Hasil dan Pembahasan .1 Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Sapeken untuk Kegiatan

keterbatasan sumberdaya sumberdaya lokal terbarukan. Keterbataan tersebut menjadikan upaya pemanfaatan wisata di gugus Pulau Sapeken harus memperhatikan keterbatasan yang dimiliki. Terkait dengan keterbatasan tersebut dibutuhkan emergy yang digunakan untuk mendukung pengembangan wisata pada gugus Pulau Sapeken. Emergy yang digunakan tersebut diasumsikan diberikan dalam bentuk fasilitas wisata dan listrik. Lebih lanjut, terkait dengan kerentanan, pengawasan terhadap jumlah buangan limbah yang dihasilkan dari kegiatan wisata diperlukan untuk tetap menjaga keberlangsungan jasa ekosistem di gugus Pulau Sapeken. Hasil penilaian terhadap keberlanjutan pemanfaatan gugus Pulau Sapeken melalui indeks emergy Tabel 2, dapat diketahui indeks keberlanjutan ESI dipengaruhi oleh indeks ELR environmental loading ratio dan indeks EYR environmental yield ratio. Lebih lanjut skenario pengembangan wisata secara berkelanjutan di gugus Pulau Sapeken dilakukan untuk meningkatkan nilai keberlanjutan ESI 1. Mengacu pada tingkatan keberlanjutan Brown and Ulgiati 2001 skenario yang dilakukan sebagai berikut : a. Skenario pertama ESI = 3 Skenario pertama dalam pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken didasarkan atas upaya peningkatan keberlanjutan ESI = 3.Upaya peningkatan keberlanjutan yang dipresentasikan melalui peningkatan nilai ESI di lakukan dengan menambahkan nilai input yang berasal dari luar sistem F. Berikut aliran emergy di gugus Pulau Sapeken pada skenario pertama. Tabel 72 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken untuk skenario pertama ESI = 3 No Pulau Sumber R I N F 1 Pagerungan Besar 2.35 x 10 23 1.12 x 10 21 2.20 x 10 25 9.42 x 10 22

2 Pagerungan Kecil

1.93 x 10 23 2.34 x 10 19 1.10 x 10 24 7.42 x 10 22

3 Paliat

9.29 x 10 22 1.68 x 10 22 5.20 x 10 24 4.35 x 10 22

4 Sapangkur

4.39 x 10 24 7.74 x 10 21 9.20 x 10 29 1.30 x 10 24

5 Sapeken

3.13 x 10 24 1.96 x 10 19 5.21 x 10 25 9.85 x 10 23

6 Saor

4.74 x 10 24 1.18 x 10 19 2.21 x 10 29 1.52 x 10 24

7 Sepanjang

5.14 x 10 25 1.11 x 10 23 2.15 x 10 29 2.03 x 10 25 Tabel 72 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken untuk skenario pertama ESI = 3 lanjutan No Pulau Indeks emergy EYR ELR EIR ESI 1 Pagerungan Besar 2.37 x 10 2 9.38 x 10 1 4.23 x 10 -3 3 2 Pagerungan Kecil 1.84 x 10 1 6.07 5.75 x 10 -2 3 3 Paliat 1.23 x 10 2 4.78 x 10 1 8.19 x 10 -3 3 4 Sapangkur 7.07 x 10 5 2.09 x 10 5 1.42 x 10 -6 3 5 Sapeken 5.71 x 10 1 1.70 x 10 1 1.78 x 10 -2 3 6 Saor 1.45 x 10 5 4.66 x 10 4 6.90 x 10 -6 3 7 Sepanjang 1.06 x 10 4 4.17 x 10 3 9.44 x 10 -5 3 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken pada skenario pertama ESI = 3 menunjukkan upaya peningkatan keberlanjutan melalui penambahan input F bagi pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken berkorelasi dengan peningkatan source berupa sumberdaya tidak terbaharukan N. Peningkatan keberlanjutan pada skenario pertama lebih lanjut menunjukkan nilai EYR ELR. Hal ini menunjukkan pada skenario pertama ESI = 3, pemanfaatan sumberdaya masih lebih besar dibandingkan dengan beban lingkungan yang ditimbulkan. Penambahan input F di gugus Pulau Sapeken diperlukan untuk meningkatkan keberlanjutan pemanfaatan pada jangka panjang. Selain bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya lokal I, penambahan input F yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan proses. Peningkatan proses yang dimaksud disini adalah penambahan input dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan sumberdaya. b. Skenario kedua ESI = 5 Skenario kedua dalam pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken didasarkan atas upaya peningkatan keberlanjutan ESI = 5. Upaya peningkatan keberlanjutan yang dipresentasikan melalui peningkatan nilai ESI di lakukan dengan menambahkan nilai input yang berasal dari luar sistem F. Berikut aliran emergy di gugus Pulau Sapeken pada skenario kedua Tabel 73 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken untuk skenario kedua ESI = 5 No Pulau Sumber R I N F 1 Pagerungan Besar 2.35 x 10 23 1.12 x 10 21 5.20 x 10 25 4.72 x 10 22

