27 Suku Buton adalah pelaut, mereka mengangkut dagangan dengan perahu ke
wilayah-wilayah Nusantara bagian timur. Kebiasaan merantau atau berpindah ke daerah lain seperti Maluku, Irian dan Kalimantan bermotif ekonomi karena peluang
ekonomi di kampung kurang. Migrasi musiman ke Maluku dilakukan untuk panen cengkeh Schoorl 2003.
Perdagangan antar pulau dilakukan dengan kapal-kapal rakyat yang dimiliki secara individu atau kelompok keluarga. Armada-armada dagang tersebut
mengangkut hasil bumi baik flora dan fauna dari kawasan timur Indonesia untuk diperdagangkan ke Singapura, Malaysia, Makassar dan Jawa. Dan sebaliknya
mengangkut barang-barang pabrik untuk didistribusikan di Wakatobi dan pulau-pulau kawasan timur Indonesia. Pada rantai perdagangan ini selama dekade 1980 – 2000
menjadi mata rantai suplai bahan baku bom ikan dari Singapore atau Malaysia ke Wakatobi. Dari Wakatobi bahan baku bom tersebut diperdagangkan ke pulau-pulau
di bagian timur, selatan dan tenggara Sulawesi serta Maluku, Papua, Nusa Tenggara. Dengan kondisi lahan pulau-pulau kecil yang didominasi bebatuan, sumber
pangan tidak sepenuhnya tercukupkan dari hasil bumi dalam kawasan tetapi dari kegiatan pertanian masyarakat Wakatobi yang dilakukan di pulau-pulau terdekat
seperti pulau Buton, Buru, Seram, Taliabo, Halmahera dan pulau-pulau kecil lainnya di Maluku dan Maluku Utara. Suku Bajo dengan populasi bisa mencapai 8000 dan
pendatang musiman dari Sulawesi Selatan, Kendari, Flores, Madura, Bali mendominiasi 60 penggunaan sumberdaya laut TNCWWF Joint Program
Wakatobi 2008. Sekitar 50 orang Bajo merupakan penambang batu karang yang aktif atau rutin sebagai mata pencaharian dan sekitar 170 jiwa tidak masif.
3.3.3 Sosial Budaya
Suku Buton atau orang Buton disebut juga Butung adalah suku bangsa perantau Hidayat 1997 merupakan salah satu suku lokal Sulawesi Tenggara
disamping suku Moronene, Tolaki, Mekongga, dan Muna. Orang Buton sendiri
28 menyebar pada beberapa tempat yakni, pulau Buton, pulau Muna, dan kepulauan
Wakatobi, terdiri dari ratusan sub antropologis Hidayat 1997. Suku Buton yang menghuni Wakatobi sering disebut Orang Pulo, artinya orang Buton dari kepulauan.
Bahasa yang digunakan disebut bahasa Liwuto Pasi Abubakar 2000. Liwuto artinya kampung sedangkan pasi artinya karang.
Kelompok bahasa yang digunakan penduduk Wakatobi terdiri dari beberapa dialek. Di Wangi-Wangi terdapat dialek Liya, Mandati, Wanci, dan Kapota. Di Pulau
Kaledupa terdiri dari dialek Langge, Buranga dan Peropa. Di pulau Tomia terdiri dari dialek Timu, Tongano dan Waha. Sedangkan di pulau Binongko terdapat dialek
Kaumbeda dan bahasa Cia-Cia. Kelompok bahasa Cia-cia sebenarnya merupakan bahasa yang dipergunakan penduduk di wilayah selatan dan timur pulau Buton.
Antara dialek dalam kelompok bahasa Pulo terdapat perbedaan beberapa suku kata. Sebagaimana wilayah kesultanan Buton lainnya, masyarakat Wakatobi
mengenal sistem pelapisan sosial masyarakat yang terdiri dari bangsawan kaomu dan walaka serta golongan papara atau masyarakat biasa. Golongan bangsawan kaomu
dicirikan dengan pemakaian awalan La Ode untuk laki-laki dan Wa Ode untuk perempuan didepan nama. Golongan bangsawan walaka dan paparara dicirikan
dengan pemakaian nama depan La untuk laki-laki dan Wa untuk perempuan. Dimasa itu golongan kaomu adalah golongan masyarakat yang dapat menduduki
peran-peran pemerintahan seperti jabatan Sultan, Sapati dan pangkat pemimpin kadie yakni Lakina atau Bobato. Jabatan untuk bangsawan walaka diantaranya Bonto
Ogena dikenal sebagai Sultan masyarakat biasa, Siolimbona yang berperan mengangkat, memberhentikan sultan.
Dalam kadie golongan walaka juga menjadi Bonto pemimpin kadie, ada juga bonto yang hanya mengepalai urusan tertentu termasuk pangalasa yang bertugas
memilih sara. Kaum papara adalah golongan profesional seperti ahli bangunan, pengrajin, nelayan dan petani yang diberi hak menguasai sumberdaya alam, hak yang
tidak diberikan oleh sistem adat kepada kaomu dan walaka. Secara keseluruhan
29 penduduk asli Wakatobi menganut agama Islam Undang-Undang Murtabat Tujuh
Kesultanan Buton 1578-1615, Saidi 2000. Kelompok masyarakat adat subjek penelitian ini adalah kelompok adat Liya,
Mandati, Wanci dan Kapota terletak pada kompleks pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Pulau-pulau dalam kompleks ini terdiri dari Pulau Wangi-Wangi dimana
pada bagian utara pulau dihuni kelompok adat Wanci, sekarang meliputi 19 desa total populasi 23.500 jiwa. Bagian tengah yang membentang dari pantai timur sampai
barat dihuni kelompok adat Mandati, saat ini terbagi dalam 7 desa dengan populasi 9.200 jiwa. Bagian selatan dihuni kelompok adat Liya, terdiri dari 4 desa dengan
populasi 4.315 jiwa. Pulau Kapota pada bagian utara dihuni kelompok adat Kapota meliputi 4 desa dengan populasi 4.409 jiwa. Sedangkan bagian selatan Pulau kapota
dihuni orang Liya meliputi 1 desa dengan populasi sekitar 400 jiwa. Pulau Kapota berada sekitar 2,5 mil laut di sebelah barat pulau Wangi-Wangi
dibatasi ou laguna Mandati, bungi karang diantara laguna dan laut dalam Mandati dan olo laut dalam Kapota. Secara administraktif kelompok adat Liya, Mandati dan
Kapota berada dalam Kecamatan Wangi-Wangi Selatan sedangkan kelompok adat Wanci merupakan wilayah administrasi Kecamatan Wangi-Wangi.
3.4 Sejarah Pengelolaan Kawasan