13 prinsip moral yang mendorong masyarakat bertanggung jawab atas stabilitas
ekosisitem laut. Kedua, pengelolaan laut sentralistik Satria 2009b.
2.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dari Sentalisasi ke Desentralisasi
Indonesia salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Konservasi Keanekaragaman Hayati melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994 dimana dalam
pasal 8 konvensi mewajibkan negara-negara peserta konvensi yang telah meratifikasi menetapkan sistem kawasan yang dilindungi atau protected area
DEPHUT, 2005. Menurut Setiawan dan Alikodra 2001 sistem kawasan konservasi di Indonesia dapat dikategorikan :
1. Kawasan suaka alam nature reserve, terdiri dari Cagar Alam CA darat dan laut, serta Suaka Margasatwa SM darat dan laut.
2. Kawasan pelestarian Alam nature reserve, terdiri dari Taman Nasional TN darat dan laut, Taman Wisata TW darat dan laut serta Taman Hutan Rakyat
Tahura. 3. Kawasan Taman Buru game reserve.
Disamping kawasan konservasi terdapat hutan lindung yang meskipun berfungsi melindungi sumberdaya hayati tetapi tujuannya adalah untuk melindungi
daerah tangkapan air. Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah kewenangan pemerintah pusat dibawah Departemen Kehutanan, dengan misi,
pertama, menjaga kawasan konservasi, rehabilitasi dan peningkatan potensi. Kedua, pengelolaan kawasan konservasi berwawasan sosial, ekonomi, budaya dan
lingkungan hidup. Ketiga peningkatan manfaat hasil dan peran masyarakat Setiawan dan Alikodra 2001.
Sentralisasi pengelolaan kawasa konservasi mempercepat degradasi sumberdaya alam. Pendekatan sentarlistik berkembang pasca perang dunia II dimana
negara-negara baru melakukan proyek nasionalisasi terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang kemudian dimanfaatkan negara-negara kapital dari barat
untuk menginvestasikan modernisasi pembangunan. Modernisasi tidak menghendaki
14 hal-hal yang berbau tradisional. Proyek nasionalisasi dan modernisasi memperkuat
posisi pemerintah pusat atas sumberdaya alam, dampaknya masyarakat lokal makin jauh ketinggalan dan kelembagaan pengelolaan lokal makin memudar yang memberi
kontribusi besar pada degradasi sumber daya. Aturan dibuat di pusat kekuasaan yang jarak sosialnya jauh dari realitas sosial setempat. Akibatnya masyarakat yang telah
tercabut dari kulturnya kehilangan rasa tanggung jawab atas peraturan pengelolaan sehungga peraturan tersebut berjalan tidak efektif. Satria 2009b.
Lebih lanjut Satria 2009b menjelaskan pengelolaan kawasan konservasi terutama didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistem dan peraturan implementasinya yakni PP No. 68 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
menegaskan corak sentralistik pengelolaan. Pengembangan taman nasional laut mengacu pada peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk pelaksanaannya di
lapangan Departemen Kehutanan membentuk unit pelaksana teknis Balai Taman Nasional BTN dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA.
Titik balik sentralisasi ke desentralisasi mulai mendapat ruang setelah keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang mengatur
kewenangan laut daerah kabupaten 4 mil, propisnsi berwenang hingga 12 mil dan pemerintah pusat ditas 12 mil. mil. Namun demikian UU No. 22 tersebut tetap
mengakomodir kewenangan pemerintah pusat untuk pengelolaan sumberdaya dan konservasi Satria, 2009b. Dilain pihak UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
memberikan kewenangan pada Departemen Kelautan dan Perikanan mengelola kawasan konservasi laut. Disinilah tarik menarik kepentingan antara Dehut dan DKP.
Tahun 2003 Dephut dan DKP menyepakati kerjasama pengelolaan taman nasional laut yang dalam pelaksanaannya melibatkan pemerintah daerah provinsi
sebagai apresiasi atas UU No 22 Tahun 2002 dan revisinya UU No32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah
provinsi mengelola 12 mil laut dari pantai. DKP kemudian mempromosikan Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD yang berbasis pengelolaan pada pemerintah daerah.
15 Kesan dualisme pengelolaan kawasan konservasi antara Dephut yang sentralistik dan
DKP yang desentralistik. Meskipun demikian desentalistik tersebut tetap juga berada pada tangan pemerintah daerah bukan pada tingkat masyarakat Satria 2009b.
Konflik pengelolaan bisa timbul disini dimana masyarakat dapat merasa terabaikan hak-hak kelolanya.
Penghormatan atas eksistensi masyarakat lokal sebenarnya dengan jelas diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati yang sudah diratifikasi
Indonesia. Pasal 8 konvensi juga mensyaratkan setiap negara peserta konvensi dalam peraturan perundang-undangannya mengakuimenghormati, melestarikan dan
memelihara pengetahuan, inovasi dan kegiatan-kegiatan masyarakat asli dan masyarakat setempat DEPHUT 2005. Desentralisasi pengelolaan kawasan laut oleh
masyarakat menjadi penting untuk menghindari konflik pemerintah dengan nelayan yang merasa termarjinalisasi dari wilayah perikanan tradisionalnya Satria 2009b.
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah