ekosistem dalam bentuk pengalaman spiritual non-materi, religius, inspiratif dan pendidikan. Gee and Burkhard 2010 membedakan antara manfaat dan sesuatu
yang memiliki nilai bagi manusia. Manusia memiliki moral, spiritual, pendidikan, estetika, rasa memiliki tempat, dan nilai-nilai lainnya terhadap lingkungan yang
semuanya dapat mempengaruhi sikap dan tindakan manusia terhadap ekosistem dan jasa yang berikan MEA 2003. Nilai-nilai ini mencerminkan emosi,
pandangan efektif, dan simbolis ang melekat pada alam yang dalam banyak kasus tidak dapat secara memadai ditangkap oleh metafora komoditas atau
metrik moneter Chiesura 2004. Nilai-nilai sosial dan budaya yang paling langsung berhubungan dengan kategori jasa ekosistem adalah budaya, dan
mungkin termasuk nilai tempat, rasa masyarakat dan identitas, kesehatan fisik
dan mental, kohesi sosial, dan nilai-nilai pendidikan Chan et al. 2012.
Berangkat dari keterkaitan kondisi sosial dan ekologi yang ada semakin menjelaskan pulau-pulau kecil yang terdiri dari banyak sub-sistem seperti
ekonomi, masyarakat, demografi, budaya, lingkungan, dan ekologi. Sub-sistem yang ada saling interaktif dan saling tergantung. Interaksi sub-sistem menurut
Bass and Dalal-Clayton 1995 mendefinisikan perilaku dan keberlanjutan dari sebuah pulau dalam menghadapi pengaruh eksternal dan penyesuaian internal.
Sebuah keseimbangan yang berkelanjutan dicapai ketika setiap sub-sistem mampu menerima pengaruh yang ada acceptably, berpengaruh terhadap
peningkatan pendapatan, kesehatan, budaya, otonomi pulau, keanekaragaman hayati dan pendukung kehidupan ekologi. Namun jika terjadi tekanan dari luar
terhadap ekosistem, ekonomi, atau masyarakat, yang melebihi suplai pulau akan menyebabkan sub sistem akan terganggu. Keseimbangan antara sub-sistem
yang terganggu akan mempengaruhi pembangunan berkelanjutan dan dapat
menyebabkan kerusakan ekosistem pulau.
Potensi kerusakan akibat tekanan terhadap ekosistem yang melebihi suplai pulau akan berakibat pada terganggunya penyediaan barang dan jasa oleh
ekosistem. Potensi kerusakan tertinggi dapat dilihat pada nilai status ketersediaan budget jasa ekosistem dalam natural capital asset berupa tipe
tutupan tegalan, pemukiman, tanah terbuka dan vegetasi di Pulau Pagerungan Besar, Pulau Pagerungan Kecil dan Pulau Sapeken Tabel 27, Tabel 28 dan
Tabel 31. Tingginya potensi kerusakan di tiga pulau tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor populasi penduduk yang tinggi.
Potensi kerusakan di Pulau Sapeken banyak dipengaruhi oleh tingginya populasi penduduk. Populasi penduduk di wilayah gugus Pulau Sapeken
berdasarkan data yang diperoleh, berjumlah 43.782 jiwa tersebar di sembilan desa Tabel 34. Jumlah penduduk terbesar terkonsentrasi di Pulau Sapeken,
Pagerungan Besar dan Pagerungan Kecil. Terkonsentrasinya penduduk di tiga pulau kecil tersebut dipengaruhi keberadaan aktifitas yang ada didalamnya.
Pulau Sapeken merupakan sentra dari kegiatan perekonomian dan pemerintahan bagi wilayah pulau kecil sekitarnya. Masyarakat pulau disekitar Pulau Sapeken
banyak mendapatkan barang kebutuhan sehari hari dari pasar yang ada di Pulau Sapeken. Terkonsentrasi aktifitas perekonomian dan pemerintahan menjadikan
wilayah ini menjadi aglomerasi sejumlah kegiatan pendukung. Dibandingkan pulau
–pulau kecil disekitarnya, Pulau Sapeken memiliki kelengkapan sarana prasarana berupa sarana komunikasi, listrik, pendidikan dan kesehatan yang
lebih memadai. Kondisi inilah yang menjadikan Pulau Sapeken memiliki jumlah
penduduk terbesar.
