15 Kesan dualisme pengelolaan kawasan konservasi antara Dephut yang sentralistik dan
DKP yang desentralistik. Meskipun demikian desentalistik tersebut tetap juga berada pada tangan pemerintah daerah bukan pada tingkat masyarakat Satria 2009b.
Konflik pengelolaan bisa timbul disini dimana masyarakat dapat merasa terabaikan hak-hak kelolanya.
Penghormatan atas eksistensi masyarakat lokal sebenarnya dengan jelas diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati yang sudah diratifikasi
Indonesia. Pasal 8 konvensi juga mensyaratkan setiap negara peserta konvensi dalam peraturan perundang-undangannya mengakuimenghormati, melestarikan dan
memelihara pengetahuan, inovasi dan kegiatan-kegiatan masyarakat asli dan masyarakat setempat DEPHUT 2005. Desentralisasi pengelolaan kawasan laut oleh
masyarakat menjadi penting untuk menghindari konflik pemerintah dengan nelayan yang merasa termarjinalisasi dari wilayah perikanan tradisionalnya Satria 2009b.
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah
Konservasi dan pembangunan bisa berjalan harmonis seperti dua sejoli. Jika dampak dari pembangunan menurunkan kwalitas lingkungan bukan berarti
pembangunan adalah lawan dari upaya konservasi. Yang menjadi fokus adalah melaksanakan pembangunan yang ikut mendukung peningkatan kwalitas lingkungan
hidup Soemarwoto 2008. Dalam kawasan perairan kepulauan Wakatobi secara konsepsional antara Balai TNW dan Pemda Wakatobi menyadari hal tersebut
sehingga kesepakatan revisi zoanasi dan revisi perencanaan jangka panjan TNW maupun RPJP Kabupaten Wakatobi meletakkan pembangunan daerah dan konservasi
saling menunjang. Konservasi kawasan TNW salah satu tujuannya adalah menjamin daya dukung kawasan bagi perikanan masyarakat dan pembangunan daerah
berkelanjutan TNW 2008. Hakikat dari pengelolaan sumberdaya adalah mengelola hubungan manusia
dengan lingkungan dan sumber daya alam sebagai proses pengelolaan konflik Mitchel et al 2007. Pengelolaan sumberdaya laut adalah mengelola hubungan
16 masyarakat nelayan dengan sumberdaya perikanan. Pengelolaan integral
sumberdaya laut dengan perikanan tidak lepas dari kondisi wilayah pesisir yang rapuh terhadap berbagai tumpang tindih kepentingan berbagai pihak berpeluang
menimbulkan konflik pengelolaan. Menyadari hal itu pengelolaan pesisir harus mengembangkan kerangka kelembagaan dan aturan yang memilah penggunaan
sumberdaya dan pengaturan akses dan berbagai hak masyarakat untuk menghindari konflik Widodo dan Suadi 2006.
Sumberdaya laut seperti perikanan adalah input kegiatan ekonomi masyarakat dan daerah. Mekipun sumberdaya ini terkategori sumberdaya yang dapat
terbaharukan yakni ketersediaannya dapat diregenerasi melalui proses reproduksi proses biologi tetapi jika maksimum kapasitasnya sudah melampauhi ambang kritis
maka bisa berubah menjadi tidak terbaharukan Fauzi 2006. Sehubungan dengan batas kritis kemampuan sumberdaya tersebut
dikembangkan pendekatan pembangunan berkelanjutan sebagaimana dijelaskan Mitchel et al 2007 sebagai pembangunan yang memasukkan pertimbangan
lingkungan dalam hitungan nilai ekonomi. Secara pasti apa yang dimaksud pembagunan berkelanjutan memungkinkan berbeda pendekatan. Contoh dapat dilihat
pada Provinsi Manitoba, Kanada, dimana secara spesifik mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Di Provinsi Bali, pembangunan berkelanjutan tidak hanya keberlanjutan sumberdaya alam, tetapi juga keberlanjutan budaya dari nilai-nilai dan
legenda ke upacara keagamaan dan struktur, serta tidak hanya keberlanjutan produksi tetapi juga keberlanjutan budaya itu sendiri Michel et al 2007.
Dahuri et al 2004 menegaskan keunikan pengelolaa pesisir dan laut. Terdapat anekaragam, tingkat produktivitas dan jasa lingkungan serta kemudahan
pada kawasan pesisir menyebabkan wilayah ini menjadi tempat berlangsungnya kegiatan pembangunan paling intensif. Selain memiliki potensi pembangunan,
kawasan pesisir sangat rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan yang berlangsung dipesisir, laut lepas maupun darat, juga rentan bencana seperti tsunami
17 dan angin topan, terutama pada kawasan yang tidak memiliki sisitem perlindungan
alamiah seperti mangrove, terumbu karang dan pasir pantai. Peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan ekonomi paralel
dengan tekanan lingkungan terhadap wilayah pesisir. Konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta ancaman pencemaran semakin dan kemungkinan dampak
pemanasan global berupa naiknnya permukaan laut menyebabkan pengelolaan secara sektoral tidak memadai menjawab tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu PWTL, karena sistem sumberdaya dapat pulih harus dikelola untuk
menyediakan hasil pada tingkat berkelanjutan Dahuri et al 2004. Ditingkat daerah, perencanaan terpadu dengan melibatkan stakeholdes
pembangunan melalui mekanisme botton up dimulai dari tingkat desa melalui Musyawarah Pembangunan Desa Musbangdes. Bappeda memiliki fungsi startagis
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mensinergikan perencanaan meskipun dalam tahap implementasi tetap merupakan kewenangan instansi secara
sektoral Dahuri et al 2004.
2.4 Kolaborasi Management