Development model for regional conservation of coastal and small islands case study of Weda Bay

(1)

MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN

KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BERBASIS ZONASI (KASUS DI TELUK WEDA)

MARTINI DJAMHUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus Di Teluk Weda), adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Martini Djamhur NRP C262080021


(4)

(5)

RINGKASAN

MARTINI DJAMHUR. Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus di Teluk Weda). Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan ACHMAD FAHRUDIN.

Penelitian Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus di Teluk Weda) dilaksanakan di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara pada periode Juni sampai November 2012, yang bertujuan : 1) menginventarisasi dan mengidentifikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil (pulau-pulau kecil, mangrove, lamun dan terumbu karang); 2) menganalisis kesesuaian kawasan konservasi untuk kegiatan ekominawisata bahari; 3) menganalisis kapasitas asimilasi, daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan; dan 4) menganalisis permintaan wisata, pemodelan interpretatif struktural kelembagaan dan status keberlanjutan ekominawisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil. Analisis yang digunakan adalah : 1) analisis toponim, identifikasi jenis, keragaman jenis dan lifeform; 2) kriteria konservasi, matriks kesesuaian dan analisis spasial; 3) Kapasitas asimilasi, daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan; dan 4) Travel Cost Method (TCM), Interpretative Structural Modeling (ISM) dan Rapfish. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini : 1) terdapat 28 (dua puluh delapan) pulau kecil yang tidak berpenduduk. Mangrove yang ditemukan terdiri dari 6 Famili. Jenis lamun yang ditemukan terdiri dari 10 spesies. Bentuk pertumbuhan (life-form) terumbu karang yang ditemukan terdiri dari 14 lifeform dengan tipe hamparan karang dominan berada pada daerah fringing serta barrier dan dasar perairan dengan tipe topografi berbentuk slope dan drop off; 2) Kesesuaian kawasan untuk pengembangan ekominawisata bahari yang lebih luas menampung wisatawan adalah ekowisata mangrove; 3) Kapasitas asimilasi yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas kimia perairan berada di bawah baku mutu budidaya laut, pelabuhan dan wisata bahari. Daya dukung pemanfaatan untuk ekominawisata bahari yang lebih dominan adalah pada pemanfaatan untuk kegiatan ekowisata mangrove; dan 4) Hasil analisis yang paling berpengaruh pada besarnya jumlah kunjungan wisatawan adalah biaya perjalanan dan pendapatan masing-masing wisatawan dari Negara asalnya. Kelembagaan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan sustainable development adalah pemerintah, wisatawan dan perguruan tinggi, untuk mewujudkan pengembangan wisata, produktifitas pemanfaatan sumberdaya alam, meningkatkan mutu produk perikanan, dan jumlah permodalan kegiatan perikanan tangkap, dengan membantu nelayan dalam penentuan harga perikanan, mengelola sumberdaya alam, peraturan investasi daerah dan membuat kebijakan yang konsisten. Status keberlanjutan akan mencapai optimal jika nilai status keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan dilakukan perbaikan pada atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap keempat dimensi tersebut.

Kata kunci: inventarisasi, identifikasi, konservasi, zonasi, ekominawisata bahari, daya dukung, model interpretatif struktural.


(6)

SUMMARY

MARTINI DJAMHUR. Development model for regional conservation of coastal and small islands: case study of Weda Bay. Under supervision of MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and ACHMAD FAHRUDIN.

A study on development model for regional conservation in the coastal and small islands of Weda Bay, Regency Central Halmahera, Province North Maluku was conducted from June to November 2012. The objectives of the study were 1) to assess and identify existing ecosystem and natural resources there in; 2) to analyze the suitability of conservation area for marine fisheries ecotourism; 3) to analyze assimilative capacity and carrying capacity for environmental utilization; and 4) to analyze structural institution model based on tourism demand, marine fisheries ecotourism, and the sustainability of coastal and small islands in Weda Bay. Analyses performed for this study were 1) toponymy analysis, based on species identification, diversity, and lifeform; 2) conservation criteria, suitability matrices, and spatial analysis; 3) assimilative thresholds and carrying capacity for environment and utilization; 4) Travel Cost Method (TCM), Interpretative Structural Modeling (ISM) and Rapfish. From this study, there are 28 uninhabited islands, 6 families of mangroves, 10 species of seagrass, 14 types of lifeform with dominant reef feature of fringing and barrier, while bottom feature consisted of slopes and drop offs. To accommodate both conservation and economic development, mangrove area should be developed for ecotourism purpose. Assimilative capacity in this study indicated that several chemical parameters were under threshold limits for mariculture, port, and tourism development. Carrying capacity for marine fisheries ecotourism indicated that dominant use should directed to mangrove tourism. Finally, development model for supporting increased tourist visits to study area should consider travel cost and tourist income according to country of origin. Institutional management for coastal and small islands should incorporate government, tourists and university, in order to promote sustainable development for tourism and natural resource production. For supporting local fish-based product, fisherman, and capture fishery capitalization, there should be regulation in setting market price, fishery resource management, regional investment regulation, and consistent applied policy. Optimal sustainability for development of coastal and small islands in Weda Bay is possible when improvements are applied to ecology, economy, socio-culture, and institutional dimension.

Keywords: assessment, identification, conservation, zonation, marine fisheries ecotourism, carrying capacity , interpretative structural model.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

(9)

MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN

KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BERBASIS ZONASI (KASUS DI TELUK WEDA)

MARTINI DJAMHUR

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc 2. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Alex SW Retraubun, MSc 2. Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA


(11)

Nama Martini Dj arnhur

NIM : C262080021

Disetujui   Komisi Pembimbing  

__________

セ エ@ セセ

セ@

セ . . ---.)

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA

Ketua  

Dietriech

4 A

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto, MSc


(12)

Judul Disertasi : Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus Di Teluk Weda)

Nama : Martini Djamhur

NIM : C262080021

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Ketua

Prof Dr Ir Dietriech G Bengen, DEA Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian : 7 Februari 2014 Tanggal Lulus :


(13)

(14)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 sampai selesai adalah Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Kasus di Teluk Weda).

Diselesaikannya penulisan disertasi ini, atas doa, dorongan dan motivasi yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan program doktoral. Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Ayahanda (Alm) Djamhur Munaf dan Ibunda Nursyamsu Sutan Paduko atas doa dan dukungannya.

2. Adik (Mulyati, Mulyani dan Mira Fitriyani), Ipar (Saiful Samad, Abdul Mufid dan Rizky Kurnia Putra) dan Ponakan (Abdurrachman Najib, Achmad Mustaqfirin, Nurilma Amalia dan Najwa Ilmukhair) atas doa, dukungan dan bantuannya.

3. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA, Bapak Prof Dr Ir Dietriech G Bengen DEA, dan Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin MSi selaku pembimbing atas bantuan dan bimbingannya selama ini. 4. Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda MSc dan Bapak Dr Ir Luky Adrianto MSc,

selaku penguji Preliminary yang telah memberikan saran.

5. Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi MSc dan Bapak Dr Ir Sigid Hariyadi MSc, selaku penguji Ujian Tertutup yang telah memberikan saran.

6. Bapak Prof Dr Ir Alex SW Retraubun MSc dan Bapak Prof Dr Ir Dedi Soedharma DEA, selaku penguji Ujian Terbuka yang telah memberikan saran.

7. Bapak Dekan FPIK dan Rektor Universitas Khairun atas izin pendidikan. 8. Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah dan atas bantuannya dalam

melaksanakan penelitian.