Tabel 34 Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata penduduk per rumah
tangga
No Desa
Rumah Tangga Penduduk
Rata-rata
1 Sabunten
968 3,113
3.22 2
Paliat 691
2,305 3.34
3 Sapeken
4,050 14,055
3.47 4
Sasiil 1,016
3,303 3.25
5 Sepanjang
1,470 4,940
3.36 6
Tanjungkiaok 882
2,985 3.38
7 Pagerungan Kecil
1,509 5,500
3.64 8
Pagerungan Besar 1,625
5,628 3.46
9 Sakala
588 1,953
3.32 Jumlah
12,799 43,782
30.45 Sumber : Kecamatan Sapeken Dalam Angka 2010
Tingginya populasi di Pulau Sapeken berimplikasi terhadap peningkatan konsumsi rumah tangga. Implikasi tersebut menurut Mimura 2007 akan meluas
kemasalah permintaan lahan, pengelolaan air, pengelolaan limbah dan polusi. Kondisi tersebut jelas akan mengancam terhadap kondisi natural capital asset
terumbu karang, tegalan, pemukiman, tanah terbuka, vegetasi dan laut sekaligus keberlanjutan jasa ekosistem ecosystem service di Pulau Sapeken
Tabel 31. Jasa ekosistem yang mengalami gangguan di Pulau Sapeken rmeliputi jasa ekosistem sebagai nilai budaya, ekonomi, penyedia jasa
keberlanjutan hidup, jasa pembelajaran dan rekreasi. Gangguan penyediaan sejumlah jasa ekosistem menjadikan masyarakat yang tinggal di Pulau Sapeken
untuk memiliki lingkungan yang tidak nyaman.
Pulau Pagerungan Besar dan Pulau Pagerungan Kecil mengalami permasalahan yang sama dengan Pulau Sapeken berupa tingginya populasi
penduduk. Berbeda dengan Pulau Sapeken, tingginya populasi penduduk disebabkan oleh adanya kegiatan penambangan yang dilakukan Kangean
Energy Indonesia KEI sebagai salah satu perusahaan minyak dan gas bumi yang memiliki wilayah kuasa pertambangan di Pulau Pagerungan Besar.
Kontribusi keberadaan KEI di wilayah tersebut dapat dilihat dengan adanya adanya sejumlah fasilitas umum yang ada berupa : pelabuhan rakyat,
penyediaan listrik, sarana kesehatan, jalan dan sekolah yang pengoperasian dibantu melalui program CSR corporate social response. Keberadaan fasilitas
tersebut menjadi salah satu hal yang menarik bagi masyarakat untuk bermukim
di Pulau Pagerungan Besar dan Pulau Pagerungan.
Populasi penduduk yang besar pada kedua pulau kecil tersebut berpengaruh terhadap meningkatnya pemenuhan kebutuhan hidup. Tekanan
tersebut berpengaruh terhadap keberlangsungan jasa ekosistem yang ada. Pengaruh dari tersebut dapat terlihat dari keberadaan beberapa natural capital
asset pemukiman, tegalan, dan vegetasi dalam menyediakan sejumlah jasa ekosistem estetika, budaya, mediapembelajaran dan spiritual yang berada
dibawah kondisi keseimbangan Tabel 27 dan 28. Status ketersediaan jasa ekosistem di Pulau Pagerungan Besar dan Pagerungan Kecil yang dipengaruhi
oleh populasi penduduk ini menunjukkan adanya keterkaitan antara jasa ekosistem dan kondisi sosial. Sistem sosial dan ekologi terkait erat, dimana
sistem sosial dapat berpengaruh terhadap sistem ekologi khususnya terhadap penyediaan barang dan jasa ekosistem. Lebih lanjut Berkes et al. 2000
menjelaskan keterkaitan antara sistem sosial dan sistem ekologi diperlukan untuk memastikan ekosistem dapat terus menyediakan barang dan jasa ekosistem
berupa makanan, air bersih, udara dan banyak barang-barang penting lainnya
serta jasa untuk generasi sekarang dan masa depan.
Berdasarkan penjelasan diatas, menunjukkan penduduk memiliki persepsi tinggi terhadap jasa ekosistem yang disediakan natural capital asset di wilayah
gugus Pulau Sapeken. Hal ini ditunjukkan dalam memberikan penilaian terhadap status ketersediaan jasa ekosistem di wilayah gugus Pulau Sapeken, banyak
dipengaruhi oleh kondisi sosial populasi manusia. Gugus Pulau Sapeken sebagai himpunan pulau
– pulau kecil yang saling berinteraksi, sangat rentan terhadap aktifitas pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia. Untuk menciptakan
keberlanjutan jasa ekosistem, penduduk di wilayah gugus Pulau Sapeken, harus memastikan hidup dalam batas-batas ekologis yang ada. Kontribusi jasa
ekosistem untuk kesejahteraan manusia sangat besar Costanza et al. 1997, tetapi banyak jasa ekosistem tidak dapat dinilai. Hal ini telah menyebabkan
kurangnya apresiasi terhadap peran penting jasa ekosistem dalam mempertahankan mata pencaharian dan kesejahteraan di wilayah gugus Pulau
Sapeken. Dengan demikian, keberlanjutan sistem ekologi sosial tergantung pada kesehatan dan fungsi ekosistem. Kegiatan manusia membawa pengaruh besar
pada ekosistem
yang dikenal sebagai
anthropocene dan merusak
kemampuannya dalam menyediakan jasa ekosistem Kochtcheeva and Singh 2000. Dalam skala lebih luas, aktivitas manusia mempengaruhi jasa ekosistem
dengan mengubah pola permintaan lahan, dan siklus biogeokimia hidrologi
Foley et al. 2005.
Mengacu dari kondisi tersebut, keberlanjutan di wilayah akan tercapai, jika dampak dari aktifitas penduduk, tidak melebihi suplai ekologi yang ada, termasuk
yang erjadi di luar wilayah yang dapat berdampak pada wilayah gugus Pulau Sapeken. Pada saat yang sama, aktifitas penduduk juga harus tetap dalam suatu
takaran sosialdan ekonomi tertentu untuk tetap adanya mata pencaharian guna pemenuhan kebutuhan hidup lainnya seperti pelayanan kesehatan yang
memadai, pendidikan, kesejahteraan dan semua layanan lain yang diperlukan. Lebih lanjut dijelaskan bahwasanya sistem ekologi menyediakan modal alam dan
jasa penting mendukung kehidupan, yang membentuk dasar untuk pembangunan berkelanjutan ekonomi dan masyarakat manusia Deutsch and
Folke 2003. Biosfer dan keberlanjutan sosial bergantung pada kemampuan kolektif kita untuk melindungi lingkungan dari dampak negatif dari kegiatan
ekonomi. Kesejahteraan generasi berikutnya tergantung pada persediaan aset
produktif integer yang mampu diwariskan Ruggeri 2009.
Terkait dengan perencanaan kegiatan ekowisata ecotourism di wilayah gugus Pulau Sapeken dengan melihat status ketersediaan jasa ekosistem,
sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Kondisi beberapa natural capital asset yang ada masih mampu menyediakan sejumlah jasa ekosistem yang dapat
dijadikan sebagai daya tarik ekowisata. Meskipun ekowisata merupakan bentuk wisata yang sangat tergantung pada kualitas lingkungan, ekowisata juga
memberikan dampak terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi yang kompleks. Hal juga tersebut menjelaskan perencanaan kegiatan ekowisata
ecotourism di wilayah gugus Pulau Sapeken memerlukan pengelolaan dan kontrol seperti aktivitas eksploitasi sumber daya lainnya. Upaya ini diperlukan
mengingat jumlah sumber daya yang dieksploitasi adalah parameter penting ekowisata yang harus memenuhi untuk mempertahankan kualitas ekologi dan
integritas sumber daya, sehingga tetap menarik untuk wisatawan serta penduduk islander. Lebih lanjut untuk mempertahankan kualitas pengalaman rekreasi
yang tidak hanya didasarkan pada kualitas ekologi, interaksi wisatawan
kelompok pengguna dan penduduk harus tetap juga dijaga Mihalic 2000.