2 Pagerungan Kecil

1.93 x 10 23 2.34 x 10 19 6.11 x 10 23 4.92 x 10 22

3 Paliat

9.29 x 10 22 1.68 x 10 22 8.20 x 10 23 2.45 x 10 22

4 Sapangkur

4.39 x 10 24 7.74 x 10 21 9.52 x 10 24 1.22 x 10 24

5 Sapeken

3.13 x 10 24 1.96 x 10 19 5.11 x 10 30 6.26 x 10 23

6 Saor

4.74 x 10 24 1.18 x 10 19 9.10 x 10 25 9.35 x 10 23

7 Sepanjang

5.14 x 10 25 1.11 x 10 23 3.10 x 10 30 9.38 x 10 24 Tabel 73 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken untuk skenario kedua ESI = 5 lanjutan No Pulau Indeks emergy EYR ELR EIR ESI 1 Pagerungan Besar 1.11 x 10 3 2.21 x 10 2 9.04 x 10 -4 5 2 Pagerungan Kecil 1.73 x 10 1 3.42 6.12 x 10 -2 5 3 Paliat 3.89 x 10 1 7.70 2.64 x 10 -2 5 4 Sapangkur 1.24 x 10 1 2.44 8.77 x 10 -2 5 5 Sapeken 8.16 x 10 6 1.63 x 10 6 1.23 x 10 -7 5 6 Saor 1.03 x 10 2 1.94 x 10 1 9.77 x 10 -3 5 7 Sepanjang 3.28 x 10 5 6.02 x 10 4 3.05 x 10 -6 5 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken pada skenario kedua ESI = 5 menunjukkan upaya peningkatan keberlanjutan berkorelasi dengan peningkatan source yang berasal dari nonrenewable source N dan import F. Seperti halnya peningkatan keberlanjutan pada skenario pertama ESI = 3 skenario kedua menunjukkan nilai EYR ELR. Hal ini menunjukkan pada skenario kedua ESI = 5, pemanfaatan sumberdaya masih lebih besar dibandingkan dengan beban lingkungan yang ditimbulkan. Nilai EYR pada skenario kedua ESI = 5 lebih besar dibandingkan skenario pertama ESI = 3. Kondisi ini menunjukkan pada skenario kedua ESI = 5 memiliki ketergantungan yang lebih rendah terhadap investasi dalam pemanfaatan sumberdaya. Lebih lanjut, nilai ELR yang merefleksikan beban lingkungan, pada skenario kedua ESI = 5 memiliki nilai lebih rendah dibandingkan skenario pertama ESI = 3. Kondisi ini memiliki pemahaman upaya peningkatan keberlanjutan wisata pada skenario kedua ESI = 5 lebih berkelanjutan pada jangka panjang. c. Skenario ketiga ESI = 10 Skenario ketiga dalam pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken didasarkan atas upaya peningkatan keberlanjutan ESI = 10. Upaya peningkatan keberlanjutan yang dipresentasikan melalui peningkatan nilai ESI di lakukan dengan menambahkan nilai input yang berasal dari luar sistem F. Berikut aliran emergy di gugus Pulau Sapeken pada skenario ketiga. Tabel 74 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken untuk skenario ketiga ESI = 10 No Pulau Sumber R I N F 1 Pagerungan Besar 2.35 x 10 23 1.12 x 10 21 1.20 x 10 22 8.42 x 10 22

2 Pagerungan Kecil

1.93 x 10 23 2.34 x 10 19 1.10 x 10 19 7.42 x 10 22

3 Paliat

9.29 x 10 22 1.68 x 10 22 5.20 x 10 19 4.35 x 10 22

4 Sapangkur

4.39 x 10 24 7.74 x 10 21 6.20 x 10 25 4.35 x 10 23

5 Sapeken

3.13 x 10 24 1.96 x 10 19 3.11 x 10 25 3.46 x 10 23

6 Saor

4.74 x 10 24 1.18 x 10 19 1.10 x 10 25 7.35 x 10 23

7 Sepanjang

5.14 x 10 25 1.11 x 10 23 2.20 x 10 26 6.48 x 10 23 Tabel 74 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken untuk skenario ketiga ESI = 10 lanjutan No Pulau Indeks emergy EYR ELR EIR ESI 1 Pagerungan Besar 3.94 0.408 3.40 x 10 -01 10 2 Pagerungan Kecil 3.60 0.385 3.84 x 10 -01 10 3 Paliat 3.52 0.397 3.96 x 10 -01 10 4 Sapangkur 1.54 x 10 2 1.42 x 10 01 6.54 x 10 -03 10 5 Sapeken 9.99 x 10 1 1.00 x 10 01 1.01 x 10 -02 10 6 Saor 2.24 x 10 1 2.47 4.68 x 10 -02 10 7 Sepanjang 4.30 x 10 1 4.40 2.38 x 10 -02 10 Aliran emergy di gugus Pulau Sapeken pada skenario ketiga ESI = 10 menunjukkan upaya peningkatan keberlanjutan berkorelasi dengan peningkatan source yang berasal dari sumberdaya tidak terbaharukan N dan import F. Seperti halnya peningkatan keberlanjutan pada skenario pertama ESI = 3 dan skenario kedua ESI = 5, pada skenario ketiga ESI = 10 menunjukkan nilai EYR ELR. Hal ini menunjukkan pada skenario ketiga ESI = 10, pemanfaatan sumberdaya masih lebih besar dibandingkan dengan beban lingkungan yang ditimbulkan. Nilai EYR pada skenario ketiga ESI = 10 lebih besar dibandingkan skenario pertama ESI = 3 dan skenario kedua ESI = 5. Kondisi ini menunjukkan pada skenario ketiga ESI = 10 memiliki ketergantungan yang lebih rendah terhadap investasi dalam pemanfaatan sumberdaya. Lebih lanjut, nilai ELR yang merefleksikan beban lingkungan, pada skenario ketiga ESI = 10 memiliki nilai lebih rendah dibandingkan skenario pertama ESI = 3 dan skenario kedua ESI = 5. Kondisi ini memiliki pemahaman upaya peningkatan keberlanjutan wisata pada skenario ketiga ESI = 10 pada jangka panjang akan lebih berkelanjutan. Berdasarkan 3 skenario yang digunakan dalam optimasi pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken, menunjukkan skenario ketiga ESI = 10 pada jangka panjang lebih berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan dengan dengan nilai EYR lebih besar dan nilai EYR lebih kecil dari skenario lainnya. Terkait dengan penilaian keberlanjutan pemanfaatan, Brown and Ulgiati 2001, menjelaskan penilaian keberlanjutan didasarkan atas nilai EYR terbesar dan nilai ELR terkecil. Mengacu hal tesebut, skenario ketiga ESI = 10 merupakan skenario optimal dalam pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken. 6.4 Simpulan 1. Pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken akan optimal melalui penambahan input dari luar berupa fasilitas wisata dan listrik. Besaran input yang dapat ditambahkan berkisar antara 4.35 x 10 22 - 6.48 x 10 23 sej. Pada tahap tersebut pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken, berkelanjutan diindikasikan kegiatan wisata sebagai kegiatan ekonomi didominasi oleh proses dan produksi yang memberikan kontribusi terhadap masyarakat. 7 PEMBAHASAN UMUM Gugus Pulau Sapeken sebagai kumpulan dari sejumlah pulau – pulau kecil, memiliki sejumlah ekosistem laut yang berpotensi untuk dikembangkan. Keberadaan ekosistem terumbu karang, lamun, mangrove dan potensi perairan memungkinkan gugus Pulau Sapeken untuk dikembangkan kegiatan wisata. Kegiatan wisata yang dimaksud adalah kegiatan pemanfaatan segenap sumberdaya yang ada dengan tetap memperhatikan karakteristik gugus Pulau Sapeken dengan tetap mengedepankan keberlanjutan. Wisata secara berkelanjutan didefiniskan sebagai wisata yang secara ekologi ramah, layak secara ekonomi dan secara sosial dapat diterima. Hal tersebut mengindikasikan wisata secara berkelanjutan harus mampu mengkombinasikan perlindungan ekologi dan nilai – nilai sosial ekonomi lokal Brown et al. 1997. Lebih lanjut dijelaskan dalam penerapannya, wisata secara berkelanjutan membutuhkan integrasi dari komponen biofisik, sosial dan ekonomi. Tiap komponen memiliki ambang batas, batas alami dimana kegiatan wisata dapat dilaksanakan. Jika melewati batas alami yang dimiliki, pengembangan wisata pasti akan mengarah pada kerusakan lingkungan atau konflik sosial Wong 1998. Pengembangan wisata secara berkelanjutan tentunya sangat tepat bagi pengembangan gugus Pulau Sapeken terkait dengan karakteristik dan keterbatasan yang dimiliki. Lebih lanjut, gugus Pulau Sapeken merupakan sebuah sistem kompleks, disusun dari sistem ekologi, sistem sosial dan sistem ekonomi sehingga dalam pemanfaatan segenap potensi, akan saling terkait dan mempengaruhi. Berangkat dari pemahaman tersebut, dalam pengembangan wisata berkelanjutan di gugus Pulau Sapeken pemahaman kondisi sistem ekologi dan sistem sosial ekonomi diperlukan.

7.1 Kondisi Sistem Ekologi Sosial Gugus Pulau Sapeken

Sistem ekologi sosial SES merupakan sebuah sistem yang didalamnya tidak hanya melihat keterkaitan manusia yang melekat pada suatu sistem ekologi ataupun ekosistem yang melekat dalam sistem manusia, melainkan sebuah sistem yang menilai keduanya sebagai sesuatu yang berbeda secara bersama Walker et al. 2006. Lebih lanjut djelaskan SES menampilkan kapasitas ketahanan resilience untuk mengukur kerentanan vulnerability yang dimiliki terhadap gangguan tidak diharapkan atau tidak terduga Holling, 2001. Gugus Pulau Sapeken memiliki kondisi sistem ekologi sosial yang berbeda di tiap pulau. Perbedaan kondisi ini banyak dipengaruhi tingkat pemanfaatan, ketersediaan dan kondisi sumberdaya yang ada. Mengacu pada hasil penilaian SES di tiap pulau Tabel 27 – Tabel 33, menunjukkan Pulau Sepanjang dan Pulau Paliat memiliki kondisi SES yang paling baik. Dikaitkan dengan pendapat Holling diatas, dapat dikatakan Pulau Sepanjang dan Pulau Paliat memiliki tingkat ketahanan yang baik dalam pengembangan wisata dibandingkan pulau kecil lainnya. Tingkat ketahanan yang lebih baik, menjadikan Pulau Sepanjang dan Pulau Paliat dapat dikembangkan sebagai tempat sejumlah fasilitas penunjang wisata seperti penginapan dan lainnya. Kegiatan wisata atau ekowisata merupakan kegiatan yang sangat tergantung pada ketersediaan jasa – jasa ekosistem. Terkait dengan hal tersebut terpeliharanya ekosistem yang ada di gugus Pulau Sapeken mutlak diperlukan. Tuntutan untuk melestarikan kondisi ekosistem secara tidak langsung pula akan mendorong masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada secara ramah dan lestari, dengan harapan mendapatkan manfaat lebih besar dari kegiatan wisata. Lebih lanjut, terpeliharanya kondisi ekosistem yang lebih baik yang di dorong oleh pengembangan wisata akan meningkatkan ketahanan Ballesteros 2011. Berdasarkan hal tersebut pengembangan wisata secara berkelanjutan di gugus Pulau Sapeken, selain memberikan manfaat terhadap masyarakat lokal, juga merupakan upaya dalam pelestarian segenap ekosistem yang ada didalamnya.

7.2 Kesesuaian Kawasan untuk Pengembangan Wisata di Gugus Pulau

Sapeken Pembangunan berkelanjutan adalah jenis pembangunan yang menyesuaikan kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan pembangunan berkelanjutan berupa upaya meningkatkan integrasi tiga dimensi perkembangan yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan. Perencanaan tata ruang dapat digunakan sebagai alat untuk mengkoordinasikan pembangunan sosio – ekonomi melalui pencegahan masalah lingkungan dan sekaligus melindungi alam dan budaya lingkungan. Tantangan untuk perencanaan adalah untuk memastikan efisiensi penggunaan sumber daya yang terbatas lahan dan menjamin pengembangan bisnis regional seimbang dan penggunaan seimbang sumber daya, termasuk sumber daya alam dan sumber daya lanskap, tanah, air dan udara. Pelaksanaan perencanaan kawasan spatial plan didasarkan atas hasil penilaian kesesuaian kondisi lingkungan untuk kegiatan wisata. Kondisi lingkungan yang dimaksud meliputi sejumlah parameter terkait dengan peruntukan sejumlah jenis wisata. Pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di gugus Pulau Sapeken untuk kegiatan wisata, dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan kondisi atau karakter wilayah beserta keterbatasan yang melekat. Perencanaan kawasan melalui penilaian kesesuaian untuk kegiatan wisata, menunjukkan kesesuaian untuk pengembangan wisata selam, wisata snorkeling dan wisata mangrove, serta berpotensi untuk dikembangkan wisata pancing dan wisata selam Tabel 41 – Tabel 50. Faktor keberadaaan ekosistem berupa terumbu karang dan mangrove memiliki peran penting dalam pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken. Pentingnya faktor keberadaan ekosistem di gugus Pulau Sapeken bagi pengembangan wisata, terkait dengan fungsi ekosistem sebagai penyedia jasa jasa ekosistem ecosystem services, sehingga perlu terjaga kelestariaannya. Bentuk pelestarian yang dapat dilakukan dengan meminimalkan pemanfaatan yang mengancam keberadaan ekosistem. Langkah yang dapat dilakukan berupa pengaturan kawasan wisata dengan kawasan pemanfaatan lainnya. Langkah ini perlu ditempuh untuk meminimalkan konflik pemanfaatan sehingga tujuan wisata dalam melestarikan lingkungan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat lokal dapat terwujud.

