Analisis Marjin Tata Niaga Kelapa
3. Kawasan Batumarta I dan Batumarta II Kecamatan Lubuk Raja ini sudah terdapat infrastruktur seperti; sarana perbankan, pasar perdagangan serta
aksesibilitas, sehingga Kawasan Batumarta I dan Batumarta II mempunyai ciri-ciri kegiatan kota.
4. Identifikasi Desa-Desa Pusat Pertumbuhan DPP, Kawasan Batumarta I dan Batumarta II terpilih sebagai desa satu pusat pertumbuhan dengan desa-
desa sekitarnya sebagai wilayah hinterland. 5. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kawasan perkotaan dan
pedesaan di Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu, dengan Kawasan Batumarta I dan Batumarta II sebagai pusat pertumbuhan Kawasan Kota
Pertanian dan desa-desa sekitarnya sebagai Wilayah Pedesaan yang perlu dipacu pertumbuhan dan perkembangan wilayahnya, melalui
pengembangan prasarana dan sarana Kawasan Agropolitan. Menurut Rustiadi et al. 2006, Agropolitan adalah kawasan yang
merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian agropolis pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang
ditunjukkan oleh adanya sistem keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis, terwujud baik melalui
maupun tanpa melalui perencanaan. Agropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian.
Sesuai dengan konsep Agropolitan seperti di atas, maka Kecamatan Baturaja Timur dan Kecamatan Lubuk Raja dapat dipilih sebagai agropolis di
kawasan Agropolitan Batumarta Kabupaten OKU. Yang penting kedua kecamatan tersebut mampu melayani, mendorong, menarik, menghela
kegiatan pembangunan pertanian di kawasan sekitarnya. Dalam perkembangannya diharapkan kedua kecamatan ini dapat saling menunjang
dan melengkapi untuk mendorong wilayah kecamatan di sekitarnya. Yang perlu diperhatikan di sini adalah wilayah Kecamatan Lubuk Raja yang
potensial sebagai kawasan budidaya diharapkan segera melengkapi fasilitas- fasilitas yang menunjang sistem agribisnis dan permukimannya, sehingga
dapat meningkatkan produksi dan kesejahteraan masyarakatnya.
Pembangunan infrastruktur agropolitan timbul karena tingginya migrasi desa kota akibat dari kurangnya kesempatan kerja dan kenyamanan
di wilayah perdesaaan. Konsep agropolitan adalah manifestasi dari Teori Pusat Pertumbuhan namun berbeda dalam perspektif. Teori Pusat
Pertumbuhan mengutamakan pembangunan infrastruktur di wilayah perkotaan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan efek
penetesan ke wilayah perdesaan. Pembangunan infrastruktur agropolitan di wilayah perdesaan mendukung sektor pertanian sebagai sektor ekonomi
utama di perdesaan. Pengembangan infrastruktur dalam pengembangan agropolitan meliputi: 1 pengembangan infrastruktur permukiman,
2 pengembangan
infrastruktur sistem
produksi pertanian,
dan 3 pengembangan infrastruktur pasar dan sistem informasi.
Pengembangan infrastruktur permukiman menjadi penting selain untuk mencegah terjadinya urbanisasi juga penting untuk membangun akumulasi
nilai tambah dalam wilayah. Dengan infrastruktur wilayah yang memadai orang tidak perlu pergi keluar wilayah untuk memenuhi kebutuhannya.
Selain kedua aspek di atas, ketersediaan berbagai sarana dan prasarana permukiman yang meliputi jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, air
bersih, dan sarana transportasi ini diharapkan dapat menjadi insentif bagi investor untuk menanamkan modalnya di kawasan agropolitan.
Pengembangan infrastruktur sistem produksi pertanian merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung sistem agribisnis. Infrastruktur
sistem produksi pertanian meliputi pengembangan sarana produksi pertanian, sarana pengolahan, sarana transportasi, dan sarana irigasi.
Pengembangan kawasan agropolitan tanpa memperhatikan keterkaitan sosial ekonomi aktual yang terjadi antar hirarki dalam wilayah akan
menyebabkan terjadinya inefisiensi dan pemborosan anggaran pembangunan. Hal ini karena pada akhirnya banyak sarana dan prasarana penunjang
pertanian yang telah dibangun tidak dimanfaatkan secara optimal dan bahkan biaya pemeliharaannya menjadi beban masyarakat. Pemanfaatan yang tidak
optimal terjadi karena lokasi penempatan fasilitas yang tidak sesuai dengan pola aktivitas sosial ekonomi yang telah berkembang.