Upaya untuk mewujudkan hal tersebut dalam perencanaan ekowisata di wilayah gugus Pulau Sapeken, diperlukan pengelolaan adaptif dalam berbasis
sistem ekologi sosial. Penerapan perencanaan ekowisata berbasis sistem ekologi sosial menurut Gunderson and Holling 2002. bertujuan untuk
menciptakan ketahanan dan suplai adaptif melalui pembelajaran dan memberikan pengalaman baru terhadap pengguna sumberdaya cara terbaik
untuk menggunakan dan mengelola sumber daya. 3.4
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan,
kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Kondisi sistem ekologi sosial gugus Pulau Sapeken melalui status ketersediaan budget jasa ekosistem menunjukkan hasil yang berbeda pada
Suplai jasa ekosistem dan permintaan demand jasa ekosistem. Status ketersediaan budget jasa ekosistem tertinggi terdapat pada Pulau
Sepanjang dan Pulau Paliat dan terendah terdapat di Pulau Sapeken. Semaikin tinggi nilai status ketersediaan budget jasa ekosistem
menunjukkan natural capital asset berupa tipe tutupan berupa terumbu karang, mangrove, tegalan, pemukiman, tanah terbuka, vegetasi dan laut
yang ada masih terpelihara dengan baik sehingga masih tetap dapat menyediakan jasa dan barang goods and service berupa estetika,
biodiversitas, budaya, ekonomi, keberlanjutan hidup, pembelajaran, rekreasi dan spiritual untuk kehidupan masyarakat yang ada pada gugus Pulau
Sapeken.
2. Status ketersediaan budget jasa ekosistem memiliki keterkaitan dengan pemanfaatan eksosistem oleh masyarakat. Hal tersebut terlihat dari
karakteristik dalam aktifitas manusia untuk mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya di tiap pulau kecil yang berbeda, disesuaikan dengan
ketersediaan budget jasa ekosistem di wilayah gugus Pulau Sapeken.
3. Terkait dengan perencanaan kegiatan ekowisata ecotourism di wilayah gugus Pulau Sapeken dengan melihat status ketersediaan budgets jasa
ekosistem, sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Kondisi beberapa natural capital asset yang ada masih mampu menyediakan sejumlah jasa
ekosistem yang dapat dijadikan sebagai daya tarik ekowisata
4 KESESUAIAN KAWASAN UNTUK PENGEMBANGAN WISATA DI GUGUS PULAU SAPEKEN
4.1 Pendahuluan 4.1.1 Latar belakang
Gugus pulau-pulau kecil archipelagos diistilahkan sebagai kumpulan dari sejumlah pulau-pulau kecil atau perairan laut yang didalamnya tersebar
pulau-pulau kecil Bardolet dan Sheldon 2008. Lebih lanjut kumpulan pulau- pulau kecil tersebut secara geografis saling berdekatan dimana ada keterkaitan
erat dan memiliki ketergantungan atau interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya baik secara individu maupun kelompok DKP 2000.
Gugus Pulau Sapeken sebagai sebuah entitas di wilayah pesisir dalam pengembangannya sering dihadapkan pada kendala ukuran fisik smallness
yang sering menjadi penghambat dalam mencapai skala ekonomi yang menguntungkan. Terkait dengan hal tersebut dalam perspektif pembangunan
pulau-pulau kecil, opsi pembangunan yang paling tepat berupa aktivitas yang hanya sedikit dampak negatifnya Bengen 2007, salah satunya adalah kegiatan
wisata. Pendapat tersebut menjadi intuisi meski ukuran kecil bisa menghambat ekonomi namun kinerja wisata telah menjadi penggerak penting untuk mengatasi
kendala tesebut Conlin dan Baum 1995; Apostolopoulos dan Gayle 2002. Wisata
sering dianggap
kesempatan untuk
mempromosikan pembangunan ekonomi dan social pada pulau-pulau kecil. Faktor-faktor biologis
seperti flora dan fauna dan estetika lanskap telah muncul sebagai aset ekosistem paling berharga dan juga menjadi sumber daya wisata paling berharga
Pavlikakis dan Tsihrintzis 2006. Pada kawasan pulau-pulau kecil dan kepulauan, ekosistem sebagai natural capital asset memiliki batas pemanfaatan
daya dukung. Untuk itu kegiatan wisata atau ekowisata yang akan diimplementasikan harus dapat berkontribusi terhadap konservasi dan
pemanfaatan sumber daya laut dan darat secara berkelanjutan White dan Rosales 2001. Pemanfaatan berkelanjutan dan batasan daya dukung ini
menunjukkan perlunya penerapan konsep sustainable development dalam perencanaan wisata pada kawasan kepulauan dan pulau-pulau kecil. Oleh
karena itu, pengembangan destinasi ekowisata memerlukan perencanaan tata
ruang untuk menghindari dampak perubahan pada lanskap, dan menjaga keamanan proses ekologi, budaya dan perseptif Yu et al. 2001.