7.3 Daya Dukung Pemanfaatan Wisata di Gugus Pulau Sapeken

Perencanaan kegiatan ekowisata di kawasan gugus Pulau Sapeken dilakukan melalui penilaian terhadap kemampuan dari ekosistem yang ada di gugus Pulau Sapeken untuk menyediakan ruang dan segenap aspek yang diperlukan guna mengimplementasikan kegiatan wisata yang berkelanjutan sustainable tourism. Penilaian terhadap daya dukung pemanfaatan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken dilakukan dengan menilai seberapa besar ruang tersedia bagi kegiatan wisata. Besaran ruang yang dapat disediakan tergantung pada besaran ekosistem, kondisi ekosisitem serta status kesesuaian ekosistem yang ada bagi pemanfaatan ekowisata. Berdasarkan hal tersebut penilaian terhadap daya dukung pemanfaatan gugus Pulau Sapeken bagi kegiatan ekowisata menunjukkan nilai yang berbeda untuk tiap jenis wisata Tabel 54 – Tabel 58. Lebih lanjut, penilaian terhadap daya dukung gugus Pulau Sapeken bagi wisata dilakukan dengan menilai ketersediaan sumberdaya dalam mendukung segenap kebutuhan yang diperlukan bagi kegiatan wisata Tabel 65. Nilai tersebut merupakan batasan maksimum pengguna wisatawan yang dapat ditampung pada kawasan gugus Pulau Sapeken untuk tetap memberikan kenyamanan leisure tanpa mempengaruhi atau menyebabkan penurunan kualitas sumberdaya. Keterkaitan kegiatan ekowisata dengan jasa ekosistem menjadikan upaya pengelolaan terhadap pemanfaatan ekosistem di pulau kecil diperlukan. Keterbatasan yang dimiliki oleh pulau kecil menjadikan kegiatan ekowisata sebagai bentuk pemanfaatan yang akan dilakukan harus didasarkan atas keterbatasan yang ada. Bentuk pengelolaan tersebut berupa penyesesuaian kegiatan ekowisata dengan daya dukung kawasan pulau kecil, dengan mengatur jumlah wisatawan. Pengaturan jumlah wisatawan ini dimaksudkan untuk mengatur konsumsi sumberdaya dan ruang yang keberadaannya sangat terbatas di pulau kecil dalam memberikan kenyamanan atau kepuasan bagi wisatawan. Kegiatan wisata pulau-pulau kecil small island tourism merupakan kegiatan wisata yang dilakukan dengan mempertimbangkan batasan dari pulau kecil. Untuk berkelanjutan, pengembangan kegiatan wisata di pulau kecil harus mampu mempertemukan segenap kebutuhan yang ada. Lebih lanjut, harmonisasi antara kegiatan pemanfaatan dan kualitas lingkungan merupakan kondisi penting untuk diciptakan, agar terjamin keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi. Batasan dari pengembangan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken berupa kemampuan tampung loading capacity maksimum dari sejumlah ekosistem yang ada. Pemanfaatan yang melebihi loading capacity maksimum, akan berdampak terhadap penurunan kualitas ekosistem dalam menyediakan sejumlah ecosystem service.

7.4 Implikasi Kebijakan Pengembangan Wisata di Gugus Pulau Sapeken

Implikasi hasil analisis dalam penelitian ini pada dasarnya ditujukan untuk melihat ketersediaan dan aliran sumberdaya resource flow dan perubahannya terhadap keberlajutan wisata di gugus Pulau Sapeken. Hasil skenario 3 menunjukkan tiap pulau kecil yang ada di gugus Pulau Sapeken memiliki perbedaan pada nilai EYR sebagai representasi dari ketersediaan sumberdaya bagi pengembangan wisata dan ELR sebagai representasi beban lingkungan dari pengembangan wisata. Berdasarkan hal tersebut, arahan dan prioritas pengembangan diperlukan sebagai suatu tindakan yang dapat dilakukan secara simultan di setiap pulau kecil yang ada di gugus Pulau Sapeken. Secara ringkas implikasi kebijakan bagi pengembangan wisata secara berkelanjutan di gugus Pulau Sapeken sebagai berikut : Tabel 75 Ringkasan implikasi kebijakan bagi pengembangan wisata secara berkelanjutan di gugus Pulau Sapeken No Komponen Implikasi Kebijakan 1. Ekologi o Perlindungan ekosistem terumbu karang dan mangrove o Peningkatan penutupan vegetasi pulau o Pengurangan beban lingkungan environmental loading 2. Ekonomi o Pembatasan konsumsi bahan dari luar o Peningkatan kemandirian masyarakat 3. Sosial o Peningkatan keterlibatan masyarakat o Pengembangan kapasitas masyarakat Lebih lanjut, secara lengkap implikasi kebijakan bagi pengembangan wisata secara berkelanjutan di gugus Pulau Sapeken ditampilkan pada Lampiran 9. 8 SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah disampaikan, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan : 1. Pulau-pulau kecil di gugus Pulau Sapeken memiliki kondisi sistem ekologi sosial yang mendukung bagi pengembangan wisata. Ditunjukkan dengan status ketersediaan jasa ekosistem yang masih terpelihara dengan baik sehingga masih tetap dapat menyediakan jasa dan barang bagi pengembangan wisata. 2. Kawasan gugus Pulau Sapeken memiliki kesesuaian untuk dikembangkan sejumlah wisata. Luas kawasan untuk kelas sesuai S sebesar 4 456.96 ha, meliputi wisata selam 164.42 ha; wisata snorkeling 361.56 ha; wisata mangrove 3 927.09 ha; dan wisata pantai 3.89 ha. Untuk kelas sesuai bersyarat SB meliputi wisata selam seluas 1167.82 ha, wisata snorkeling 535.01 ha; wisata pancing seluas 1493.38 ha; wisata mangrove seluas 97.69 ha; dan wisata pantai seluas 39.77 ha. 3. Pemanfaatan sumberdaya bagi pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken tidak akan melampaui daya dukung pemanfaatan yang dimiliki DDP EF. Gugus Pulau Sapeken masih memiliki kemampuan dalam mendukung dan memenuhi segenap kebutuhan wisata tanpa menyebabkan penurunan kualitas ekosistem, memberikan manfaat terhadap masyarakat lokal, sekaligus mampu memberikan rasa nyaman terhadap wisatawan. 4. Optimasi pemanfaatan sumberdaya bagi pengembangan wisata tercapai pada skenario ke 3 ESI = 10 melalui penambahan input eksternal import berkisar antara 4.35 x 10 22 - 6.48 x 10 23 sej. Pada tahap tersebut diindikasikan kegiatan wisata sebagai kegiatan ekonomi yang didominasi oleh proses dan produksi yang memberikan kontribusi terhadap masyarakat

