan sedangkan jaring redi tidak diperkenankan. Jaring redi termasuk alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang dan dalam operasinya menangkap ikan tanpa seleksi. Dalam sistem tradisional lamba hanya dapat digunakan penduduk kadie dalam wilayah kadie sendiri, tetapi bahan, bentuk dan prinsip kerjanya berbeda dengan lamba yang dikenal saat ini. Lamba dalam sistem tradisional tidak digunakan dalam wilayah dimana sistem huma beroperasi.

5.3.5 Bubu

Bubu merupakan alat tangkap tradisional dengan beragam adat pembuatan dan penggunaan yang tidak bisa dilanggar pembuatnya, mulai dari pemilihan bahan, pengukuran, pemotongan, pembuatan sampai pemasangan alat di laut. Bubu terbuat dari bambu yang dianyam seperti basket dengan mata paling kecil 2 jari dan paling besar 4 jari pemiliknya, dimaksudkan untuk menyeleksi ukuran ikan yang akan ditangkap. Bubu adalah alat tangkap utama pada sistem huma dan digunakan secara luas nelayan lokal di perairan pesisir kampung. Bubu juga menjadi indikator untuk membedakan nelayan lokal kadie dan bukan. Misalnya nelayan Bajo tidak memiliki tradisi pasang bubu. Secara ekonomi bubu merupakan alat penangkap ikan untuk konsumsi rumah tangga maupun dijual. Pengguna bubu adalah laki-laki, tetapi para janda yang 71 menanggung anak biasanya juga memiliki bubu. Untuk memasangnya di laut bubu milik para janda tersebut biasanya dititipkan pada nelayan para polo pemasang bubu laki-laki. Sebagai imbalannya pemilik bubu memberikan bekal makanan untuk nelayan tempatnya menitip. Dengan demikian fungsi sosial bubu adalah saling bantu- membantu sesama masyarakat terlebih kepada yang tidak mampu seperti para janda yang merawat anak sebatang kara single parent. Sumbangsih alat tangkap bubu terhadap konservasi terletak pada desain alatnya yang dapat menyeleksi ukuran ikan sehingga memberi kesempatan ikan-ikan kecil untuk berkembang biak dan penggunaannya sangat tergantung pada terumbu karang tetapi alat harus diletakkan di dasar laut yang rata, berpasir atau lamun dan tidak boleh menyentuh terumbu karang. Aspek pengaturan pengelolaan sumber daya laut yang melekat pada alat ini adalah larangan bagi pengguna alat pancing dan jaring untuk melakukan kegiatan perikanan pada area depan bubu yang disebut sebagai mulut bubu, yakni pintu masuk ikan. Bubu juga tidak dapat dipasang pada laut disekitar ompo. Pengaturan pengelolaan perikanan seperti ini merupakan bentuk pengelolaan sumber daya laut yang melekat pada kearifan alat tangkap. Hal mana merupakan bentuk hak pengambilan hasil perairan pada nelayan yang bermanfaat bagi konservasi sumber daya hayati sebagaimana dijelaskan Satria 2009b yakni mengurangi konflik karena adanya kejelasan batas ruang kelola, peningkatan pendapatan nelayan, adanya tanggung jawab nelayan untuk menjaga kelestarian area kelolanya dengan tidak melakukan penangkapan ikan secara berlebihan dan nelayan merasa menjadi subyek dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Bubu dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yakni di daerah pesisir dan karang atol dan ZPU, tetapi ZPU berada pada laut dalam dimana penggunaan bubu tidak dimungkinkan. Dalam sistem tradisional, bubu hanya dapat digunakan oleh nelayan lokal kampung pada wilayah kampungnya karena alat ini termasuk kategori alat yang memungkinkan penggunanya mengelola suatu tempat dalam waktu lama dan berarti pengguna selalu akan kembali ke tempat pemasangan bubu. Alat tersebut juga dapat digunakan pada karang atol sebagai alat tangkap utama 72 dalam sistem hum. Dalam sistem zonasi TNW sebagian karang atol menjadi ZPB yang terlindungi dari berbagai jenis pemanfaatan karena fungsinya yang menjadi zona penyangga atau melindungi sumber daya hayati yang akan mendukung zona inti ZI dan zona pemanfaatan.

5.3.6 Buani