9. Mr Rob Sinke dan Bapak Ir M. Nur (LF) Wenno atas bantuan dan sarannya. 10. Saudara, sahabat dan teman yang telah membantu dan mendukung selama ini. 11. Rekan mahasiswa Angkatan 13 Tahun 2008, Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014 Martini Djamhur


(15)

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xv

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xix

DAFTAR LAMPIRAN xxi

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar belakang 1

1.2 Permasalahan 1

1.3 Kerangka pemikiran 2

1.4 Tujuan dan manfaat penelitian 5

1.5 Kebaharuan 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Defenisi teluk 7

2.2 Ekosistem estuaria 7

2.3 Ekosistem pulau-pulau kecil 10

2.4 Ekosistem mangrove 13

2.5 Ekosistem lamun 15

2.6 Ekosistem terumbu karang 15

2.7 Penataan ruang (zonasi) 17

2.8 Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil 20

2.9 Daya dukung 28

3 METODOLOGI PENELITIAN 31

3.1 Lokasi dan waktu penelitian 31

3.2 Jenis dan sumber data 32

3.3 Metode pengumpulan data dan analisis 33

4 PROFIL UMUM TELUK WEDA 57

4.1 Letak Teluk Weda 57

4.2 Iklim 57

4.3 Kualitas perairan 59

4.4 Kondisi ekologi 68

4.5 Kondisi ekonomi 69

4.6 Kondisi sosial 73

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 79

5.1 Kawasan Kecamatan Weda Utara 82

5.2 Kawasan Kecamatan Weda dan Weda Tengah 86

5.3 Kawasan Kecamatan Weda Selatan 97

5.4 Deliniasi dan kesesuaian kawasan konservasi 99

5.5 Daya dukung 123

5.6 Nilai ekonomi 137

5.7 Kelembagaan 139


(17)

6 PEMBAHASAN UMUM 161

6.1 Kawasan konservasi Kecamatan Weda Utara 161

6.2 Kawasan konservasi Kecamatan Weda Tengah 161

6.3 Kawasan konservasi Kecamatan Weda 162

6.4 Kawasan konservasi Kecamatan Weda Selatan 162

6.5 Daya dukung 163

6.6 Kelembagaan 164

6.7 Keberlanjutan 165

6.8 Implikasi kebijakan 167

KESIMPULAN 169

DAFTAR PUSTAKA 171


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Karakteristik pulau oseanik, kontinental dan benua 11 Tabel 2 Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove 14 Tabel 3 Beberapa dampak dari kegiatan manusia terhadap

ekosistem lamun 16

Tabel 4 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang 17

Tabel 5 Penzonasian Kawasan Konservasi 24

Tabel 6 Kebutuhan Data Penelitian 32

Tabel 7 Kriteria baku kerusakan mangrove 35

Tabel 8 Kriteria baku kerusakan padang lamun 36

Tabel 9 Status padang lamun 36

Tabel 10 Kriteria baku kerusakan terumbu karang 36 Tabel 11 Kesesuaian lahan untuk ekowisata selam 40 Tabel 12 Kesesuaian lahan untuk ekowisata snorkeling 40 Tabel 13 Kesesuaian lahan untuk ekowisata pancing 41 Tabel 14 Kesesuaian lahan untuk ekowisata mangrove 41 Tabel 15 Kesesuaian lahan untuk ekowisata pantai 42 Tabel 16 Kesesuaian lahan untuk ekowisata lamun 42 Tabel 17 Kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut 43 Tabel 18 Kesesuaian lahan untuk budidaya keramba jaring apung 43 Tabel 19 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan

(Lt) 48

Tabel 20 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan

wisata 48

Tabel 21 Hasil pengamatan kualitas perairan Tahun 2012 60 Tabel 22 Tabel 22 Konstanta harmonik pasang surut di beberapa

wilayah sekitar Kabupaten Halmahera Tengah 61 Tabel 23 Produksi perikanan Halmahera Tengah Tahun 2004-2011 70 Tabel 24 Nilai produksi perikanan Halmahera Tengah Tahun

2004-2011 71

Tabel 25 Peningkatan produksi dan nilai produksi perikanan

Halmahera Tengah Tahun 2004-2011 71

Tabel 26 Jumlah perahu penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera

Tengah 71

Tabel 27 Jumlah nelayan di Kecamatan Halmahera Tengah 72 Tabel 28 Jumlah alat tangkap (unit) di Kecamatan Halmahera

Tengah 72

Tabel 29 Jumlah Siswa SMA/SMK/Madrasah Aliyah (5 tahun terakhir, status Negeri dan Swasta) Kabupaten Halmahera

Tengah 73

Tabel 30 Jumlah Siswa SMA/SMK/ Madrasah Aliyah yang studi lanjut (5 tahun terakhir, status Negeri dan Swasta)

Kabupaten Halmahera Tengah 73

Tabel 31 Jumlah SMA/SMK/Madrasah Aliyah Kabupaten


(19)

Tabel 32 Program Studi yang ada di SMK Kabupaten Halmahera

Tengah 74

Tabel 33 Tingkat Pengangguran (usia produktif yang belum bekerja)

Kabupaten Halmahera Tengah 74

Tabel 34 Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan level pendidikan (5 tahun terakhir) Kabupaten Halmahera Tengah

Tabel 35 Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan bidang kompetensi

Kabupaten Halmahera Tengah 75

Tabel 36 Ekosistem mangrove di Teluk Weda 75

Tabel 37 Ekosistem lamun Di Teluk Weda 79

Tabel 38 Ekosistem terumbu karang di Teluk Weda 80 Tabel 39 Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan Weda Utara 81 Tabel 40 Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan Weda dan Weda

Tengah 82

Tabel 41 Luasan zonasi pada kawasan konservasi hasil deliniasi 87 Tabel 42 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang di

Teluk Weda 100

Tabel 43 Jumlah individu, spesies dan indeks keragaman ikan

indikator dan ikan target 102

Tabel 44 Rekapitulasi persentase tutupan komponen penyusun

terumbu karang di Teluk Weda 106

Tabel 45 Daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan di

Teluk Weda 136

Tabel 46 Asal negara, hari kunjungan, biaya perjalanan dan

pendapatan wisatawan yang berkunjung ke Weda Resort di

Teluk Weda 138

Tabel 47 Nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi Teluk Weda 139

Tabel 48 Nilai produksi perikanan Tahun 2012 139

Tabel 49 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan

Monte Carlo 159

Tabel 50 Nilai stress, koefisien determinasi (R²) dan iterasi hasil

analisis Rapfish 160

Tabel 51 Arahan dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pikir model pengembangan kawasan konservasi

pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi 4 Gambar 2 Peta lokasi penelitian di Teluk Weda Kabupaten

Halmahera Tengah 31

Gambar 3 Grafik hubungan antara beban pencemaran dan

konsentrasi limbah 46

Gambar 4 Matriks DP-D untuk elemen tujuan program 50 Gambar 5 Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM 52 Gambar 6 Elemen proses aplikasi RAPFISH untuk data P3K (Alder

et al. 2000 dalam Fauzi dan Anna 2005) 54 Gambar 7 Stasiun Klimatologi Kulo Jaya Balai Wilayah Sungai