Perencanaan tata ruang dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan sustainable
development dengan
mengkoordinasikan aspek
sosial, pembangunan ekonomi ramah lingkungan dan sekaligus melindungi lingkungan
alam dan budaya. Tantangan untuk perencanaan wisata di gugus Pulau Sapeken adalah untuk memastikan pemanfaatan sumber daya yang efisien
melalui penggunaan sumber daya yang seimbang, termasuk sumber daya alam dan sumber daya lanskap.
4.1.2 Tujuan
Penelitian bertujuan menyusun kesesuaian kawasan untuk pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken
4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Bahan
Perencanaan kawasan didasarkan atas hasil analisis kesesuaian. Data yang diutuhkan dalam analisis kesesuaian melalui penilaian kesesuaian
lingkungan untuk wisata, terdiri dari data sekunder dan data primer. Adapun pengumpulan data, jenis dan sumber data terkait dengan analisis kesesuaian
sebagai berikut : Tabel 35 Pengumpulan data, jenis data dan sumber data
No Pengumpulan data
Jenis data Sumber data
1 Data sekunder
Fisiografi Bappeda Kabupaten
Sumenep, 2010
o bentang alam, topografi dan hidrologi
Iklim
o temperatur udara, arah angin, curah
hujan, dan kelembaban BMG Tanjung
Perak, 2010
o kecepatan arus, pasang-surut,
gelombang
Pemanfaatan lahan darat Bappeda Kabupaten
Sumenep, 2010
o pemukiman, pemerintahan
Pemanfaatan lahan perairan Bappeda Kabupaten
Sumenep, 2010
o pelabuhan umum, pelabuhan
perikanan, perikanan tangkap, perikanan budidaya
Demografi Bappeda Kabupaten
Sumenep, 2010
o jumlah penduduk, kepadatan
penduduk, pertumbuhan penduduk, rasio jenis kelamin, tingkat
pendidikan dan mata pencarian
Citra Satelit Bakorsurtanal
LAPAN, 2008
o Citra Landsat 7 ETM+ P.106R.064
liputan terakhir
Peta
o Peta Rupa Bumi, Peta Topografi,
Peta Batimetri, Peta LPI, Peta Wilayah Administratif, Peta
Pemanfaatan Lahan skala peta sesuai standar yang seharusnya
Bakosurtanal, Dishidros TNI-AL,
Bappeda Kabupaten Sumenep, 2010
2. Data primer
Fisika, kimia, oseangografi Ground Check
o kecepatan arus, pasang-surut,
gelombang o
temperatur perairan, kecerahan perairan, kedalaman perairan
o material dasar perairan, salinitas
perairan, pH, phosphat, dan nitrat
Ekosistem Ground Check, FDC
– IPB, 2008
o Mangrove, terumbu karang, dan
vegetasi lainnya
4.2.2 Metode
Pelaksanaan perencanaan kawasan spatial plan didasarkan atas hasil penilaian kesesuaian kondisi lingkungan untuk kegiatan wisata. Kondisi
lingkungan yang dimaksud meliputi sejumlah parameter terkait dengan
peruntukan sejumlah jenis wisata.
Pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di pulau-pulau kecil untuk kegiatan wisata, dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan
kondisi atau karakter wilayah pulau-pulau kecil beserta keterbatasan yang melekat. Untuk mencapai hal tersebut maka dibutuhkan analisis kesesuaian
kawasan terhadap kawasan yang akan dimanfaatkan. Tahapan pelaksanaan analisis kesesuaian kawasan bagi peruntukan wisata, ditampilkan pada Gambar
12. Analisis Kesesuaian Kawasan
Analisis kesesuaian kawasan yang akan dilakukan adalah kesesuaian kawasan untuk kegiatan wisata dengan kategori aktivitas sebagai berikut :
1 wisata pantai; 2 wisata mangrove; 3. wisata selam; 4 wisata snorkeling; dan 5 wisata pancing. Semua kategori wisata ini akan memanfaatkan ekosistem dan
sumberdaya pesisir dan laut yang terkait sebagai objek.
Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu 1 penyusunan peta kawasan, 2 penyusunan matriks kesesuaian setiap
kegiatan yang akan dilakukan, 3 pembobotan dan pengharkatan, dan 4 melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan
yang akan dilakukan.
1. Penyusunan peta kawasan
Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada
jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan
dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta kawasan Pulau Sapeken dilakukan dengan meng-overlay-kan berbagai peta
yang didapat dari berbagai sumber.
Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis SIG, yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan
prinsip-prinsip pemanfaatan kawasan sehingga informasi spasialnya dapat
diketahui : ○ Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan wisata
○ Tipe wisata apa saja yang dapat dikembangkan di tiap pulau kecil dalam
gugus Pulau Sapeken.
Gambar 12 Tahapan pelaksanaan kesesuaian kawasan bagi peruntukan wisata
○ Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara lain kesesuaian kawasan
dengan peruntukannya dan penggunaan lahan dengan peruntukannya. 2. Penyusunan tabel kesesuaian
Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari dengan berbagai kategori aktivitas seperti tersebut diatas, didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk
setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Matriks kesesuaian lahan dibuat berdasarkan
justifikasi ilmiah hasil studi pustaka dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya. Matriks ini sangat penting karena dari matriks tersebut akan dapat
diketahui parameter yang digunakan dan kisaran yang diperbolehkan. Dalam penelitian ini kesesuaian lahan dibagai dalam 3 tiga kelas :
o Kelas S sesuai, yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berat
untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap
produktivitas lahan serta tidak akan menambah masukan input dari
pengusahaan lahan tersebut.
o Kelas SB sesuai bersyarat, yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang
cukup berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari akan tetapi masih memungkinkan untuk diatasidiperbaiki, artinya masih dapat
ditingkatkan menjadi sesuai jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan
dengan biaya rasional.
o Kelas TS tidak sesuai, yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang sangat
berat secara permanen untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, pembatas tersebut akan menghambat produktivitas lahan serta dapat
meningkatkan masukan input dari pengusahaan lahan tersebut, sehingga
lahan tersebut tidak layak untuk diusahakan. 3. Pembobotan weighting, dan pengharkatan scoring
Pembobotan weighting pada setiap faktor pembatasparameter ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan,
besarnya pembobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan. Pemberian nilai scoring ditujukan untuk menilai beberapa faktor
pembatasparameterkriteria terhadap satu evaluasi kesesuaian. Berikut tabel
kesesuaian untuk lima kategori aktifitas wisata yang akan dilakukan
Tabel 36 Tabel kesesuaian kawasan untuk wisata selam
No Parameter
Bobot Kelas dan Skor Kesesuaian
Acuan S
Skor SB
Skor TS
Skor 1.
Jenis ikan
karang sp 5
75 3
20 -
75 2
20 1
a 2.
Kecerahan perairan
5 80
3 50
- 80
2 50
1 a
3.
Tutupan komunitas
karang 3
65 3
25 -
65 2
25 1
a., b
Tidak ada karang
4.
Jenis life – form
sp 3
10 3
4 -
10 2
4 1
a
Tidak ada karang
5.
Suhu perairan
C 3
23 -
25 3
26 -
36 2
23 1
a,e 36
f 6.
Salinitas
00
3 30
- 36
3 28
- 30
2 28
1 a
36 g
7.
Kedalaman karang m
3 3
- 20
3 21
- 30
2 3
1 a, d
30 8.
Kecepatan arus cmdt
1 -
25 3
26 -
50 2
50 1
a
Sumber : a. Yulianda et al. 2010
d. Mulyanto 1992 g. Kinsman 2004
b. Gomes and Yap 1998 e. Tamrin 2006
c. Nybakken 1988 f.
Nontji 2007
Tabel 37 Tabel kesesuaian kawasan untuk wisata snorkeling
No Parameter
Bobot Kelas dan Skor Kesesuaian
Acuan S
Skor SB
Skor TS
Skor 1.
Tutupan karang hidup
5 67
3 34
- 67
2 34
1
a, b, c, d, e
2.
Jenis life –
form sp 5
10 3
6 -
10 2
6 1
a, d 3.
Kecerahan perairan
3 80
3 50
- 80
2 50
1
a, b,
d, e 4.
Jenis ikan karang sp
3 50
3 26
- 50
2 26
1 a, d, e
5.
Kecepatan arus mdt
3 0.1
3 0.1
- 0.5
2 0.5
1
b, c, d, e
6.