8.2 Saran

1. Pengembangan kegiatan ekowisata untuk berbagai jenis wisata di gugus Pulau Sapeken membutuhkan kelengkapan sarana prasarana dan fasilitas penunjang bagi kegiatan wisata. Kelengkapan tersebut sekaligus dapat menambah daya tarik gugus Pulau Sapeken sebagai destinasi wisata kepulauan. 2. Batasan daya dukung gugus Pulau Sapeken perlu dijadikan sebagai dasar bagi pengembangan kegiatan ekoswisata untuk berbagai jenis wisata di gugus Pulau Sapeken sekaligus upaya untuk menjamin keberlangsungan jasa ekosistem. 3. Perlu mengintegrasikan batasan daya dukung kedalam tata ruang pemanfaatan wilayah untuk pembangunan yang berkelanjutan di gugus Pulau Sapeken. 4. Penelitian lanjutan yang perlu dilakukan adalah penilaian emergi dollar atau emergi rupiah EmEmRp untuk menilai besaran emergi dalam bentuk satuan nominal mata uang yang diperlukan untuk mencapai keberlanjutan. OPTIMASI PEMANFAATAN PULAU - PULAU KECIL BERBASIS DAYA DUKUNG BAGI PERUNTUKAN WISATA Kasus Gugus Pulau Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep AGUS ROMADHON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 DAFTAR PUSTAKA [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep. 2005. Laporan Akhir Tahun Kinerja Pelaksanaan Program. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2010. Kecamatan Sapeken Dalam Angka : BPS Sumenep [FAO] Food Agricultural Organization. 2007. The World’s Mangroves 1980-2005: A Thematic Study Prepared in the Framework of the Global Forest Resources Assessment 2005. FAO Forestry Paper 153, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy [FDC] Fisheries Diving Club dan [INNR] International Natural and Resources. 2006. Laporan Ilmiah Ekspedisi Zooxanthellae VIII. Kondisi dan Potensi Ekosistem Terumbu Karang Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur. FDC – IPB dan INNR. Agustus 2006 [ITTO] International Tourism and Trade Organization. 2002. ITTO Mangrove Workplan 2002-2006. International Tropical Timber Organization, Yokohama, Japan [KEI] Kangean Energy Indonesia. 2008. Pemantauan Kondisi Terumbu Karang Pulau Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil dan Pulau Sepanjang. Mei 2008. [MEA] Millennium Ecosystem Assessment. 2003. Ecosystems and human well- being. A framework for assessment. Island Press. [MEA] Millennium Ecosystem Assessment. 2005. Ecosystems and Human Well- Being: Synthesis. Island Press, Washington, D.C. [TIES] The International Ecotourism Society 2012. The International Ecotourism Society. 2006. www.ecotourism.org [3 Desember 2012] [WWF] World Wide Fund for Nature, [UNEP] United Nations Environment Programme, [WCMC] World Conservation Monitoring Centre. 2000. Redefining Progress RP, The Centre for Sustainability Studies, 2000. Living Planet Report. Jonathan, L. Ed., World Wide Fund for Nature. Gland, Switzerland. Abel T. 2003. Understanding complex human ecosystems: the case of ecotourism on Bonaire. j.conservecol. 7. 7 –10. Adrianto L. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan Sustainable Small Islands Development and Management in Working Paper Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Wilayah Pesisir Tahun 2004 Eds : Adrianto L Part 5. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor PKSPL-IPB Adrianto L. 2006. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan : Tantangan Riset dan Akademik. Disampaikan pada Mukernas Himitekindo Bogor, 16 Januari 2006. PKSPL-IPB. Bogor. Agarwal S. 2002. Restructuring seaside tourism e the resort lifecycle. j.annals.tour, 29, 25-55 154 Ahmed M, Umali GM, Chong CK, Rull MF, Garcia MC. 2007. Valuing recreational and conservation benefits of coral reefs - The case of Bolinao, Philippines. j.ocecoaman 50, 103 –118 Arlinghaus R, Cooke SJ, Lyman J, Policansky D, Schwab A, Suski C, Sutton SG, Thorstad EB. 2007. Understanding the complexity of catch-and-release in recreational fishing: an integrative synthesis of global knowledge from historical, ethical, social, and biological perspectives. j.revfishsci. 15, 75 – 167 Arlinghaus R, Mehner T, Cowx IG. 2002. Reconciling traditional inland fisheries management and sustainability in industrialized countries, with emphasis on Europe. j.fish. 3, 261 –316 Arlinghaus R. 2007. Voluntary catch-and-release can generate conflict within the recreational angling community: a qualitative case study of specialised carp, Cyprinus carpio, angling in Germany. Fish. j.manecol. 14, 161 –171. Arne A, Wolfgang H. 2005. Social effects on crowding preferences of urban forest visitors. Journal of Urban Forestry Urban Greening 3, 125 –136 Ballesteros ER, Social-ecological resilience and community-based tourism An approach from Agua Blanca, Ecuador. j.tourman 32, 655-666 Bardolet, E., Sheldon, PJ. 2008 Tourism in Archiplegos Hawai’i and the Balearics. Journal of Annals of Tourism Research, 35, 900 –923 Barker NHL, Roberts CM. 2004. Scuba diver behaviour and the management of diving impacts on coral reefs. j.biolcon. 120, 481 –489. Barr N, Wilkinson R, Karunaratne K. 2005. The Changing Social Landscapes of Rural Victoria. Department of Primary Industries, Melbourne Barr N. 2008. The social landscapes of rural Victoria. In: Pettit, C., Cartwright, W., Bishop, I., Lowell, K., Pullar, D., Duncan, D. Eds., Landscape Analysis and Visualisation. Bass S, Dalal-Clayton B. 1995. Small island states and sustainable development: strategic issues and experience. Environmental Planning Issues No. 8. London: International Institute for Environment and Development. Bellan GL, Bellan-Santini DR. 2001. A review of littoral tourism, sport and leisure activities: consequences on marine flora and fauna. Journal of Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems 11, 325 –333. Beller W, P d’Ayala and P Hein. 1990. Sustainable development and environmental management of small islands. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization UNESCO. Paris and New Jersey, USA. Bengen DG dan Retraubun AWS. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut P4L. ISBN 979- 98867-2-4 Bengen DG. 2002 Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan PKSPL IPB. 155 Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor Bengen GD. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan PKSPL IPB. Bogor. Bennett EM, Peterson GD, Gordon LJ. 2009. Understanding relationships among multiple ecosystem services. j.ecollets.12, 1394 –1404 Berkes F, Folke C, Colding J. 2000. Linking social and ecological systems: management practices and social mechanisms for building resilience. Cambridge University Press, Cambridge Bouman M, R Heijungs, E van der Voet, J van den Bergh, G Huppes. 2000. “Material flows and economic models: an analytical comparison of SFA, LCA, and partial equilibrium models, j.ecolecon, 32, 195-216. Bringezu S, Behrensmeier R, H Schütz. 1995. Material Flow Accounts Part I General Aspects, Aluminum, National Overall Accounts, Wuppertal Institute Department for Material Flows and Structural Change. Brown M, Ulgiati, S., 2004. Emergy analysis and environmental accounting. j.encycl of energy. 2, 1 –25. Brown M, Ulgiati S. 2001. Emergy measures of carrying capacity to evaluate economic investments. j.populenviron. 22, 471 –501 Brown K, Turner RK., Hameed H, Bateman I. 1997. Environmental carrying capacity and tourism development in the Maldives and Nepal. j.envicon 24 4, 316 –325 Burkhard B, Franziska K, Stoyan N, Felix M. 2012. Mapping ecosystem service supply, demand and budgets. j.ecolind. 21, 17 –29 Burns GL, Howard P. 2003. When wildlife tourism goes wrong: a case study of stakeholder and management issues regarding Dingoes on Fraser Island, Australia. j. tourmanage;246:699 –712. Castellani V, Sala S. 2012. Ecological Footprint and Life Cycle Assessment in the sustainability assessment of tourism activities. j.ecolecon.16, 135 –147 Ceballos Lascurain H. 1991. Tourism, ecotourism and protected areas. Parks 2, 31 –35. Cesar H. 2003. Report on the Economic Valuation of the Egyptian Red Sea Coral Reef. Monitoring, Verification, and Evaluation MVE. Unit of the Egyptian Environmental Policy Program Chabanet P, Adjeroud M, Andréfouët S, Bozec YM, Jocelyne FJ, Garcìa- Charton JA, Schrimm M. 2005. Human-induced physical disturbances and their indicators on coral reef habitats: a multi-scale approach. Journal of Aquatic Living Resource 18, 215-230. Chan HT. 1994. Re-afforestation of mangrove forest in Peninsula, Malaysia. Chan KMA, Satterfield T, Goldstein J. 2012. Rethinking ecosystem services to better address and navigate cultural values. j.ecolecon 74, 8 –18. Chandralal, Kotuwegoda, Palliyaguruge, Lalith. 2010. Impacts of Tourism and Community Attitude towards Tourism: A Case Study in Sri Lanka. South Asian Journal of Tourism and Heritage. Vol. 3, No. 2 156 Chen MC, Ruijs A, Wesseler J. 2005. Solid waste management on small islands: the case of Green Island, Taiwan. J. Resour Conserv Recy.;451:31 –47. Conlin MV, Baum T. ed. 1995. Island Tourism: Management Principles and Practice. Chichester, UK: John Wiley Sons Cooke SJ, Cowx IG. 2006. Contrasting recreational and commercial fishing: searching for common issues to promote unified conservation of fisheries resources and aquatic environments. j.biolconserv. 128 1, 93 –108. Cooke SJ, Suski CD. 2005. Do we need species-specific guidelines for catch- andrelease recreational angling to effectively conserve diverse fishery resources? j.bioconserv. 14, 1195 –1209 Costanza R, d’Arge R, de Groot R, Farber S, Grasso M, Hannon B, Limburg K, Naeem S, O’Neill RV, Paruelo J, Raskin RG, Sutton P, van den Belt M. 1997. The value of the world’s ecosystem services and natural capital. j.nature 387, 253 –260. Cowx IG, Arlinghaus R, Cooke SJ. 2010. Harmonizing recreational fisheries and conservation objectives for aquatic biodiversity in inland waters. j.fishbiol. 76, 2194 –2215 Dahuri R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau Pulau Kecil Berkelanjutan. Dalam: Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau Pulau Kecil di Indonesia. Edyanto, CB.H., R. Ridlo, H.S. Naryanto dan B. Setiadi. Eds. Departemen Dalam Negeri, Dir. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources Management Project, AUSAID. Pulau Matahari - Kep. Seribu, Jakarta, Indonesia. Desember 7-10. hal. B32-B42. Dahuri R. 2004. Prospek Investaasi dan Bisnis di Sektor Kelautan. Paper. BEI NEWS Edisi 25 tahun V, Maret-April 2005. Daily GC. 1997. Introduction: what are ecosystem services. In: Daily, G.C. Ed., Nature’s Services: Societal Dependence on Natural Ecosystems. Island Press, Washington, DC, pp. 1 –10 Davenport J, Davenport JL. 2006. The impact of tourism and personal leisure transport on coastal environments: a review. j.ecsc 67, 280 –292 Deutsch L, Folke C. 2003. The critical natural capital of ecosystem performance as insurance for human well-being. j.ecolecon 44, 205 –217. Dodds R. 2007. Malta’s tourism policy : standing still or advancing towards sustainability. Island Studies Journal, 21 : 47-66 Duke NC, Meynecke JO, Dittmann S, Elisosn AM, Anger K, Berger U, Cannicci S, Diele K, Ewel KC, Field CD, Koedam N, Lee SY, Marchand C, Nordhaus I, Dahdouh-Guebas F. 2007. A world without mangroves? Journal of Science 317 5834, 41-42. English S, Wilkinson C, Baner V. 1994. Survey manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townville. 