17 dan angin topan, terutama pada kawasan yang tidak memiliki sisitem perlindungan
alamiah seperti mangrove, terumbu karang dan pasir pantai. Peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan ekonomi paralel
dengan tekanan lingkungan terhadap wilayah pesisir. Konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta ancaman pencemaran semakin dan kemungkinan dampak
pemanasan global berupa naiknnya permukaan laut menyebabkan pengelolaan secara sektoral tidak memadai menjawab tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu PWTL, karena sistem sumberdaya dapat pulih harus dikelola untuk
menyediakan hasil pada tingkat berkelanjutan Dahuri et al 2004. Ditingkat daerah, perencanaan terpadu dengan melibatkan stakeholdes
pembangunan melalui mekanisme botton up dimulai dari tingkat desa melalui Musyawarah Pembangunan Desa Musbangdes. Bappeda memiliki fungsi startagis
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mensinergikan perencanaan meskipun dalam tahap implementasi tetap merupakan kewenangan instansi secara
sektoral Dahuri et al 2004.
2.4 Kolaborasi Management
Dalam banyak kasus kita bisa melihat bahwa upaya pengelolaan dengan berbagai instrumen dan teknologi moderen memerlukan biaya yang mahal harganya
dan sukar diterapkan karena keterbatasan kemampuan masyarakat dalam memahaminya. Adopsi kearifan tradisional untuk pengelolaan merupakan pilihan
alternatif untuk mengatasi mahalnya teknologi, keterbatasan kemampuan masyarakat memahami dan juga untuk menghindari dampak negatif dari teknologi baru Arafah
dan Manan 2000. Ruang akomodasi kearifan lokal hanya mungkin dilakukan dengan kolaborasi
pengelolaan sumberdaya. Pendekatan kolaborasi membuka peluang partisipasi masyarakat mengingat peran masyarakat masih terbatas sentralisasi pengelolaan
DEPHUT 2005. Solihin et al 2005 menggaris bawahi partsisipasi masyarakat
18 sebagai unsur penting dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya laut karena
paradigma sentralisik dimasa lalu terbukti gagal dan dengan era otonomi daerah saat ini dipandang sebagai peluang untuk mewujudkan pengelolaan yang partisipatif atau
sebuah peluang untuk meredefinisi pembangunan perikanan dan kelautan. Rezim property rights harus mengalami banyak perubahan untuk mewujudkan communal
property rights. Kewajiban pemerintah meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menggerakkan institusi lokal dalam sistem tradisional mereka. Desentralisasi
membuka peluang partsipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan aktualisasi pengelolaan sumberdaya laut yang diyakini mengurangi resiko gagal
pengelolaan karena proses dan tujuan telah dikuasai masyarakat sejak awal. Hak-hak ulayat di laut HUL menurut Solihin et al 2005 menjadi kunci
mengatasi pergeseran KKN korupsi, kolusi, nepotisme antara pengusaha, penguasa dan politisi dari pusat ke daerah yang menjadi duri bagi pengelolaan sumberdaya
selama ini, ketika mengusung desentralisasi. Penguatan HUL juga mencegah terjadinya konflik pengelolaan antara nelayan lokal dan nelayan luar, penggunaan alat
tangkap tidak ramah seperti bom, bius. Sebagai contoh pemberlakuan sistem tradisional awig-awig yang direkonstruksi dari adat budaya lokal di Lombok Utara
sebagai model pengelolaan sumber daya laut secara kolaboratif Co-Management terbukti mengurangi secara drastis ilegal fishing dan destruktif fishing serta
meningkatkan partsisipasi masyarakat. Menurut Widodo dan Suadi 2006 pengelolaan kolaboratif adalah
pengelolaan yang menekankan pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Dalam pendekatan pengelolaan kolaborasi yang tidak
boleh berubah adalah kewenangan pengelolaan tetap ditangan pemerintah mengingat kawasan konservasi merupakan public domain DEPHUT 2005.
19
BAB III DESKRIPSI KAWASAN LOKASI PENELITIAN