Kedalaman karang m
1 1 -
3 3
3 -
5 2
1 1
b, c, d 5
7.
Lebar hamparan
datar karang 1
100 3
20 -
100 2
20 1
b, e Sumber :
a. Davis and Tisdell 1995
b. Yulianda, et al. 2010
c. Supriharyono 2007
d. Barnes and Hughes 2004
e. Marine National Park Division 2001
Tabel 38 Tabel kesesuaian kawasan untuk wisata pancing
No Parameter
Bobot Kelas dan Skor Kesesuaian
Acuan S
Skor SB
Skor TS
Skor 1
Kelompok jenis ikan
5
ikan target,
ikan mayor, ikan indikator
3
Ikan target,
ikan indikator 2
Ikan mayor
1 a
2
Kecepatan arus cmdt
5 20
3 20
- 100 2
100 1
b 3
Tinggi gelombang
cm 5
50 3
50 - 100
2 100
1 c
4
Kecerahan perairan
m 3
8 3
8 -
10 2
10 1
d 5
Suhu perairan
C 1
25 -
30 3
30 -
32 2
25 1
e, f 32
6
Salinitas
00
1 20
- 32
3 32
- 36
2 20
1 g, h
36 7
Kedalaman perairan
m 1
10 3
10 -
15 2
15 1
c 30
8
Jarak dari
alur pelayaran
dan kawasan
lainnya m 1
500 3
300 - 500
2 300
1 i
Sumber : a.
Madduppa 2009 b.
Polanunu 1998 c.
Sugiarti 2000 d.
Yulianda et al 2010 e.
Nybakken 1988 f.
Mulyanto 1992 g.
Nontji 2007 h.
Romimohtarto and Juwana 1999 i.
Bengen 2008
Tabel 39 Tabel kesesuaian kawasan untuk wisata mangrove
No Parameter
Bobot Kelas dan Skor Kesesuaian
Acuan S
Skor SB
Skor TS
Skor 1
Ketebalan mangrove
m 5
200 3
100 - 200
2 100
1 a, b, c
2
Kerapatan mangrove
ind 100 m
2
5 10
- 25
3 5
- 10
2 5
1 d
25 3
Jenis mangrove
sp 3
3 3
1 -
3 2
1 d
4 Jenis biota
3
Ikan, udang,
Kepiting, Moluska,
Reptil, Burung 3
Ikan, Moluska 2
Salah satu
biota air 1
d 5
Tinggi pasut m
1 -
2 3
2 -
5 2
5 1
d 6
Jarak dari kawasan
lainnya m 1
500 3
300 - 500
2 300
1 e
Sumber : a.
Ayoh 2004 b.
Hutabarat et al. 2009 c.
Yaakup et al. 2006 d.
Yulianda et al. 2010 e.
Bengen 2000
Tabel 40 Tabel kesesuaian kawasan untuk wisata pantai
No Parameter
Bobot Kelas dan Skor Kesesuaian
Acuan S
Skor SB
Skor TS
Skor 1
Tipe pantai 5
agak
landai 3
sedikit terjal 2
terjal 1
a, b, 2
Lebar pantai m
5 5
3 3
- 5
2 3
1 a, b
3
Kedalaman perairan m
5 0 -
2 2
- 5
5 a, b
4
Material dasar
perairan 3
Pasir 3
Pasir
berkarang 2
Berkarang 1
a, b, 5
Kecepatan arus cmdt
3 34
34 -
51 51
a, b 6
Kemiringan pantai
3 25
3 25
- 45
2 45
1 a, b
7
Kecerahan perairan
1 50
30 -
50 30
a, b, 8
Penutupan lahan pantai
1
Kelapa, lahan
terbuka 3
Semak belukar 2
Hutan, kawasan
pemanfaatan 1
a, b 9
Biota berbahaya
1
Tidak ada
3 Bulu babi
2
Bulu babi,
ikan pari,
lepu, hiu 1
a, b, 10
Ketersediaan air
tawar
jarakkm 1
1 3
1 -
2 2
2 1
a, d, b Sumber :
a. Yulianda et al. 2010
c Supriharyono 2007
b. Daby 2003
4. Penilaian kondisi ekosistem
Terumbu karang
Pengamatan terhadap kondisi ekosistem terumbu karang didasarkan hasil ekspedisi Zooxanthella IX yang dilakukan Fisheries Diving Club FDC IPB di
Pulau Sapeken pada tahun 2006. Berdasarkan data dari kegiatan tersebut dilakukan pemantauan untuk mendapatkan kondisi terumbu karang terkini. Hasil
pemantauan selanjutnya dibandingkan dengan hasil ekspedisi Zooxanthella IX.