Maluku Utara 58

Gambar 8 Curah Hujan di Kabupaten Halmhera Tengah Tahun

2008-2012 58

Gambar 9 Penguapan air di Kabupaten Halmahera Tengah Tahun

2008-2012 59

Gambar 10 Beberapa jenis lamun yang ditemukan 69

Gambar 11 PPI Weda DKP Halmahera Tengah 70

Gambar 12 Fasilitas Air bersih PDAM Halmahera Tengah 76 Gambar 13 Infrastruktur transportasi darat, laut dan udara Kabupaten

Halmahera Tengah 78

Gambar 14 Ekowisata di Teluk Weda 78

Gambar 15 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Sagea 84 Gambar 16 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Gume 84 Gambar 17 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Tete 84 Gambar 18 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Kife 84 Gambar 19 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung

Seves 85

Gambar 20 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Goeng 96 Gambar 21 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Dua 96 Gambar 22 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung

Kobe 96

Gambar 23 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Loleo 98 Gambar 24 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung

Tilope 98

Gambar 25 Hiu Endemik Halmahera (Hemiscyllium halmahera) 104 Gambar 26 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam 105 Gambar 27 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling 108 Gambar 28 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing 110 Gambar 29 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai 113 Gambar 30 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove 115 Gambar 31 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun 117 Gambar 32 Kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut 118


(21)

Gambar 33 Kesesuaian pemanfaatan keramba jaring apung 123 Gambar 34 Kapasitas asimilasi Amonia di Teluk Weda 124 Gambar 35 Kapasitas asimilasi Nitrit di Teluk Weda 125 Gambar 36 Kapasitas asimilasi Nitrat di Teluk Weda 126 Gambar 37 Kapasitas asimilasi Fosfat di Teluk Weda 127 Gambar 38 Kapasitas asimilasi Arsen di Teluk Weda 128 Gambar 39 Kapasitas asimilasi Kadmium di Teluk Weda 129 Gambar 40 Kapasitas asimilasi Kromium di Teluk Weda 130 Gambar 41 Kapasitas asimilasi Merkuri di Teluk Weda 131 Gambar 42 Kapasitas asimilasi Nickel di Teluk Weda 132 Gambar 43 Kapasitas asimilasi Tembaga di Teluk Weda 133 Gambar 44 Kapasitas asimilasi Timbal di Teluk Weda 134 Gambar 45 Kapasitas asimilasi Seng di Teluk Weda 135 Gambar 46 Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan

Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen pelaku 141 Gambar 47 Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan

Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen tujuan

program 143

Gambar 48 Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen tolok

ukur 144

Gambar 49 Diagram model struktur hirarki dan Grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen kendala

utama 146

Gambar 50 Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan

Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen aktivitas 148 Gambar 51 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi 150 Gambar 52 Peran atribut dimensi ekologi dengan nilai Root Mean

Square 151

Gambar 53 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi 151 Gambar 54 Peran atribut dimensi ekonomi dengan nilai Root Mean

Square 152

Gambar 55 Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya 153 Gambar 56 Peran atribut dimensi sosial budaya dengan nilai Root

Mean Square 154

Gambar 57 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan 155 Gambar 58 Peran atribut dimensi kelembagaan dengan nilai Root

Mean Square 156

Gambar 59 Diagram layang-layang status keberlanjutan multidimensi 157

Gambar 60 Indeks keberlanjutan multidimensi 158

Gambar 61 Peran atribut multidimensi dengan nilai Root Mean


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Matriks kesesuaian untuk deliniasi penetapan kawasan

konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil 182 Lampiran 2 Kriteria Penunjukkan/Penetapan Kawasan Konservasi

berdasarkan Karakteristik Kawasan 185

Lampiran 3 Matriks Zonasi Kawasan Konservasi Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil 193

Lampiran 4 Peta pulau-pulau kecil di Teluk Weda 195 Lampiran 5 Peta sebaran ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di

Teluk Weda 196

Lampiran 6 Peta deliniasi kawasan konservasi di Teluk Weda 197 Lampiran 7 Peta zonasi kawasan konservasi Weda Utara 198 Lampiran 8 Peta zonasi kawasan konservasi Weda Tengah 199 Lampiran 9 Peta zonasi kawasan konservasi Weda 200 Lampiran 10 Peta zonasi kawasan konservasi Weda Selatan 201 Lampiran 11 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam

di Weda Utara 202

Lampiran 12 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam

di Weda Tengah 203

Lampiran 13 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam

di Weda 204

Lampiran 14 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam

di Weda Selatan 205

Lampiran 15 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

snorkeling di Weda Utara 206

Lampiran 16 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

snorkeling di Weda Tengah 207

Lampiran 17 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

snorkeling di Weda 208

Lampiran 18 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

snorkeling di Weda Selatan 209

Lampiran 19 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

pancing di Weda Utara 210

Lampiran 20 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

pancing di Weda Tengah 211

Lampiran 21 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

pancing di Weda 212

Lampiran 22 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

pancing di Weda Selatan 213

Lampiran 23 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai

di Weda 214

Lampiran 24 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai

di Weda Selatan 215

Lampiran 25 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata


(23)

Lampiran 26 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

mangrove di Weda 217

Lampiran 27 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata

mangrove di Weda Selatan 218

Lampiran 28 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun

di Weda 219

Lampiran 29 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun

di Weda Selatan 220

Lampiran 30 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan budidaya rumput

laut di Weda 221

Lampiran 31 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan budidaya rumput

laut di Weda Selatan 222

Lampiran 32 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan keramba jaring

apung di Weda 223

Lampiran 33 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan keramba jaring

apung di Weda Selatan 224

Lampiran 34 Sistem kelembagaan pengembangan kawasan

konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda

Kabupaten Halmahera Tengah 225


(24)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Halmahera Tengah adalah salah satu kabupaten di Provinsi Maluku Utara yang beribu kota di Weda. Secara geografis letak kabupaten terbentang antara 0o45’LU – 0o15’LS dan 127o45’BT – 129o26’BT dan berada pada bagian kaki Pulau Halmahera. Kabupaten ini memiliki teluk yang luas yang dinamakan Teluk Weda. Teluk ini dikeliling 8 kecamatan yaitu 7 kecamatan terletak pada bagian pulau Halmahera dan 1 kecamatan berada di bagian timur Pulau Halmahera.

Teluk Weda yang merupakan kawasan teluk yang luas menyimpan sumberdaya alam sangat prospektif baik sebagai sumberdaya alam dapat pulih (mangrove, terumbu karang, lamun dan sumberdaya ikan), maupun sumberdaya alam yang tak dapat pulih (mineral dan bahan tambang) yang sangat potensial untuk dikembangkan. Selain itu Teluk Weda berperan penting sebagai pintu gerbang dan penghubung kabupaten-kabupaten di dalam dan di luar Maluku Utara.

Sumberdaya alam hayati teluk ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, diantaranya terumbu karang yang digunakan sebagai bahan bangunan dan mangrove yang digunakan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar. Selain itu berbagai pemangku kepentingan telah mengeksploitasi sumberdaya mineral dan bahan tambang untuk di ekspor ke luar daerah.

Berbagai pemanfaatan ini dapat mengakibatkan degradasi ekosistem, pencemaran lingkungan berupa buangan limbah rumah tangga, industri dan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral dan bahan tambang. Demikian pula dengan adanya pemekaran kabupaten, terjadi peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut secara besar-besaran untuk kegiatan pembangunan guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat baik penduduk setempat maupun karyawan pertambangan. Untuk mencegah terjadinya degradasi lingkungan, eksplorasi dan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam di Kabupaten ini, dilakukan kajian tentang model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi.

