Batoo dan Kota Sistem Huma

57 sebagai antisipasi atas cuaca buruk yang menyebabkan nelayan kampung tidak dapat melaut ke tempat lain. Sebagian pesisir kampung Sousu dalam sistem zonasi menjadi ZPr dan sebagian pesisir Desa Matahora yakni namo Bontu menjadi ZPr. Pemerintah daerah melalui Coremap-DKP menjadikan wilayah tersebut Daerah Perlindungan Laut DPL. Pada wilayah Kadie Kapota monea’a nu sara tersebut berada di pesisir Kampung Padangkuku di sebelah utara Pulau Kapota, dan di pesisir Singgaleta, pantai timur yang berbatasan dengan kampung Kolo Liya.

5.2.4 Batoo dan Kota

Pada kelompok adat Wanci dikenal sistem pengelolaan perikanan yang disebut kota yaitu perairan pesisir yang ditandai dengan batoo atau pagar batu melingkar dari daerah tubir ke pesisir. Pagar batu tersebut memiliki ketinggian sekitar 1 meter yang tenggelam pada saat air pasang dan muncul pada permukaan saat air surut sehingga berfungsi menjebak ikan yang bergerak ke pesisir untuk tidak kembali ke perairan laut dalam atau daerah karang. Batoo Wanse berada di depan kampung Te’e Bangka kelurahan Wanci dimana pada wilayah daratnya terdapat lahan dan kebun kelapa milik sara yang termasuk lahan wehai. Kota sebenarnya adalah tumpukan batu yang berada di tengah batoo yang tidak boleh dipindahkan. Selain bemakna simbolik yang menandakan lokasi peruntukan sara untuk perikanan masyarakat yang memiliki keterbatasan sarana, juga jika dilihat fungsinya merupakan karang buatan yang akan menjebak ikan-ikan karang untuk naik ke arah pesisir pada saat air pasang dan berlindung saat air surut sehingga penangkapan tidak perlu di lakukan di lokasi karang asli yang berada di belakang batoo. Konsep Kawasan Perlindungan Laut KPL melalui zoansi TNW dan DPL Coremap-DKP Kabupaten Wakatobi menekankan daerah-daerah perlindungan laut untuk melindungi ekosistem alami dari aktivitas penangkapan. Hasil yang diharapkan dari sistem ini adalah limpahan ikan dari daerah lindung menyebar ke daerah tangkap diluar kawasan lindung sehingga bisa memberikan keberlanjutan perikanan. 58 Dalam sistem kota dan batoo penangkapan dilakukan pada daerah pasang surut diluar ekosisitem alami terumbu karang diperuntukkan bagi nelayan kampung yang memiliki sarana terbatas. Sistem ini merupakan bentuk pelayanan sara terhadap nelayan tardisional dari kampung dari persaingan dengan nelayan luar yang hanya boleh melakukan penangkapan pada daerah batoo dan kota jika mendapat izin sara, meskipun demikian nelayan luar tidak masuk kawasan tersebut.

5.2.5 Sistem Huma

Secara harfia huma adalah penamaan rumah bertiang kayu tancap pada daerah pasang surut baik di pesisir maupun di daerah karang atol pasi yang jauh dari kampung. Huma juga dikenal dengan nama loma. Secara fisik huma yang berada di pasi adalah tempat istirahat, tempat menyimpan peralatan dan logistik, tempat memasak, menambatkan sampan selama berada di karang, dimiliki secara berkelompok atau perorangan. Selain fungsi-fungsi fisik huma sebagai rumah di daerah karang, huma juga merupakan sistem po’adati yi pasi atau memiliki fungsi pelembagaan adat pengelolaan sumberdaya laut di pasi. Sistem huma berlaku di Karang Kaledupa, Koromaha, Kapota. Masyarakat Wangi-Wangi menyebutnya Karang Kapota dengan nama Pasi Togonto artinya pasi milik kampung se-Wanci, Mandati, Kapota dan Liya, sedangkan masyarakat Kaledupa, Tomia dan Binongko menyebutnya pasi Koba merujuk pada nama Pulau Koba sebelum diganti oleh Belanda menjadi Pulau Wangi-Wang. Sistem huma sangat unik karena pasi sebagai habitat huma bukan merupakan daerah coastal dimana biasanya berkembang sistem tradisional. Jika pasi yang terletak jauh dari pulau pemukiman penduduk dibiarkan tanpa aturan, maka akan memudahkan eksploitasi sumber daya secara terbuka open access tanpa pemilikan dan melahirkan keuntungan ekonomi jangka pendek bagi nelayan sebagaimana dikemukakan Widodo dan Suadi 2006 hanya akan mengundang perhatian nelayan baru untuk masuk kawasan hingga sampai pada suatu titik maksimum eksploitasi 59 dimana terjadi overcapacity kemampuan wilayah dalam menampung user. Pada akhirnya kondisi tersebut melahirkan overfishing penangkapan berlebihan. Meskipun pengelolaan sumberdaya dalam sistem huma menegaskan adanya kekuatan peran beberapa orang atau kelompok atas pengaturan sumberdaya tetapi hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pemilikan pribadi atas sumber daya private property right karena tidak adanya unsur pemilikan pribadi atas benda- benda dalam wilayah kelola kelompok itu. Pendefinisian yang lebih mendekati ialah res communes kepemilikan komunal. Hal ini dapat dilihat dari sifat sistem huma yang merupakan bentuk penegakan peraturan bersama untuk barang milik bersama community property right. Secara historis sistem huma pertama diperkenalkan nelayan bubu Kampung Kahyanga dari kelompok adat Kawati Tongano di Pulau Tomia. Sistem huma dipraktekan nelayan-nelayan Pulau Tomia yang dikenal dari dulu menjadi pengelola perikanan kawasan Pasi Kaledupa, juga dipraktekan nelayan- nelayan Wangi-Wangi yang mengelola Pasi Kapota. Meskipun bukan territorial right salah satu kadie tetapi nilai-nilai adat pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan di pasi menjadi nilai pada seluruh kadie. Dengan demikian pelaku subjek pelanggaran po’adati yi pasi dapat menjadi domain hukum kadie asal nelayan yang berada di pasi. Hasil penelitian pada nelayan-nelayan dari Liya, Mandati, Kapota dan Wanci dan dikonfirmasikan pada nelayan Pulau Tomia menegaskan bahwa laut di sekitar huma menjadi wilayah kelola pemilik huma. Pemilikan huma biasanya adalah kelompok, turun-temurun dan pada satu wilayah yang tetap sehingga dalam prakteknya sehari-hari selain menangkap ikan pemilik huma juga menjaga keamanan sumber daya alam dengan cara menegakkan norma pengelolaan sumberdaya laut di perairan pasi yang disebut dalam setiap kadie sebagai te pake yi pasi adab manusia di karang atau po’adati yi pasi, adat istiadat di karang yaitu : Setiap nelayan yang baru tiba di pasi harus menyampaikan tujuannya kepada salah satu huma terdekat sebelum melakukan kegiatan penangkapan ikan. Nelayan yang melapor ke huma harus menaikkan seluruh bekal makanan dan air minum logistik, kayu bakar, parang senjata lainnya, toba tempat rokok ke dalam huma 60 sebagai simbol dari kesediaan mengikuti adati yi pasi adat di karang. Pemilik huma akan menunjukkan lokasi tempat menangkap ikan agar tidak mengganggu lokasi tangkap nelayan lainnya. Po adati yi pasi mengikat setiap orang untuk tidak lempagi melewati batas dan sabaragau sembarangan, suatu nilai rasa moral dari manusia suku Buton yakni “Binchi-binchiki kuli”, artinya mencubit diri sendiri jika terasa sakit maka sakit pula dirasakan orang lain Saidi 2000. Perwujudannya adalah sikap saling menghargai poangga-angga dan tolong-menolong pohamba-hamba. Relevansinya dengan pengelolaan huma adalah kepatuhan pihak yang berinteraksi dalam ekosistem tersebut melewati batas teritorial dari kadie masing-masing. Nelayan yang tidak mematuhi po adati yi pasi dan langsung melakukan penangkapan ikan dianggap melakukan kegiatan pencurian illegal fishing sehingga pemilik huma wajib memberikan peringatan dan mengusirnya. Alat tangkap yang digunakan dalam sistem huma adalah bubu polo. Satu kelompok pemilik huma dapat memiliki 100–200 polo yang dipasang pada bagian dasar laut datar, berpasir dan ditumbuhi lamun di sekitar ekosistem terumbu karang. Sebagian lokasi huma di atol Kaledupa bagian barat saat ini menjadi ZPB TNW. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan dalam ZPB adalah pemancingan tradisional, pancing dasar, pancing tonda, budidaya, jaring dasar, bubu, sero, menyelam teripang, lobster dan kerang, memanah ikan, meti-meti, memasang rumpon, perahu pelingkar dan bagan. Dalam sistem huma lokasi tersebut hanya dikelola dengan alat tangkap bubu dan target tangkapan ikan, pengambilan biota seperti kima tidak dilakukan. Kegiatan penangkapan ikan dengan alat lain seperti pancing oleh nelayan lain hanya dapat dilakukan bila mendapat izin pengelola huma.

5.2.6 Homali