Ompo dan Tampora Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Alat Tangkap .1 Jenis Alat Tangkap

64 Meskipun pengertian nelayan lokal dan nelayan luar dalam sistem tradisional berbeda dengan terminologi nelayan luar dalam sistem zonasi TNW tetapi tujuan pemanfaatanya sama yakni untuk melindungi nelayan kecil. Nelayan luar dalam sistem tradisional adalah nelayan dari luar kadie sedangkan dalam sistem zonasi TNW yang dimaksud nelayan luar adalah yang tidak tinggal dalam kawasan Wakatobi atau bukan orang Wakatobi. 5.3 Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Alat Tangkap 5.3.1 Jenis Alat Tangkap Alat tangkap yang umum digunakan dalam masyarakat dan memiliki peraturan penggunaan adalah ompo sero, polo bubu, katondo, buani jala, lamba dan kulu-kulu. Peraturan tersebut berhubungan dengan penggunaan wilayah yang mengikat pemilik alat dan nelayan lain. Disamping itu terdapat kepercayaan- keparcayaan mulai dari pemilihan bahan, pembuatan, pemasangan yang berhubungan dengan waktu, sikap dan perilaku pemiliknya. Penggunaan akar tuba pada beberapa tempat dilarang karena bahan tersebut mengeluarkan racun yang membunuh ikan tanpa seleksi. Selain membunuh ikan, racun tuba dianggap membunuh aneka kehidupan biota mikro siu-siu. Sarana bantu penangkapan ikan yang juga tidak diperbolehkan adalah penggunaan karung. Menurut kepercayaan masyarakat penggunaan karung akan membuat isi laut biota menjadi panta terdegradasi baik kualitas maupun kuantitas. Alat yang biasa digunakan untuk menampung hasil tangkapan atau menampung kerang-kerangan yang dipungut saat meti-meti adalah keranjang. Perbandingan peraturan penggunaan alat tangkap dalam sistem tradisional maupun yang diatur dalam zonasi TNW serta peraturan darah Kabupaten Wakatobi dapat dilihat pada tabel 4.