1.2 Permasalahan

Di Kabupaten Halmahera Tengah sebagai kabupaten baru akan terjadi pembangunan di berbagai sektor yang akan berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya di Teluk Weda. Seiring dengan perkembangan pembangunan ketimpangan dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada di kawasan Teluk Weda. Sehingga harus ada penata kelolaan teluk yang dapat memberikan perimbangan antara pembangunan daratan dan kelestarian di Teluk Weda.

Melihat potensi sumberdaya yang dimiliki oleh Teluk Weda dan peluang pengembangannya serta kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat, terdapat beberapa permasalahan yang merupakan kendala dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam kompleksitas permasalahan tersebut ada beberapa hal yang diidentifikasi di Teluk Weda saat


(25)

ini, potensi sumberdaya alam daerah ini dimanfaatkan oleh masyarakat dan pihak-pihak lain yang berusaha di daerah ini untuk dieksploitasi secara besar-besaran untuk pembangunan. Hal ini jika tidak dilakukan penataan kelolaan dengan baik akan menimbulkan dampak negatif bagi teluk Weda akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan kerusakan akibat eksploitasi sumberdaya alam.

Untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan, perlu dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda secara terpadu, sedangkan sampai saat ini belum dilakukan dan masih bersifat sektoral terutama pemanfaatan potensi perikanan dan pariwisata. Selanjutnya dengan adanya pemekaran di Kabupaten Halmahera Tengah tentunya penduduknya akan semakin bertambah dan aktivitas pembangunan akan semakin tinggi, sehingga cenderung memberikan tekanan terhadap ekosistem dan sumberdaya yang ada. Dengan demikian, dapat dipastikan dalam beberapa tahun kedepan hampir seluruh lahan akan terpakai untuk berbagai aktivitas pembangunan, apalagi Teluk Weda memiliki banyak pulau-pulau kecil yang lebih dekat dengan daratan (mainland), juga potensi yang ada di daratan (mainland) terutama estuaria yang terdapat di daerah tersebut dikuatirkan akan terjadi kerusakan lingkungan akibat pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam.

Salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda secara terpadu yaitu dengan melakukan pembagian kawasan berdasarkan pemanfaatannya. Pemanfaatan kawasan ini dilakukan berdasarkan peruntukan kawasan tersebut sesuai dengan penataan ruang wilayah pengelolaan yang telah ditetapkan pada Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Halmahera Tengah. Adapun penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan penzonasian kawasan pada zona pengelolaannya. Zona pengelolaan pada rencana detail tata ruang dapat dibagi menjadi beberapa kawasan sesuai deliniasi kawasan yang diperuntukkan. Hasil deliniasi tersebut dapat berupa kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategi nasional tertentu dan kawasan alur. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendasar tentang peñata kelolaan di Teluk Weda dengan model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi.

1.3 Kerangka Pemikiran

Pengembangan suatu wilayah teluk memerlukan upaya pengelolaan yang sangat penting untuk memacu perkembangan sosial-ekonomi, mengurangi kesenjangan, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah, hal ini sangat diperlukan karena realitas sosial-ekonomi, budaya dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan kata lain, pembangunan tidak dapat disamaratakan pada seluruh wilayah, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat. Inilah sesungguhnya yang merupakan argumentasi akan perlunya suatu pengembangan wilayah.

Logika di atas tentang pengembangan wilayah berbeda dengan pembangunan sektoral, karena yang pertama sangat berorientasi pada permasalahan (issues) pokok wilayah secara saling terkait, sementara yang disebutkan terakhir sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor itu, tanpa terlalu memperhatikan keterkaitannya dengan sektor-sektor lain.


(26)

Namun demikian, walaupun berbeda dalam orientasi tapi keduanya saling melengkapi; dalam arti bahwa pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa pembangunan sektoral, sementara pembangunan sektor tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pembangunan sektor itu sendiri. Bahkan hal ini dapat menciptakan perselisihan (konflik) kepentingan antar sektor-sektor tersebut, yang pada gilirannya akan kontra-produktif dengan pengembangan wilayah.

Realitas menunjukkan bahwa Kabupaten Halmahera Tengah sebagai kabupaten memiliki teluk yang luas serta memiliki potensi sumberdaya dan jasa kelautan serta perikanan yang prospektif untuk mendukung proses pembangunan wilayah yang optimal. Dengan perkataan lain, dari sisi kemampuan memproduksi (supply capacity) barang dan jasa kelautan dan perikanan, sesungguhnya Kabupaten Halmahera Tengah memiliki potensi pembangunan yang masih besar dan terbuka lebar untuk berbagai pilihan pembangunan. Dengan demikian, penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan teluk terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum.

Konsep pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa kelautan serta perikanan di wilayah yang banyak memiliki ekosistem yang lengkap seperti di teluk Weda ini, hal yang tepat untuk dilakukan dengan pendekatan keterpaduan. Minimal keterpaduan ini dapat mengintegrasikan kegiatan perikanan dan wisata bahari yang dikembangkan pada wilayah berpotensi.

Identifikasi dan inventarisasi potensi pemanfaatan sumberdaya di teluk yaitu dengan mengidentifikasi dan inventarisasi : sumberdaya perikanan dan biota lainnya, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang, estuaria, dan pulau-pulau kecil. Sedangkan fungsi tujuan pengelolaan, memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya perikanan dan biota lainnya yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang efisien.

Hasil identifikasi dan inventarisasi potensi pemanfaatan sumberdaya tersebut, kemudian dilakukan analisis kesesuaian kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan yang digunakan sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Kawasan konservasi yang telah dihasilkan tersebut dilakukan pembagian zonasi (zona inti dan pemanfaatan terbatas).

Zonasi yang terbentuk tersebut kemudian dilakukan analisis kesesuaian pemanfaatan pada zona pemanfaatan terbatas dengan menggunakan kriteria : ekowisata selam, ekowisata snorkeling, ekowisata pancing, ekowisata pantai, ekowisata mangrove, ekowisata lamun, budidaya keramba jaring apung dan budidaya rumput laut. Hasil kesesuaian pemanfaatan ini kemudian dilakukan analisis daya dukung berdasarkan kapasitas asimilasi, daya dukung kawasan dan pemanfaatan.

Pengelolaan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang dihasilkan dapat berkelanjutan, dilakukan analisis keberlanjutan, sesuai kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya serta kelembagaan. yang terkait dengan pengembangan kawasan konservasi.

Diagram alir kerangka pendekatan masalah dari model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi, dapat dilihat pada Gambar 1.


(27)

SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TELUK WEDA

EKOSISTEM PESISIR & PULAU-PULAU KECIL

EKOSISTEM

MANGROVE EKOSISTEM LAMUN

EKOSISTEM TERUMBU KARANG

KESESUAIAN KAWASAN KONSERVASI

KRITERIA EKOLOGI

KRITERIA EKONOMI

KRITERIA KELEMBAGAAN

DAYA DUKUNG

KAPASITAS

ASIMILASI KAWASAN PEMANFAATAN

MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS ZONASI DI TELUK WEDA

KRITERIA SOSIAL BUDAYA

ZONASI

ZONA INTI ZONA PEMANFAATAN

TERBATAS

ZONA PERIKANAN BERKELANJUTAN

KESESUAIAN PEMANFAATAN

EKOWISATA BAHARI

BUDIDAYA RUMPUT LAUT & KERAMBA JARING

APUNG

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG KEBERLANJUTAN

TCM ISM RAPFISH

Gambar 1 Kerangka pikir model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi


(28)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda melalui penetapan kawasan konservasi dengan pendekatan keterpaduan ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan kajian khusus terhadap beberapa hal dalam penelitian ini, antara lain:

1. Inventarisasi dan identifikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil (pulau-pulau kecil, mangrove, lamun dan terumbu karang).