3480p. Ewing B, Moore D, Goldfinger S, Oursler A, Reed A, Wackernagel M. 2010. The Ecological Footprint Atlas 2010. Global Footprint Network, Oakland, Available from: http: www. footprintnetwork.org images uploads Ecological Footprint Atlas 2010. pdf accessed October 2010. 157 Falkland A. 1991. Hydrology and water resources of small islands : a practical guide, IHP-UNESCO, Paris Farrell BH, Twining-Ward L. 2004. Reconceptualizing tourism. j.anntourres. 31 2, 274 –295 Fisher B, Turner RK, Morling P. 2009. Defining and classifying ecosystem services for decision making. j.ecolecon 68, 643 –653 Foley JA, DeFries R, Asner GP, Barford CC, Bonan G, Carpenter SR, Chapin FS, Coe MT, Daily GC, Gibbs HK, Helkowski JH, Holloway T, Howard EA, Kucharik CJ, Monfreda C, Patz JA, Prentice IC, Ramankutty N, Snyder PK. 2005. Global consequences of land use. j.scien 309, 570-574. Folke C. 2006. Resilience: the emergence of a perspective for social –ecological systems analyses. j.gloenvichan 16, 253 –267. Forsberga A, Malmborg FV. 2004. Tools for environmental assessment of the built environment. j.buildenviron.;392:223 –8. Garın-Munoz T. 2006. Inbound international tourism to Canary Islands: a dynamic panel data model. j. tourmanage.;272:281 –91. Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition in Kenchington R. A and Hudson B E T ed Coral reef Management Hand Book UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Gomez-Baggethun E, de Groot R, Lomas PL, Montes C. 2010. The history of ecosystem services in economic theory and practice: from early notions to markets and payment schemes. j.ecolecon. 69, 1209 –1218 Gossling S, Peeters P, Ceron J, Dubois G, Patterson TM, Richardson R. 2005. The eco-efficiency of tourism. j.ecolecon. 54, 417 – 434. Gossling S. 2001. The consequences of tourism for sustainable water use on a tropical island: Zanzibar, Tanzania. j. envimanage.;612:179 –91. Granger OE. 1993. Geography of small tropical islands: implications for sustainable development in a changing world. In: Maul, G.A. Ed., Small Islands: Marine Science and Sustainable Development. Coastal and Marine Studies. American Geophysical Union, Washington, DC, pp. 157 –187. Gunderson LH, Holling CS Eds.. 2002. Panarchy: Understanding Transformations in Human and Natural Systems. Islands Press, Washington, DC. Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre. ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia. Hantoro R, Rahmandiansyah A. 2007. Turbin Angin Sebagai Penyedia Energi yang Berkelanjutan Untuk Kepulauan Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda. Institut Teknologi 10 November Surabaya ITS Hawkins JP, Roberts CM. 1997. Estimating the carrying capacity of coral reefs for SCUBA diving. In: Proceedings of the 8th International Coral Reef Symposium, vol. 2, pp. 1923 –1926 Hossaini N, Hewage K. Emergy accounting for regional studies: Case study of Canada and its Provinces.2013. j. envimanage. 118, 177 –185 158 Huang SL, Hsu WL. 2003. Materials flow analysis and emergy evaluation of Taipei’s urban construction. Journal of Landscape and Urban Planning. 63, 61 –74 Hubacek K, Giljum S. 2002. Applying Physical Input-Output Analysis to Estimate Land Appropriation Ecological Footprints of international trade activities. j.ecolecon 44: 137-151 Hughes TP, Baird AH, Bellwood DR, Card M, Connolly SR, Folke C, Grosberg R, Hoegh-Guldberg O, Jackson JBC, Kleypas J, Lough JM, Marshall P, Nyström M, Palumbi SR, Pandolfi JM, Rosen B, Roughgarden J. 2003. Climate change, human impacts, and the resilience of coral reefs. j.scien 301, 929 –933 Huiqina L, Linchun H. 2011. Evaluation on Sustainable Development of Scenic Zone Based on Tourism Ecological Footprint: Case Study of Yellow Crane Tower in Hubei Province, China. Journal of Energy Procedia 5 2011 145 – 151 Hunter C, Shaw J. 2007. The ecological footprint as a key indicator of sustainable tourism. j.tourmanage.28, 46 –57 Hunter C. 2002. Sustainable tourism and the touristic ecological footprint. Journal of Environment, Development and Sustainability, 4, 7 –20 Hutabarat A, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani. 2009. Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu, Bogor: Edisi I Pusdiklat Kehutanan, Deptan, SECEN-KOREA International Cooperation Agency Imhoff ML, Bounoua L, Ricketts T, Loucks C, Harriss R, Lawrence WT. 2004. Global patterns in human consumption of net primary production. Jounal of Nature 429:870 –873 Jameson SC, Ammar MSA, Saadalla E, Mostafa HM, Riegl B. 1999. A coral damage index and its application to diving sites in the Egyptian Red Sea. Journal of Coral Reefs 18, 333-339. Jayawardena C, Ramajeesingh D. 2003. Performance of tourism analysis: a Caribbean perspective. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 15, 176 –179 Jungho N, Chang W, Kang D. 2010. Carrying Capacity of an uninhabited island off the southwestern coast of Korea.j. ecolmodel. 2010 2102-2107 Kandelaars PA. 2002. Economic models of material-product chains for environmental policy, Kluwer Academic Publishers, 2002 Kochtcheeva L, Singh A. 2000. An Assessment of Risks and Threats to Human Health Associated with the Degradation of Ecosystems. UNEP, Nairobi. 2- 27. Latimer H. 1985. Developing-island economies-tourism v agriculture. j.tourman. 1985. 