5.3.2 Ompo dan Tampora

Ompo disebut secara umum sebagai sero, terbuat dari anyaman bambu dalam potongan bilah-bilah kecil seperti tirai, kira-kira memiliki lingkaran 2 cm tiap bilah. 65 Tabel 4 : Jenis dan Penggunaan Alat tangkap Nama Alat Wilayah Penggunaan Sistem Formal Sistem Tradisional Zonasi Perda ompo serodaerah pasang surut di daerah pesisir pasang surut pesisir alat tangkap yang diperbolehkan dalam zona pemnfaatan umum dan zona pemanfaatan local Alat tangkap perairan laut kabupaten 4 mil dari daratan Berhubungan dengan hak kelola atas wilayah pada nelayan atau kelompok nelayan lokal kadie polo bubu pasang surut pesisir dan karang atol hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata Alat tangkap perairan laut kabupaten 4 mil dari daratan Berhubungan dengan hak kelola atas wilayah pada nelayan atau kelompok nelayan lokal kadie buani jala buang pasang surut pesisir tidak disebutkan tidak disebutkan Memiliki aturan penggunaan, penegakan oleh parika Pada wilayah tertentu tidak dapat digunakan kecuali musim ikan yang disebut laloa musim boronang pada 12 - 13 bulan dilangit pengait kai- kaipuria, suku penusuk, tombak hulu besi sakajoro, pontu tombak hulu bambu, sarampa tombak mata 2 atau lebih, sipada pasang surut pesisir peralatan meti-meti tidak disebutkan peralatan meti-meti siang dan menyuluh malam hari 66 parang , jerat udang, kadepe alat dari bambu untuk menyaring ikan alat pancing berbagai jenis pesisir, karang atol dan laut dalam hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata Alat tangkap perairan laut kabupaten 4 mil dari daratan Tidak dapat digunakan disekitar mulut bagian depan polo, ompo Alat yang dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain Jaring pesisir, karang atol dan laut dalam Jaring dasar, perahu pelingkar jaring insang lingkar, gondrong, insang hanyut, insang tetap, lingkar ikan hias Tidak dapat digunakan disekitar mulut bagian depan polo, ompo, katondo dan lokasi buani hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata Alat tangkap perairan laut kabupaten 4 mil dari daratan 67 Penggunaan alat tangkap ompo adalah pada daerah pasang surut berpasir atau daerah padang lamun yang terpasang menyerupai pagar dari bilah atau tirai bambu, diikatkan pada tiang-tiang pancang kayu bale yang tertancap pada dasar laut untuk menguatkan posisi tegak anyaman bilah bambu. Lokasi pemasangan ompo disebut tampora di atur sara. Pengelolaan tampora diberikan kepada masyarakat. Ompo terbagi menjadi 4 bagian atau kamar dengan fungsi yang berbeda-beda. Ketinggian pagar bagian depan sebagai pintu masuk ikan diukur sebatas dada dari parika pimpinan kelompok, pada bagian bunua besar yang berfungsi mengurung ikan dan pada bagian bunua kecil yang berfungsi membatasi ruang gerak ikan, ketinggian bilah bambu diukur sejajar mulut parika. Sedangkan pada bagian wutu arti kata wutu adalah mengikat berbentuk lingkaran berdiameter 1,5 – 2 meter dan berfungsi sebagai lokasi penangkapan ikan memiliki ketinggian bilah bambu satu jengkal melebihi tinggi badan parika. Panjang keliling ompo berkisar 250 – 300 meter. Bagian yang terbuka menghadap daratan menganga dengan jarak dari kaki kanan ke kiri sebagai pintu masuk ikan sekitar 90 meter. Makin ke arah laut ke kamar bunua dan wutu makin menyempit, sehingga ikan makin terkurung masuk. Jika ditarik garis lurus dari kaki kiri dan kanan bagian mulut depan ompo sampai ke pantai, daerah tersebut disebut lansano. Zona lansano kegiatan penangkapan ikan tidak diperkenankan baik menggunakan jaring, pancing, bubu atau kegiatan lainnya yang ditujukan untuk menangkap ikan. Kegiatan yang diperbolehkan hanya tunga-tunga meti-meti yaitu memungut kerang-kerangan atau hasil yang bukan merupakan target alat tangkap ompo. Bagian wutu dari alat ompo berada pada bagian laut yang tetap tergenang meskipun laut surut. Ompo dikerjakan dan dimiliki oleh kelompok yang terdiri dari 3 – 5 orang dipimpin seorang parika, seseorang yang memiliki keahlian teknis dan mistik yang biasanya diwarisi turun-temurun. Parika bagi anggota kelompok adalah henangkara artinya seseorang yang diikuti panutan. Parika dengan kemampuannya menentukan kapan waktunya memasang ompo, ukuran pemotongan bambu yang akan dibuat bilah-bilah kecil dan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat melaut. Bilah bambu dianyam 68 menggunakan tali hutan hao yang diperoleh dari hutan kampung. Tempat menganyam biasanya halaman bante atau oa pantai, pantai pelabuhan sampan. Bantea adalah rumah milik kampung dipinggir pantai yang berfungsi sebagai tempat bercengkerama para nelayan, tempat menyulam jaring, menganyam bubu dan menyimpan peralatan seperti layar, dayung dan tokong. Bentuk bantea seperti rumah biasa pada umumnya yakni memiliki atap miring berbentuk segitiga. Yang membedakan adalah lantai bantea terbuat dari bilah bambu atau papan menyerupai bangku yang berhadap-hadapan karena bagian tengah yang kosong langsung berlantai tanah berguna sebagai tempat menganyam bubu, mengiris kopra dan tempat lalu lalang dalam bantea. Pada masa menganyam ompo warga kampung atau orang-orang yang sedang berada dalam bantea sering ikut membantu. Oleh sebab itu ikan hasil panen pertama ketika ompo terpasang di laut tidak langsung dibagi oleh anggota kelompok pemiliknya tetapi dibagikan kepada masyarakat kampung yang membantu pembuatan, juga kepada pemangku adat, pimpinan kampung dan atau orang-orang tidak mampu. Ikan hasil tangkapan pertama disebut ika nu hao ikan milik tali maksudnya adalah ikan untuk mengganti jasa penggunaan tali utan hao pengikat bilah-bilah bambu ompo dimana tali tersebut diperoleh dari tumbuhan pada alam bebas tanpa seorangpun menanamnya yang ditemukan di wilayah kampung sehingga dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama. Wilayah tempat memasang ompo dikuasakan oleh sara sebagai wilayah kelola kelompok pemilik ompo atau tampora. Adat akan melindungi pengelolaan wilayah tersebut dari pemanfaatan pihak lain.Jika dalam jangka waktu lebih dari satu tahun, pemilik ompo tidak lagi menggunakan tampora maka pengelolaan dapat beralih ke tangan kelompok lain dengan lebih dulu memberitahu pengguna sebelumnya. Pemberian hak kelola oleh sara ditandai dengan prosesi pamanga te sara jamuan makan untuk sara dari ikan-ikan hasil tangkapan ompo. Prosesi jamuan makan dilakukan di sekitar laiga nu ompo huma milik pemasang ompo yang didirikan pada pantai oa terdekat dengan tempat pemasangan ompo. 69 Kewajiban pemilik ompo yang melekat pada pemberian hak kelola oleh sara adalah tanggung jawab menjaga adat po’adati yang melekat pada ompo misalnya larangan menangkap ikan oleh masyarakat umum pada zona lansano, menjaga wilayah dari kegiatan pencurian hasil laut oleh nelayan luar dan perusakan ekosistem. Anggota masyarakat lainnya tetap bisa mengakses wilayah sekitar ompo untuk mencari hasil laut dengan ketentuan po’adati dan tidak memasang alat yang sama secara berdekatan. Ukuran jauh atau dekat secara tradisional adalah mengikuti nama pantai atau nama lokasi. Misalnya jika seseorang telah diberikan hak untuk memasang ompo pada pesisir pantai Usuno maka orang lainnya hanya boleh memasang alat yang sama pada pesisir pantai lainnya. Ompo dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yaitu perairan pesisir dan karang atol, dan dalam ZPU, tetapi melihat kondisi dimana ZPU berada di perairan laut dalam maka alat tangkap ini tidak dapat digunakan pada ZPU. Penggunaan alat ini dalam sistem tradisional hanya digunakan pada daerah pasang surut perairan pesisir pulau, tidak digunakan pada daerah karang atol meskipun bagian-bagian atol memiliki kesamaan fisik dengan pesisir. Hal ini menegaskan keterkaitan ompo dengan pengelolaan ruang adat di pesisir kampung. Pola penggunaan alat berhubungan dengan hak pengambilan hasil perikanan atas wilayah penggunaan alat maka dalam sistem tradisional alat tersebut tidak dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain.

5.3.3 Katondo