utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan dan pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Dengan kondisi demikian, strategi pembangunan bagaimana yang mampu menjawab
tantangan pembangunan perdesaan, sehingga mampu mengangkat kondisi kawasan ini untuk maju dan seimbang dengan kawasan perkotaan belum
terjawab secara sempurna. Pembangunan perdesaan selama orde baru yang identik dengan pembangunan padi, secara keseluruhan telah mendudukkan
posisi petani sebagai salah satu alat obyek untuk menyukseskan skenario besar pembangunan pertanian, khususnya untuk mencapai swasembada
beras. Untuk mendukung pembangunan pertanian di era orde baru dilaksanakan berbagai program baik yang sifatnya fisik: pembangunan
irigasi, jalan, pasar, dan lain-lain, maupun pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagaan di perdesaan Rustiadi dan Hadi, 2006
Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah
tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, dapat memberi dampak negatif terhadap
pembangunan nasional keseluruhannya, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan.
Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan instabillity yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial
yang dapat teriadi secara berulang ulang Anwar dan Rustiadi, 1999
2.2. Pengembangan Kawasan Agropolitan
Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat
kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi ke dua wilayah selama
ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian,
mengalami produktivitas yang selalu menurun akibat beberapa
permasalahan. Di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan
ketidaknyamanan akibat permasalahan permasalahan sosial konflik, kriminal, dan penyakit dan lingkungan pencemaran dan buruknya sanitasi
lingkungan permukiman. Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat wilayah keseluruhan akan berdampak pada penurunan produktivitas
wilayah Rustiadi dan Hadi, 2006. Konsep pengembangan wilayah dengan basis pengembangan kota-
kota pertanian atau yang lebih dikenal dengan Agropolitan menjadi pilihan utama Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonominya. Daerah-daerah
yang berbasis pertumbuhan pada ekonomi pertanian hampir tidak banyak menderita akibat krisis ekonomi nasional. Karena itu menjadi acuan
Pemerintah Daerah setelah mendapatkan kewenangan mengatur rumah tangga dan model pembangunan daerahnya secara lebih leluasa
Harun, 2004. Konsep Agropolitan sebenarnya lahir sebagai respon dari munculnya
ketimpangan desa-kota dan kebijakan pembangunan yang bersifat urban bias yang dalam jangka pendek merugikan bagi perkembangan kawasan
perdesaan dan dalam jangka panjang merugikan tatanan kehidupan bangsa secara nasional. Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada
pengembangan suatu sistem kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan perdesaan dalam suatu hubungan desa-kota yang
saling memperkuat Rustiadi et al. 2006. Menurut Rustiadi et al. 2006, Agropolitan adalah kawasan yang
merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian agropolis pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang
ditunjukkan oleh adanya sistem keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis, terwujud
baik melalui maupun tanpa melalui perencanaan. Agropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis
pertanian.