Lokasi pemantauan terhadap kondisi terumbu karang yang akan dilakukan
terdiri dari 13 titik disajikan pada Tabel 41. Tabel 41 Lokasi pemantauan kondisi terumbu karang di gugus Pulau Sapeken
No Pulau
Koordinat
Lintang Selatan LS Bujur Timur BT
1 Pagerungan Besar
S 06
56 5.41 E
155 55 25.5
2 Pagerungan Besar
S 06
58 07.0 E
155 55 01.7
3 Pagerungan Kecil
S 61 58 07.0
E 155
55 01.7 4
Sepanjang 1 S
07 08 07.5
E 115
44 20.6 5
Sepanjang 2 S
07 08 34.5
E 115
44 18.9 6
Sepanjang 3 S
07 09 02.9
E 115
44 10.7 7
Sapangkur S
07 02 14.9
E 115
35 41.6 8
Sapeken S
07 00 08.0
E 115
42 09.0 9
Saur S
07 02 56.2
E 115
38 48.6 10
Paliat S
06 59 52.4
E 115
41 04.6 11
Sapankur S
07 02 17.3
E 115
38 20.3 12
Sapeken S
07 00 30.6
E 115
42 56.4 13
Saur S
07 03 36.6
E 115
40 28.1
Ekosistem mangrove
Penentuan pengamatan stasiun-stasiun pengamatan didasarkan atas keterwakilan zonasi mangrove. Pengamatan ini akan menggunakan 3 stasiun
yang disesuaikan dengan zonasi mangrove di lokasi penelitian. Pada tiap stasiun
terdapat 3 petak plot pengambilan sampel. Pemilihan lokasi stasiun didasarkan atas pertimbangan Bengen, 2000 :
o Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus mewakili
wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap
zona mangrove yang terdapat di wilayah kajian.
o
Pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian.
5. Analisis spasial Analisis spasial dilakukan terhadap 5 lima jenis kesesuaian untuk wisata.
Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam
format digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian wisata. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang
susun overlay terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan union masing-masing layers untuk tiap
jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai Indeks Overlay dari masing-masing jenis kesesuaian wisata
tersebut. Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan Arch-Info GIS Version 3.4.2 dan Arc-View GIS Version 3.3. Algoritma yang digunakan untuk
penilaian nilai indeks masing-masing jenis wisata, sebagai berikut :
Wisata selam : Jns Ikrng 0.19 x skor + Kec.Per 0.19 x skor + Ttpn krng
0.12 x skor + Jns lifrm 0.12 x skor + Suhu 0.12 x skor + Sal 0.12 x skor + Ked krng 0.12 x skor + Kec Ars 0.04 x skor
Wisata snorkeling : Ttpn krng 0.24 x skor + Jns lifrm 0.24 x skor + Kcrh 0.14 x
skor + Jns Ikrng 0.14 x skor + Kec Ars 0.14 x skor + Ked krng 0.05 x skor + Lbr krng 0.05 x skor
Wisata pancing : Jns ikn 0.23 x skor + Kec Ars 0.23 x skor + Ting Gel 0.23 x
skor + Kcrh 0.14 x skor + Suhu 0.05 x skor + Sal 0.05 x skor + Ked air 0.05 x skor + Jrk kwsn lain 0.05 x skor
Wisata mangrove : Ktbl Mgrv 0.28 x skor + Krpt Mgrv 0.28 x skor + Jns Mgrv
0.17 x skor + Jns bio 0.17 x skor + Ting Pst 0.05 x skor + Jrk kwsn lain 0.05 x skor
Wisata rekreasi : Tip Pnt 0.18 x skor + Lbr Pnt 0.18 x skor + Ked air 0.18 x
skor + Mtri air 0.11 x skor + Kec Ars 0.11 x skor + Kmrng Pnt 0.11 x skor + Kcrh 0.04 x skor + Pntpn Pnt 0.04 x skor
+ Biota Bhy 0.04 x skor + Ktrs air 0.04 x skor