2. Analisis penetapan zonasi pada kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil.

3. Analisis pemanfaatan kawasan konservasi untuk kegiatan ekowisata selam, ekowisata snorkeling, ekowisata pantai, ekowisata mangrove, ekowisata lamun, ekowisata pancing, keramba jaring apung dan budidaya rumput laut. 4. Analisis keberlanjutan ekominawisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Manfaat yang diharapkan pada penelitian di Teluk Weda ini :

1. Tersedianya informasi potensi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil

2. Tersedianya informasi model pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan.

3. Dapat memberikan masukan bagi pengambil keputusan di Kabupaten Halmahera Tengah dan instansi terkait.

4. Sebagai kajian ilmiah, dimana hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya dan stakeholders yang terkait dengan model pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

1.5 Kebaruan atau Novelty

Penelitian tentang kawasan konservasi pada dasarnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Ada beberapa peneliti hanya terfokus pada pulau-pulau kecil dan ada pula yang hanya pada pesisir saja. Sedangkan penetapan kawasan konservasi berdasarkan deliniasi kawasan konservasi berbasis zonasi yang terdapat di teluk yang luas yang memadukan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil belum dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Kebaruan atau novelty dari penelitian ini adalah penetapan dan pemanfaatan kawasan konservasi yang digunakan sebagai model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi di Teluk Weda.


(29)

(30)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Teluk

Teluk adalah air yang dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya atau air yang ketiga sisinya dikelilingi oleh daratan. Teluk ditemukan diantara tanjung-tanjung. Teluk dan tanjung sering ditemukan bersama pada sisi pantai yang sama, juga membentuk garis pantai yang disebut garis pantai discordant (Rini 2008).

Teluk adalah bagian perairan pedalaman (internal waters) yang ditutup oleh garis dasar penutup teluk, muara, pelabuhan dan garis-garis dasar yang menutup lekukan di pantai sampai 100 mil laut dan maksimum 125 mil laut. Dengan kata lain, perairan pedalaman adalah bagian dari laut yang berada ke arah daratan dari garis dasar kepulauan (Rais 2003).

Definisi Teluk (Bay) berdasarkan UNCLOS 1982 adalah lekukan ke arah darat, di mana garis penutup teluk mencakup air dalam teluk yang sama atau lebih luas dari laut yang dicakup oleh radius penutup teluk sama. Sebaliknya jika cakupan oleh radius penutup teluk lebih luas daripada air dalam teluk maka tidak diberlakukan sebagai teluk, walaupun mungkin sehari-hari orang menyebutnya

“teluk” (Rais 2003).

Untuk penerapan UU No. 22 Tahun 1999 disepakati bahwa jika panjang garis penutup teluk maksimum 12 mil, maka teluk dapat ditutup dengan garis dasar. Dengan kata lain, jika garis penutup teluk lebih panjang dari 12 mil, maka garis penutup teluk tidak dapat dipakai sebagai garis dasar untuk menentukan batas wilayah laut. Ketentuan UNCLOS untuk garis dasar negara kepulauan dibolehkan menarik garis penutup teluk maksimum 24 mil laut. (UNCLOS 1982 Article 10)

Misalnya garis penutup teluk tidak memenuhi syarat sebagai garis dasar untuk menentukan batas, karena lebih panjang dari 12 mil, maka dicari semua alternatif, di mana garis dasar tersebut maksimum 12 mil laut. Jika, misalnya, garis penutup melebihi 12 mil, seperti garis 1 dalam kasus ini, maka harus dicari alternatif lain untuk garis penutup teluk sebagai garis dasar, misalnya garis 2. Kalau inipun tidak memenuhi syarat, maka alternatif garis 3 yang dipilih, dan seterusnya, sampai memperoleh garis penutup teluk < 12 mil.

2.2 Ekosistem Estuaria

Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang di bawa oleh air tawar dan air laut (Bengen 2002).

Daerah estuaria adalah daerah peralihan antara laut dan sungai dengan salinitas yang lebih rendah dari laut dan sedikit lebih tinggi dari perairan tawar. Pada zona peralihan inilah terjadi percampuran antara air laut dan air sungai. Pola percampuran ini sangat dipengaruhi oleh topografi dari pantai itu sendiri dan sudah barang tentu pola percampurannya memberikan stratifikasi yang berbeda pula terhadap estuaria itu sendiri. Bentukan estuaria itu sendiri dapat terjadi dalam dua pola bentukan. Bentukan yang pertama adalah bentukan asli yang merupakan bentukan dari pola topografi yang secara alami terjadi pertemuan


(31)

antara air laut dan air tawar. Namun pola bentukan ini amat sangat umum bahkan menyatukan pengkategorian estuaria pada daerah pertemuan antara laut dan sungai serta daerah tanpa adanya aliran sungai namun terdapat sumbar air tawar seperti pada daerah-daerah basah (wetland) dan kawasan lainnya. Bentukan yang kedua adalah bentukan dengan model sirkulasi air laut dan air sungai. Bentukan ini sangat di berkaitan dengan pola pasang surut, arus air sungai dan arus pantai, topografi dan kedalaman dari perairan itu sendiri.

Ekosistem estuaria merupakan ekosistem yang kaya dan komplit unsur hara dengan berbagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang didalamnya. Pada ekosistem ini biota yang hidup mempunyai toleransi yang tinggi untuk dapat bertahan hidup, karena merupakan daerah peralihan antara sungai dan laut.

Tingginya tingkat pemanfaatan di daerah estuaria menimbulkan berbagai dampak lingkungan seperti hilangnya sumberdaya estuaria. Pengembangan sumberdaya estuaria yang dilakukan secara tidak terencana telah mengakibatkan berbagai dampak baik yang berlangsung dalam waktu yang singkat maupun dalam jangka lama seperti kerugian ekonomi (opportunity cost) (Dahuri et al. 2001).

Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif yang setaraf dengan hutan hujan tropik dan terumbu karang (Bengen 2002), karena : 1. Estuaria berperan sebagai jebak zat hara yang cepat didaur ulang.

2. Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton) maupun tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun.

3. Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang surut, sehingga antara lain memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang diperlukan berbagai organisme estuaria.

Fungsi ekologis estuaria secara umum mempunyai peran penting sebagai berikut : 1) sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), 2) penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan, udang dll) yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground), dan 3) sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang.

Pemanfaatan estuaria secara umum oleh manusia sebagai berikut : 1) sebagai tempat pemukiman, 2) sebagai tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, 3) sebagai jalur transportasi, dan 4) sebagai pelabuhan dan kawasan industri.

Estuaria dapat dikelompokkan atas 4 (empat) tipe, berdasarkan karakteristik geomorfologinya (Bengen 2002), karena :

1. Estuaria dataran pesisir; paling umum dijumpai, yaitu pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai.

2. Laguna (Gobah) atau teluk semi tertutup; terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai, sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut.

3. Fjords; merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktifitas glasier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut.