32 –42. Layke C, Mapendembe A, Brown C, Walpole M, Winn J. 2012. Indicators from the global and sub-global Millennium Ecosystem Assessments: an analysis and next steps. j.ecolindic. 17, 77 –87. Lei K, Zhou S, Hu D , Guo Z, Cao A. 2011. Emergy analysis for tourism systems: Principles and a case study for Macao. j.ecocom 8. 192 –200 159 Lei K, Zhou S, Hu D, Yu YY. 2010. Ecological energy accounting for the gambling sector: a case study in Macao. j.ecolcomplex. 7, 149 –155 Lenzen M, Borgstrom, Hansson C, Bond S. 2007. On the bioproductivity and landdisturbance metrics of the Ecological Footprint. j.ecolecon. 61, 6 –10 Leujak W, Ormond RFG. 2007. Visitor perceptions and the shifting social carrying capacity of South Sinai’s coral reefs. j.envimange 39, 472-489. Lewin WC, Arlinghaus R, Mehner T. 2006. Documented and potential biological impacts of recreational fishing: insights for management and conservation. j.revfishsci. 14, 305 –367 Li Peng, Yang G. 2007. Ecological footprint study on tourism itinerary products in Shangri-La, Yunnan Province, China. Journal of Acta Ecologica Sinica. Volume 27, Issue 7, July 2007 Lin SC. 2006. The ecologically ideal road density for small islands: the case of Kinmen. j.ecoeng;272:84 –92. Lydia T, Cabanban AS. 2007. Planning for sustainable tourism in southern Pualu Banggi : An assessment of biophysical conditions and their implications for future tourism development. j. envimange.85, 999-1008 Macarena LO, Francisco JB, Mercedes G, Rafael C. 2012. Sustainable tourism indicators as planning tools in cultural destinations. j.ecolind 18, 659 –675 MacLeod M, Cooper JAG. 2005. Carrying capacity in coastal areas. In: Schwartz, M. Ed., Encyclopedia of Coastal Science. Springer, Heidelberg, 226 pp Manning RE. 2007. Parks and carrying capacity: Commons without tragedy. Washington, D.C.: Island Press Manzo L. 2005. For better or worse: exploring multiple dimensions of place meaning. Journal of Environmental Psychology 25, 67 –86 Metzger MJ, Rounsevell MDA, Acosta-Michlik L, Leemans R, Schröter D. 2006. The vulnerability of ecosystem services to land use change. j.agrecosystenviron. 114, 69-85 Mihalic T. 2000. Environmental management of a tourist destination: a factor of tourism competitiveness. j.tourmanage. 21, 65 –78. Milner C, Westaway T. 1993. Country size and the medium-term growth process: some country evidence. j.worlddev;212:203 –11. Mimura NN. 2007. Small islands, Climate Change 2007: impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, UK Moffatt I. 2000. Ecological footprints and sustainable development. j.ecolecon, 32, 359 –362. Mullen MR. 1993. The effects of exporting and importing on two dimensions of economic development: an empirical analysis. Journal of Macromarketing, 131, 3 –20 Newton K, Cote IM, Pilling GM, Jennings S, Dulvy NK. 2007. Current and future sustainability of island coral reef fisheries. Journal of Current Biology 17, 655 –658 160 Nielsen, Søren Nors. 2007. What has modern ecosystem theory to offer to cleaner production, industrial ecology and society? The views of an ecologist. j.cleanprod 15: 1639-1653. Odum EP, Barett GW. 2005. Fundamentals of Ecology. BrooksCole, Belmont Odum HT. 1996. Environmental Accounting, Emergy and Decision Making. John Wiley, New York, 370 pp Oyewole P. 2001. Prospects for developing country exports of services to the year 2010: projections and public policy implications. Journal of Macromarketing, 211, 32 –46. Pambudi. 2011. Pendugaan biomassa beberapa kelas umur tanaman jenis Rhizopora apiculata. Fakultas kehutanan, IPB. Parkkila K, Arlinghaus R, Artell J, Gentner B, Haider W, Aas, Barton D, Roth E, Sipponen M. 2010. Methodologies for assessing socio-economic benefit of European inland recreational fisheries. In: EIFAC Occasional Paper No. 46, Ankara. FAO, p. 112. Pauly D, Christensen V, Guenette S, Pitcher TJ, Sumaila UR, Walters CJ, Watson R, Zeller D. 2002. Towards sustainability in world fisheries. Journal of Nature 418, 689 –695 Pavlikakis GE, Tsihrintzis VA. 2006. Perceptions and preferences of the local population in Eastern Macedonia and Thrace National Park in Greece. Journal of Landscape and Urban Planning. 77 1 –2, 1–16 Pelling M, Uitto JI. 2001. Small island developing states: natural disaster vulnerability and global change. Global Environ Change. j.envihaz;3 2:49 – 62 Pereira L, Ortega E. 2012. A modified footprint method : The case study of Brazil. j.ecolind 2012 113-127 Pettit C, Cartwright W, Bishop I, Lowell K, Pullar D, Duncan D. 2008 Spatial Models for Natural Resource Management and Planning. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, pp. 305-325. ISBN: 978-3-540-69167-9 Pigram, J. 1983. Outdoor recreation and resource management. New York: St. Martin’s Press Plathong S, Inglis GJ, Huber ME. 2000. Effects of self-guided snorkelling trails in a tropical marine park. j.consebiol 14, 1821-1830 Pollock KH, Pine WE. 2007. The design and analysis of field studies to estimate catch-and-release mortality. j.fishmanecol. 14, 123 –130 Post JR, Sullivan M, Cox S, Lester NP, Walters CJ, Parkinson EA, Paul AJ, Jackson L, Shuter BJ. 2002. Canada’s recreational fisheries: the invisible collapse? j.fish 27, 6 –17 Priskin J. 2001. Assessment of natural resources for nature-based tourism: the case of the Central Coast Region of Western Australia. j.tourman 22, 637 – 648 Rabl A, Spadaro JV. 2000. Public health impact of air pollution and implications for the energy system. Journal of Annual Review of Energy and the Environment 25, 617 –627