(32)

4. Estuaria tektonik; terbentuk akibat aktifitas tektonik (gempa bumi atau letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang.

Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air terdapat 3 (tiga) tipe estuaria : 1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam, dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin. Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang dipengaruhi oleh pasang surut. 2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada estuaria ini, aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang surut. 3. Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Estuaria tipe ini

dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan tidak terdapat stratifikasi.

Karakteristik fisik adalah perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting adalah sebagai berikut :

1. Salinitas. Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pang surut. Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah. 2. Substrat. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang

berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria.

3. Sirkulasi air. Selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan masuknya air laut melalui arus pasang surut menciptakan suatu gerakan dan transpor air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air.

4. Pasang surut. Arus pasang surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton. Disamping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria.

5. Penyimpanan zat hara. Peranan estuaria sebagai penyimpanan zat hara sangat besar. Pohon mangrove dan lamun serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani.

Keistimewaan lingkungan perairan estuaria lainnya adalah sebagai penyaring dari berjuta bahan buangan cair yang bersumber dari daratan. Sebagai kawasan yang sangat dekat dengan daerah hunian penduduk, daerah estuaria umumnya dijadikan daerah buangan bagi limbah-limbah cair. Limbah cair ini mengandung banyak unsur diantaranya nutrien dan bahan-bahan kimia lainnya. Dalam kisaran yang dapat ditolelir, kawasan estuaria umumnya bertindak sebagai penyaring dari limbah cair ini, mengendapkan partikel-partikel beracun dan menyisakan badan air yang lebih bersih. Inipun dengan kondisi dimana terjadi suplai yang terus-menerus dari air sungai dan laut yang cenderung lebih bersih


(33)

dan menetralkan sebagaian besar bahan polutan yang masuk ke daerah estuaria tersebut.

Disamping itu semua, hal yang sangat berhubungan dengan masyarakat dan kegiatan ekonomi masyarakat, lingkungan kawasan perairan estuaria kebanyakan dijadikan sebagai lahan budidaya bagi ratusan jenis ikan, bivalva (oyster dan clam), krustasea (kepiting) dan invertebrata lainnya.

2.3 Ekosistem Pulau-Pulau Kecil

Hampir 70% area daratan bumi ini terdiri atas pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil ini tergolong unik ditinjau dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya dan daya dukung lingkungannya (Beller 1990 in Bengen 2004).

Status Indonesia sebagai Negara kepulauan yang secara nasional telah ditetapkan sejak deklarasi Juanda pada tahun 1957, selanjutnya dikukuhkan dengan Undang-Undang No.4/PrP/1960 yang kemudian telah diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.6 tahun 1996, tentang perairan Indonesia, kini telah diperkuat secara internasional dengan berlakunyya Konvensi Hukum Laut tahun 1982.

Definisi pulau yang digunakan sebagaimana yang dituangkan dalam (UNCLOS 1982 Bab VIII Pasal 121 Ayat 1) yaitu pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi (IHO 1993).

Pemahaman tentang definisi pulau kecil terdapat beragam batasan yang dikemukakan. Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 tahun 2000 (DKP 2001), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama 200.000 orang. Batasan yang sama juga digunakan oleh Hess (1990), namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama 500.000 orang.

Berdasarkan batasan pulau kecil yang dikemukakan pada pertemuan CSC, 1984 yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2. Namun banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai luas area kurang dari 2.000 km2 dan lebarnya kurang dari 3 km, sehingga pulau-pulau ini diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil (UNESCO 1991). Hasil pertemuan Internasional Hydrological Programme IHP-III UNESCO yaitu berdasarkan kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Diaz and Huertas 1986).

Bila batasan pulau kecil didasarkan pada pemanfaatan sosial-ekonomi dan demografi, maka pemanfaatan pulau kecil dengn ukuran kurang atau sama dengan 2.000 km2 hendaknya berbasis konservasi. Dengan demikian maka seharusnya hanya sekitar 50% dari luas area pulau kecil dimaksud dapat dimanfaatkan bagi berbagai peruntukan sosial-ekonomi dan demografi. Apabila mengacu pada batasan pulau kecil yang ditetapkan oleh DKP (2001) dan pemanfaatan yang berbasis konservasi, maka pulau kecil dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 hendaknya penduduknya berjumlah kurang dari atau sama dengan 20.000 orang.


(34)

Pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol dengan ciri-ciri sebagai berikut (Dahl 1998; Bengen 2002) :

 Berukuran kecil dan terpisah dari pulau induk/pulau besar (mainland island), sehingga bersifat insular.

 Memiliki sumberdaya alam, terutama sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan masuk ke laut.

 Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran.

 Memiliki keanekaragaman hayati teresterial rendah, namun memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi.

 Keanekaragaman hayati laut tinggi, dengan laju pergantian jumlah jenis tinggi akibat perubahan lingkungan.

 Variasi iklim kecil, tapi potensial terjadi perubahan cepat.

 Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar).

 Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Pulau dapat dikelompokkan atas 2 (dua) kelompok, yaitu : pulau oseanik dan pulau kontinental (sering disebut juga sebagai pulau besar). Selanjutnya pulau oseanik dapat dibagi atas 2 (dua) kategori, yaitu pulau vulkanik dan pulau koral/karang (Dahl 1998; Salm et al, 2000). Sebagian besar pulau kecil adalah pulau oseanik, yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan pulau kontinental, terlebih dengan benua, baik dilihat dari ukurannya maupun stabilitas dan penggunaannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihatnya pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik pulau oseanik, kontinental dan benua

Pulau Oseanik Pulau Kontinental Benua

Karakteristik Geografis

 Jauh dari benua

 Dikelilingi oleh laut luas

 Area daratan kecil

 Suhu udara stabil

 Iklim sering berbeda dengan pulau kontinental terdekat

 Dekat dari benua

 Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit

 Suhu agak bervariasi

 Iklim mirip benua terdekat

Area daratan sangat besar

Suhu udara bervariasi

Iklim musiman

Karakteristik Geologi

 Umumnya karang atau vulkanik

 Sedikit mineral penting

 Tanahnya porous/ permeable

 Sedimen atau metamorphosis

 Beberapa mineral penting

 Beragam tanahnya

 Sedimen atau metamorphosis

 Beberapa mineral penting

 Beragam tanahnya

Karakteristik Biologi

 Keanekaragaman hayati rendah

 Pergantian spesies cukup tinggi

 Tingginya pemijahan masal hewan laut bertulang belakang

 Keanekaragaman hayati sedang

 Pergantian spesies agak rendah

 Seringnya pemijahan masal hewan laut bertulang belakang

 Keanekaragaman hayati tinggi

 Pergantian spesies biasanya rendah

 Sedikit pemijahan masal hewan laut bertulang belakang

Karakteristik Ekonomi

 Sedikit sumberdaya daratan

 Sumberdaya laut lebih penting

 Jauh dari pasar

 Sumberdaya daratan agak luas

 Sumberdaya laut lebih penting

 Lebih dekat pasar

 Sumberdaya daratan luas

 Sumberdaya laut sering tidak penting

 Pasar relatif mudah


(35)

Pulau atau kepulauan yang terdapat di dunia dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, dengan asal pembentukannya berdasarkan proses geologi. Tipe-tipe utama dan asal pembentukan dari pulau disajikan sebagai berikut :

Pulau kontinental (Continental Island) terbentuk sebagai bagian dari benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Karena batuan di pulau kontinental berasal dari benua, maka tipe batuannya beragam dari umur yang berbeda dengan struktur yang kompleks. Karena itu pulau kontinental memiliki beragam jenis tanah dan kaya akan mineral (Dahl 1998). Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama.

Pulau Vulkanik (Vulcanic Island) sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah).

Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island) adalah pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerkan ke bawah (subsidence) dari dasar laut akibat proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan air laut, karang akan mati dan menyisakan terumbu. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul.

Pulau Daratan Rendah (Low Island) adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pada umumnya pulau-pulau daratan rendah tergolong ke dalam pulau-pulau kecil, dimana pulau ini biasa berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini merupakan pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti taufan dan tsunami. Karena pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau.

Pulau Atol (Atolls) adalah pulau karang yang berbentuk cincin, dan umumnya tergolong ke dalam pulau-pulau kecil. Pada dasarnya pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang pada awalnya membentuk karang tepi (fringing reef), kemudian berkembang menjadi karang penghalang (barrier reef) dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidance) dari pulau vulkanik semula, dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang (Stoddart 1975).

Berdasarkan morfogenesa dan potensi sumberdaya air, pulau-pulau kecil dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok pulau daratan dan kelompok pulau berbukit (Hehanussa 1988; Hehanussa dan Haryani 1998; Hehanussa dan Bakti 2005). Pulau dataran secara topografi terdiri dari 3 (tiga) kelompok : pulau alluvium, pulau karang/coral dan pulau atol, tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Jenis batuan geologis pulau dataran umumnya berumur muda berupa endapan klastik jenis fluviatil dengan dasar terdiri dari lapisan endapan masif atau pecahan karang/coral. Pulau berbukit terdiri dari 5 (lima) kelompok : pulau vulkanik, tektonik, teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran, umumnya memperlihatkan morfologi


(36)

dengan lereng yang lebih besar dari 10o dan elevasi lebih besar dari 100 m di atas permukaan laut.

2.4 Ekosistem Mangrove

Kawasan hutan mangrove adalah salah satu kawasan pantai yang sangat unik, karena keberadaan ekosistem ini pada daerah muara sungai atau pada kawasan estuaria. Mangrove hanya menyebar pada kawasan tropis sampai subtropis dengan kekhasan tumbuhan dan hewan yang hidup di sana. Keunikan ini tidak terdapat pada kawasan lain, karena sebagian besar tumbuhan dan hewan yang hidup dan berasosiasi di sana adalah tumbuhan khas perairan estuaria yang mampu beradaptasi pada kisaran salinitas yang cukup luas.

Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan lautan. Mangrove umumnya tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai yang datar. Biasanya pada daerah yang mempunyai muara sungai besar dan delta dengan aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir. Sebaliknya mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan bergelombang besar dengan arus pasang surut yang kuat karena pada daerah tersebut tidak memungkinkan adanya endapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya.

Luas ekosistem hutan mangrove di dunia diperkirakan saat ini kurang lebih 15,9 juta hektar, dan diperkirakan 27% dari luas tersebut atau sekitar 4,29 juta hektar terdapat di kawasan pesisir Indonesia. Keberadaan hutan mangrove ini sangat penting sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara rasional.

Setiap tipe vegetasi mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya antara lain kondisi tanah, topografi, iklim, pasang surut dan salinitas air. Sehingga setiap daerah vegetasi mangrove umumnya membentuk suatu karakteristik yang berbeda-beda pada setiap habitatnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove antara lain: 1) tanah dan struktur topografi, 2) iklim, 3) sedimentasi, 4) pasang surut dan 5) salinitas.

Sebenarnya masih banyak faktor-faktor lain yang perlu dikaji lebih lanjut berkaitan dengan keberadaan mangrove, termasuk ulah manusia yang kadang bahkan sering menyebabkan terganggunya kestabilan ekosistem mangrove. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih mendalam lagi di kemudian hari.

Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu, juga meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan.

Dampak utama yang ditimbulkan akibat berbagai kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove disajikan pada Tabel 2.


(37)

Tabel 2 Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove

Kegiatan Dampak Potensial

 Tebang habis  Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai komersialnya rendah dan hutan mangrove yang ditebang habis ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang komersial penting

 Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi

 Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan

 Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran air tawar berkurang

 Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan

 Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan pertanian, perikanan, lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang

 Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh susbtrat hutan mangrove

 Pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove

 Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut

 Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove

Kegiatan Dampak Potensial

 Pembuangan sampah cair (sewage)

 Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahkan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hydrogen sulfida (H2S) dan amonia (NH3) yang keduanya

merupakan racun bagi organisme hewan dalam air. Bau H2S seperti telur

busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik.

 Pembuangan sampah padat

 Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.

 Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.

 Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar

 Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak.

 Penambangan dan ekstraksi mineral

 Kerusakan total ekosistem hutan mangrove di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mangakibatkan : musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang komersial penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut.

 Di daratan sekitar hutan mangrove

 Pengendapan sedimen yang berlebihan yang dapat mengakibatkan : terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove.


(38)

2.5 Ekosistem Lamun

Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Dalam bahasa Inggris disebut seagrass. Istilah seagrass hendaknya jangan dikelirukan dengan seaweed yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai rumput laut yang sebenarnya merupakan tumbuhan tingkat rendah dan dikenal juga sebagai alga laut.

Padang lamun adalah ekosistem perairan dangkal yang didominasi oleh lamun. Pada ekosistem ini banyak ragam biota yang hidup berasosiasi dengan lamun. Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut :

1. Produsen detritus dan zat hara.

2. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan slaing menyilang.

3. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini.

4. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.

Selain fungsi peting di atas, padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai : 1. Tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram. 2. Tempat rekreasi atau pariwisata.

3. Sumber pupuk hijau.

Lamun mempunyai peran penting ditinjau dari beberapa aspek :

1. Keanekaragaman hayati : padang lamun memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Indonesia diperkirakan memiliki 13 jenis lamun. Selain itu padang lamun juga merupakan habitat penting untuk berbagai jenis hewan laut, seperti : ikan, moluska, krustacea, ekinodermata, penyu, dugong, dll.

2. Kualitas air : padang lamun dapat membantu mempertahankan kualitas air.

3. Perlindungan: padang lamun dapat mengurangi dampak gelombang pada pantai sehingga dapat membantu menstabilkan garis pantai.

4. Ekonomi: padang lamun menyediakan berbagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk menyokong kehidupan masyarakat, seperti untuk makanan, perikanan, bahan baku obat, dan pariwisata.

Ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Dampak utama yang ditimbulkan akibat berbagai kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun disajikan pada Tabel 3.

2.6 Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem paling depan yang berhadapan dengan laut adalah terumbu karang. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat (Bengen 2002).


(39)

Tabel 3 Beberapa dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun

Kegiatan Dampak Potensial

Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri, dan saluran navigasi

 Perusakan total padang lamun

 Perusakan habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan

 Dampak sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air, dan terlapisnya insang hewan ikan Pencemaran limbah industri

terutama logam berat, dan senyawa organoklorin

 Terjadinya akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification

Pembuangan sampah organik cair (sewage)

 Penurunan kandungan oksigen terlarut

 Dapat terjadi eutrofikasi yang mengakibatkan blooming

perifiton yang menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yang dapat menghalangi cahaya matahari

Pencemaran oleh limbah pertanian

 Pencemaran pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun

 Pencemaran pupuk dapat mengakibatkan eutrofikasi

Pencemaran minyak  Lapisan minyak pada daun lamun dapat menghalangi

proses fotosintesa

Sumber : Bengen 2002

Secara umum terumbu karang terdiri atas 3 (tiga) tipe yaitu terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan.

Perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah sebagai berikut : 1) Suhu air > 18oC, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 36-40oC; 2) Kedalaman perairan < 50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 m atau kurang; 3) Salinitas air yang konstan berkisar antara 30-36o/oo; dan 4) Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen.

Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota dengan komposisi sebagai berikut : 1) Beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang), terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, ekinodermata; 2) Beranekaragam ikan, 50-70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; 3) Reptil, umumnya ular laut dan penyu; dan 4) Ganggang dan rumput laut, algae koralin, algae hijau berkapur dan lamun.

Peran terumbu karang khususnya terumbu karang tepi dan penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya.


(40)

Terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain : 1) Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias; 2) Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur; 3) Bahan perhiasan; dan 4) Bahan baku farmasi.

Kegiatan manusia dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang memberikan dampak yang besar terhadap kerusakan terumbu karang (Berwick 1983 in Dahuri et al. 2001; Dutton et al. 2001 in Bengen 2002). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang

Kegiatan Dampak Potensial

 Penambangan karang

dengan atau tanpa bahan peledak

Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu

 Pembuangan limbah

panas

Meningkatnya suhu air 5-10oC di atas suhu ambient, dapat mematikan karang dan biota lainnya

 Pengundulan hutan di lahan atas

Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan

kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip

 Pengerukan di sekitar terumbu karang

Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu

pertumbuhan karang

 Kepariwisataan Peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dari

pembangkit listrik perhotelan

Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan

eutrofikasi

Kerusakan fisik karang oleh jangkar kapal

Rusaknya karang oleh penyelam

Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun

 Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida)

Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan biota avertebrata

 Penangkapan ikan dengan bahan peledak

Mematikan ikan tanpa diskriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang (anemon)

Sumber : Berwick 1983 in Dahuri et al. 2001; Dutton et al. 2001 in Bengen 2002 2.7 Penataan Ruang (Zonasi)

Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.

Zonasi adalah suatu sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan kepada penggunaan yang spesifik; pembagian suatu wilayah khusus ke dalam beberapa kawasan (zona) dimana tiap zona direncanakan untuk suatu penggunaan atau kumpulan penggunaan khusus (Clark 1977). Penataan ruang (zonasi) merupakan suatu proses pengaturan yang membagi suatu wilayah secara geografis ke dalam subwilayah, dimana setiap subwilayah dirancang untuk suatu penggunaan khusus.


(41)

Kay and Alder (2005) zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Aspek yang harus dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir pulau-pulau kecil, yaitu aspek ekologi (biofisik), sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur/mengelola jenis-jenis kegiatan manusia di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan.

Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta perubahannya (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009) dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 serta Permen KKP Nomor 02 Tahun 2009, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.

Terkait dengan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan : konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; pertanian organik, dan/atau; peternakan.


(42)

Penetapan KKP merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat konservasi kawasan dan jenis ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2010 tercatat 13,9 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia.

Salm and Clark (1982), pemilihan Marine Protected Area bergantung pada tujuan pembentukannya yaitu: (1) tujuan sosial, pengembangannya untuk rekreasi, pendidikan dan penelitian serta peninggalan sejarah dan situs budaya, kriterianya ditekankan pada faktor keselamatan; (2) tujuan ekonomi, perhatian utama pada perlindungan wilayah pesisir, pemeliharaan perikanan atau pengembangan wisata dan industri yang sesuai, kriteria ditekankan pada intensitas eksploitasi sumberdaya, memiliki potensi nilai ekonomi dari sumberdaya serta tingkat ancaman terhadap sumberdaya yang ada; dan (3) tujuan ekologi, seperti pemeliharaan keragaman genetik, proses ekologis, pemulihan kembali species, kriteria ditekankan pada keunikan, keragaman dan sifat alamiah lokasi.

Salm (2000), bahwa daerah perlindungan laut dapat membantu mewujudkan tiga tujuan utama dari konservasi sumberdaya alam (IUCN, 1980) yaitu : (1) mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung kehidupan; (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan; (3) Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan dapat berperan dalam mempertahankan biodiversitas, genetik diversitas, ekosistem dan proses ekologi, menjamin pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan; melindungi spesies ekonomis; mengembalikan stok yang hilang; pendidikan dan penelitian; memberikan perlindungan dari bencana alam; menjadi tujuan rekreasi dan pariwisata; dan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi.

Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan pada sistem zonasi yang ada di dalamnya meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Pada zona inti, umumnya diberlakukan no-take zone atau penutupan area dari berbagai macam kegiatan eksploitasi. Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP dengan suatu kawasan no-take zone yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan peningkatan biomass ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami. Misalnya KKP di St. Lucia yang terdiri dari 5 KKP yang berukuran kecil, diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40-90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an (Robert and Hawkins 2000 in Wiadnya et al. 2005).

Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona, yaitu :

1. Zona inti atau perlindungan.

Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit


(43)

aktifitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak dapat diizinkan adanya aktifitas eksploitasi.

2. Zona penyangga.

Zona ini bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol, dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diizinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang dapat diganggu, dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal.

3. Zona pemanfaatan.

Lokasi di zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu, tapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diizinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penzonasian tersebut di atas ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi, sebagaimana sasaran kawasan konservasi di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

2.8 Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan system zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Konservasi Sumberdaya Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Kawasan konservasi maritim adalah daerah perlindungan adat dan budaya maritim yang mempunyai nilai arkeologi historis khusus, situs sejarah kemaritiman dan tempat ritual keagamaan atau adat dan sifatnya sejalan dengan upaya konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu hidup. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati secara komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati, perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung diantara komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu system.


(44)

Diantara ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang berada dalam kondisi kritis adalah estuaria, mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Ekosistem dan sumberdaya tersebut berperan penting sebagai penyedia makanan, tempat perlindungan dan tempat berkembangbiak berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota lainnya.

Salah satu upaya perlindungan yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan suatu kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses ekologi.

Kawasan konservasi yang didefinisikan sebagai suatu kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang mencakup daerah intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, dengan beragam flora dan fauna yang berasosiasi didalamnya yang memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya.

Kawasan konservasi di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy 1997; Barr et al. 1997) :

a. Melindungi keanekaragaman hayati serta sturktur, fungsi dan integritas ekosistem.

Kawasan konservasi dapat berkontribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkat tropik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologi dalam suatu ekosistem. b. Meningkatkan hasil perikanan.

Kawasan koservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata.

Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat berjangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di daerah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem.

Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktifitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut.

e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Sasaran utama penetapan kawasan konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil adalah untuk mengkonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dantetap


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

235

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon, pada tanggal 1 Maret 1964 sebagai putri pertama dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Djamhur Munaf (Alm) dan Ibunda Nursyamsu Sutan Paduko. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai Dosen Yayasan tahun 1995 sampai 2001 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate, kemudian tahun 2001 diangkat sebagai Dosen Negeri Universitas Sam Ratulangi Manado dipekerjakan pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate. Penulis beralih status sebagai Dosen Negeri pada Universitas Khairun setelah dinegerikan tahun 2003.

Pada penulisan tugas akhir doktoral, penulis menyusun disertasi yang

berjudul “Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau