Latar Sosial Budaya Priyayi-Wong Cilik dalam Lingkup Keraton Surakarta

4.1 Latar Sosial Budaya Priyayi-Wong Cilik dalam Lingkup Keraton Surakarta

Penggambaran latar sosial-budaya dalam relasi priyayi-wong cilik merujuk pada satu masa tertentu, yaitu pariode pemerintahan Paku Bu- wana X pada abad ke-19. Pada periode tersebut aktivitas sosial-budaya masyarakat, khususnya priyayi dan wong cilik yang hidup di sekitar mereka mempunyai kekhasan spiritual yang hanya dapat dimengerti oleh masyarakat Jawa yang melakukannya. Pembahasan ini pertama-

tama akan melihat sisi kehidupan priyayi, sta- tus, dan sistem interaksinya dengan wong cilik.

Priyayi atau bangsawan adalah golongan masyarakat dengan lapis sosial persis di bawah Raja. Mereka terdiri atas keluarga dan kerabat raja yang memperoleh gelar kebangsawanan secara keturunan atau askriptif. Kelas ini me- ngenal jenjang-jenjang yang diatur secara hierarki dari derajat pertama sampai derajat keempat (Soeratman, 1989: 318). Keluarga bangsawan hidup dalam lingkungan keraton. Segala tata aturan dan kebiasaan hidup mereka tidak jauh dari adat kebiasaan raja sebagai pu- cuk pimpinan hirarki kerajaan. Bangsawan mendapat gelar Bandara Raden Mas (B.R.M.) atau Raden Mas (R.M.). Kedua gelar tersebut diberikan kepada bangsawan yang menjadi cucu raja atau putra pangeran. Bendara Raden Mas adalah gelar yang diberikan kepada ketu- runan permaisuri, sedangkan Raden Mas dibe- rikan kepada keturunan dari garwa ampeyan atau selir (Soeratman, 1989: 324).

Sebagai sebuah kelas sosial yang persis ber- ada di bawah raja, pola kehidupan bangsawan juga tidak jauh dari kebiasaan raja. Beberapa diantaranya adalah pola perkawinan, sistem kepercayaan atau yang disebut oleh Magnis- Suseno (1991) sebagai agama kejawen serta po- la pikir. Perkawinan biasanya terjadi di ka- langan kerajaan sendiri atau di kalangan bang- sawan itu sendiri. Hal ini bertujuan tidak lain untuk melestarikan gelar kebangsawanan yang mereka sandang secara otomatis. Di dalam ma- syarakat yang menanut sistem patrimonial, ben- tuk-bentuk perkawinan semacam ini biasa ter- jadi. Selain itu, raja atau bangsawan menggu- nakannya sebagai sebuah alat untuk mencipta- kan jaringan kekerabatan yang dapat dipakai untuk kepentingan politiknya. Bentuk perka- winan antar bangsawan, di dalam Candhikala Kapuranta , dijumpai dalam perkawinan antara Munasih dengan Raden Mas Sastrakusuma. Di dalam alur cerita Candhikala Kapuranta, per- kawinan ini menyebabkan masalah bagi para priyayi kerabat suami Munasih dikarenakan Sebagai sebuah kelas sosial yang persis ber- ada di bawah raja, pola kehidupan bangsawan juga tidak jauh dari kebiasaan raja. Beberapa diantaranya adalah pola perkawinan, sistem kepercayaan atau yang disebut oleh Magnis- Suseno (1991) sebagai agama kejawen serta po- la pikir. Perkawinan biasanya terjadi di ka- langan kerajaan sendiri atau di kalangan bang- sawan itu sendiri. Hal ini bertujuan tidak lain untuk melestarikan gelar kebangsawanan yang mereka sandang secara otomatis. Di dalam ma- syarakat yang menanut sistem patrimonial, ben- tuk-bentuk perkawinan semacam ini biasa ter- jadi. Selain itu, raja atau bangsawan menggu- nakannya sebagai sebuah alat untuk mencipta- kan jaringan kekerabatan yang dapat dipakai untuk kepentingan politiknya. Bentuk perka- winan antar bangsawan, di dalam Candhikala Kapuranta , dijumpai dalam perkawinan antara Munasih dengan Raden Mas Sastrakusuma. Di dalam alur cerita Candhikala Kapuranta, per- kawinan ini menyebabkan masalah bagi para priyayi kerabat suami Munasih dikarenakan

(hal.152)

Munasih sebenarnya bergelar Raden Ayu dari perkawinan Munah, Ibunya dengan nDa-

Selain masalah perkawinan, gaya hidup ra Mas Puspawicitra, tetapi dia tidak mau hedonis juga menjadi bagian dari sebagian

menggunakannya dalam kehidupan sehari- bangsawan. Gaya hidup menjadi salah satu hari. Perkawinan di kalangan bangsawan tidak cara mengekspresikan diri kaitannya dengan memperhatikan umur pasangan. Munasih yang kekayaan dan kehormatan. Di dalam Candhi- diceritakan masih muda belia dinikahi oleh kala Kapuranta digambarkan bahwa Raden Mas nDara Mas Sastrakusuma, kerabat Raden Mas Puspawicitra suka hidup berfoya-foya. Gaya Puspawicitra yang diceritakan sudah seumur- hidup ini dimungkinkan terjadi karena sebagai an dengan ayah Munasih. Namun, perkawin- bangsawan mempunyai harta dan kekuasaan. an tersebut memang menjadi sebuah tradisi un-

Penggambaran lingkungan sosial budaya tuk melanggengkan jejaring kebangsawanan Surakarta diawali dengan pemaparan latar yang berhubungan dengan harta dan kekuasa- cerita seputar kota Surakarta, seperti penyebut- an. Namun, di sisi lain tidak menutup kemung- an tempat-tempat yang memang benar-benar kinan perkawinan yang dilaksanakan disebab- ada sampai sekarang. Penyebutan tempat ter- kan untuk menjaga kehormatan bagi perempu- sebut antara lain, Kampung Serengan, Bron- an dan laki-laki yang menjalaninya.

dongan, Patrajayan, bunderan Tipes, makam Perkawinan yang dilakukan oleh Munasih Bergola. Selain itu, terdapat juga penyebutan

dan Raden Mas Sastrakusuma didasarkan per- tentang latar waktu pada masa kehidupan Mu- timbangan untuk menjaga kehormatan Mu- nah dan Munasih. nasih yang masih lajang supaya tidak digoda

“Bapakipun Munah nate cariyos dhumateng oleh laki-laki penggemarnya atau yang tertarik

Munah, nDhuk, lairmu kuwi kira-kira sepuluh karena kecantikan dan kepiawaian Munasih

taun sadurunge jumenengan Sinuwun Paku menari. Pertimbangan tersebut muncul dari

Buwana X, dados lairipun Munah kinten-kin- ungkapan hati Raden Mas Sastrakusuma:

ten ing taun 1888, jalaran jumenengan Sinu- wun Paku Buwana X punika ing taun 1898 .”

“Terus terang ngene wae ya, nDhuk, kowe

(hal.169)

apa ora isin dirabi wong tuwa kaya aku ngene iki?” pitakone nDara Sastra. “Aku ora isin

“Ayahnya Munah pernah bercerita kepa- kok nDhuk, yen koktampik. Dene karepku ang-

da Munah, nDhuk, lahirmu itu kira-kira gonku ngukub kowe iki supaya ora ana catur

sepuluh tahun sebelum jumenengan Sinu- ala. Durung karuan lho, nDhuk, yen wong

wun Paku Buwana X, jadi lahirnya Munah wadon dadi wayang kuwi mesthi wateke ru-

kira-kira di tahun 1888, karena jumeneng- cah. Malah kudu dadi tuladha. Akeh pitutur

an Sinuwun Paku Buwana X ini di tahun kang becik lan utama ana ing lakon wayang .”

1898.” (hal.169)

(hal.152) “Terus terang begini saja, Ndhuk, apakah

Latar penceritaan pada masa kraton Sura- kamu tidak malu dinikahi orang tua se-

karta masa pemerintahan Sinuwun Paku Bu- perti ini?” tanya nDara Sastra. “Aku tidak

wana X menunjukkan kuatnya aktivitas sosial- malu kok, Ndhuk, jika kau tolak. Sedang-

budaya masyarakat di lingkungan keraton kan keinginanku untuk merengkuhku ada-

yang memegang kuat tata aturan kehidupan lah supaya tidak ada pembicaraan yang

kejawaan (kejawen). Aktivitas tersebut muncul jelek. Belum tentu lho, nDhuk, anak pe-

dalam ruang-ruang konflik antara priyayi dan rempuan jadi wayang itu pasti wataknya abdinya (wong cilik), khususnya konflik batin rusak. Malahan harus jadi teladan. Banyak

Manunggaling Kawula Gusti dalam Novel Candhikala Kapuranta Karya Sugiarta Sriwibawa

kukan dengan diisi dengan tahlilan setelah 3,

7, 40, 100, 1000 hari, begitu juga dengan kela-

4.2 Jagat Magis

hiran bayi yang ditandai dengan ritual. Selain Pembahasan mengenai jagat magis me- itu, berbagai sesaji yang dipercaya sebagai tolak

merlukan konteks dan sudut pandang tertentu, bala selalu disediakan dan dibuat di lingkungan yaitu budaya. Maka, terlebih dahulu harus di- bangsawan sebagai salah satu bentuk fisik peri- pahami beberapa terminologi untuk dapat ma- sai untuk mengusir roh halus atau roh jahat. suk ke dalam diskusi tentang jagat magis dalam

Sugiarto Sriwibawa dalam Candhikala Ka- Candhikala Kapuranta . Terminologi magi meng- puranta menunjukkan berbagai perlambangan

acu pada KBBI jilid dua, yaitu sesuatu atau cara dengan bahasa kolokasi Jawa yang lugas dan tertentu yang diyakini dapat menimbulkan mudah dipahami oleh orang Jawa. Dunia sosial kekuatan gaib dan dapat menguasai alam seki- (lebenswelt) masyarakat Surakarta dengan ba- tar termasuk alam pikiran dan tingkah laku hasa kolokasi dan indeks sosial budaya menun- manusia. Selanjutnya, magi dibagi menjadi jukkan bahwa kehidupan di Surakarta pada magi hitam dan putih, sesuai dengan tujuan masa pemerintahan Paku Buwono V sampai pemakainya (1991: 612). Terminologi magi

X menganut sistem kepercayaan yang nama- dipaparkan untuk melandasi satu aktivitas so- nya kejawen (Magnis-Suseno menyebutnya se-

sial budaya yang dipaparkan dalam alur cerita bagai agama Jawa). Kejawen ini mendorong Candhikala Kapuranta . Selain itu, perlu juga di- terbentuknya pola pikir dan kepercayaan ma- pahami tentang terminologi yang diungkapkan syarakat akan adanya kekuatan-kekuatan yang oleh Magnis-Suseno mengenai agama Jawa ada di luar kemampuan manusia untuk dimin- yang oleh Koentjaraningrat disebut dengan tai tolong membantu memecahkan masalah religi yang dilandasi oleh sistem kepercayaan. yang dihadapi manusia. Pola pikir semacam

Sistem kepercayaan ini tumbuh karena ini muncul dalam sikap tokoh utama, Munah, adanya kepercayaan akan adanya dunia mi- seorang yang berasal dari golongan rakyat krokosmos dan makrokosmos. Agama yang jelata yang senantiasa bersikap sabar mengha- dianut oleh sebagian besar anggota komunitas dapi setiap masalah yang menimpanya. Mu- keraton adalah agama Islam yang bersifat sin- nah sadar dan yakin akan adanya kekuatan kretik yang disebut dengan istilah agama Jawi yang selalu membantunya kalau dia berbuat atau kejawen (Koentjaraningrat, 1984: 310). baik. Hal ini ditunjukkan ketika Munah senan- Agama Islam sinkretik ini merupakan agama tiasa mendendangkan kidung rerepan. Selain itu, Islam yang bercampur dengan keyakinan dan Munah, sebagai perempuan Jawa bergantung konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah kepada bantuan kakang kawah adhi ari-ari yang mistik, serta unsur-unsur yang berasal dari za- dipercaya sebagai saudara kembar bagi setiap man pra-Hindu (Soeratman, 1989). Agama ke- orang sejak lahir. Ayah Munah selalu berpesan

PROSIDING PROSIDING

maknanya, namun dia percaya akan pe- menemui kesulitan maka kakang kawah adhi

san ayahnya. (hal.30)

ari-ari akan membantu. Cara Munah mempercayai leluhur atau

Sanajan bocah desa, wuta sastra, nanging kekuatan yang ada di luar kekuatannya adalah eling-eling anak tilas penabuh gender, meh sa-

ben bengi Munah krungu tembang Dhan- sebuah pola pikir orang Jawa, yang dimaksud- dhanggula swarane bapakne. Mula prawan

kan adalah sistem kepercayaan terhadap Tu- desa kuwi apal sakabehe kidung rerepan ba-

han oleh masyarakat Jawa dengan melantun- pake: “Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh

kan tetembangan secara lila legawa dan pasrah. hayu luputa ing lara, dohna ing bilahi kabeh,

Dengan lila legawa dan pasrah, maka hal-hal jin setan datan purun … (hal.29)

baik yang diinginkan akan terlaksana. Kalimat Sawise unjal napas, Munah mbacutake tem-

yang menyatakan bahwa “atine Munah krasa bang pupuh Dhandhanggula kuwi: “Sung-

lejar ” menunjukkan berlakunya pola pikir sumku Patimah kang linuwih, Aminah kang

orang Jawa yang begitu pasrah kepada Tuhan bebayuning angga, Ayub minangka ususe … tanpa syarat. Secara mudah, Munah yang hi- (hal.30). dup dari keluarga miskin dan status sosial ren- Rerepan kinanthi banjur direngeng-rengeng-

ake ing sajrone batin: “Ngantiya sontreng dah dapat merasakan kelegaan hati yang liripun, lamun nuju tengah wengi, sutanira

begitu besar setelah mendengar tembang- banget beka, nora lerem den neng-nengi, nuli

tembang yang dilantunkan oleh Bapaknya. embanen ning jaba, nanging aja den wedeni .”

Gambaran perasaan hati Munah tersebut (hal.30)

menunjukkan bahwa masyarakat Jawa lebih Atine Munah krasa lejar, nuli eling marang

percaya dan menyandarkan diri pada aktivitas pituture Bapake: “Saben donga, donga apa

spiritual untuk mengolah batin, sehingga ak- wae, mesthi ana dayane.” Dheweke ora ngerti

tivitas untuk memperoleh kekuasaan batin (de- maknane. Ewa semono dheweke percaya ma- ngan kerelaan akan keadaan yang diajalani- rang pituture bapake. (hal.30)

nya) lebih menonjol dan menjadi prioritas un- Walaupun anak desa, buta huruf, tapi

tuk digapai daripada kepuasan fisik. ingat-ingat anak bekas penabuh gender,

Selain itu, orang Jawa mempercayai keber- hampir setiap malam Munah mendengar

adaan kakang kawah adhi ari-ari yang oleh seba- temban Dhandanggula suara ayahnya.

gian besar orang Jawa masa kini dianggap se- Maka prawan desa itu hafal semua kidung bagai takhayul atau gugon tuhon. Kepercayaan rerepan ayahnya:”Ana kidung rumeksa ing

wengi, teguh hayu luputa ing lara, dohna ing ini mengarah kepada satu sistem komunikasi, bilahi kabeh, jin setan datan purun …(hal.29)

yaitu pengingatan terhadap keberadan kakang Setelah menghela nafas, Munah mene-

kawah adhi ari-ari akan membuatnya siap me- ruskan tembang pupuh Dhandhanggula

nolong apabila dimintai pertolongan atau di- itu: “Sungsmku Patimah kang linuwih,

sambati . Ini adalah sebuah realisme dalam kehi- Aminah kang bebayuning angga, Ayub mi-

dupan orang Jawa. Tokoh utama Munasih me- nangka ususe …(hal.30)

nunjukkan kepercayaannya terhadap kakang Rerepan kinanthi lalu dilantunkan dalam

kawah adhi ari-ari dengan melantunkan kidung hati: “Ngantiya sontreng liripun, lamun nuju

mamarti yang berbunyi:

tengah wengi, sutanira banget beka, nora lerem den neng-nengi, nuli embanen ning jaba,

Ana kidung ing kadang mamarti, among nanging aja den wedeni .” (hal.30)

tuwuh ing kawasarira, nganakake saciptane, Hati Munah terasa lega, lalu ingat akan

kakang kawah punika, kang rumeksa sira ma- pesan ayahnya: “Setiap doa, doa apapun,

mi, anekaken sedya, ing kawasanpun, adhi ari-

Manunggaling Kawula Gusti dalam Novel Candhikala Kapuranta Karya Sugiarta Sriwibawa

279

PROSIDING

ari ika amayungi laku ing kawasaneki, nge- nakaken pangarah (hal.146).

Ada kidung tentang saudadara pemelihara kehidupan yang berkemampuan mewu- judkan sesuatu yang dipikirkan. Saudara kawah adalah penjaga kamu dan aku yang bertugas mewujudkan keinginan, demiki- an itu kemampuannya. Adhi ari-ari ber- tugas melindungi tingkah laku, kemampu- annya memperlancar tujuan (hal.146).

Sikap Munasih yang percaya kepada ka- kang kawah adhi ari-ari tersebut menunjukkan sebuah realisme dalam dunia sosial budaya Ja- wa yang mempunyai logika tersendiri dalam satu sistem kosmik jagat Jawa. Jagat Jawa da- lam Candhikala Kapuranta ditunjukkan melalui kepercayaan terhadap kekuatan tembang-tem- bang yang berisi mantra doa yang mengarah- kan perasaan dan kesadaran manusia bahwa hidup harus pasrah kepada Tuhan sang pen- cipta.

Kidung rerepen merupakan perlambang yang menunjukkan satu keinginan atau doa su- paya berpasrah diri, menolak bala, mengingin- kan kesembuhan, dan lain sebagainya. Di sam- ping itu kepercayaan terhadap kekuatan magis juga bisa digunakan oleh seseorang untuk me- nyakiti atau menyantet menggunakan jasa du- kun. Kepercayaan terhadap kekuatan magis dukun tersebut dijumpai pada tokoh mBokmas Puspawicitra, istri pertama Raden Mas Puspa- wicitra yang pada waktu itu menderita sakit. Rasa sakit yang menyiksa mendorong Bokmas Puspawicitra untuk memanggil dukun dan mengobatinya. Kemudian, rasa sakit yang diser- tai pikiran negatif mBokmas Puspawicitra men- dorongnya untuk menuduh seseorang telah ber- buat jahat kepadanya, melalui santet. Dia me- nuduh seorang penari ledhek telah membuat- nya sakit, sehingga dia mendatangkan seorang dukun untuk mengobatinya.

Selain itu, terdapat satu kepercayaan bah- wa seseorang harus selalu menjalin hubungan dengan saudara atau kerabat yang sudah me-

ninggal atau leluhur mereka. Hubungan terse- but dapat dilakukan dengan mengadakan ri- tual selamatan, menyebut nama mereka, atau- pun datang ke makam. Ritual semacam itu dila- kukan untuk menjalin hubungan antara dua dunia (fisik dan spiritual) sehingga walau dipi- sahkan oleh dimensi ruang yang berbeda tetapi ikatan batin akan selalu terjaga.

Keterjalinan hubungan antara Munah, Munasih dengan almarhum Raden Mas Pus- pawicitra terlihat dari kejadian yang menimpa Munah dan Munasih. Kejadian pertama ada- lah ketika Munah dan Munasih diusir oleh ke- tiga kerabat Raden Mas Puspawicitra, yaitu nDara Hadi, nDara Wignya, dan nDara Yasa. Ketiga orang tersebut mencoba mengusir Mu- nah dan Munasih dari rumah warisan almar- hum Raden Mas Puspawicitra. Ketika nDara Hadi membentak Munah, menghina, dan mengusirnya dari rumah tersebut, tiba-tiba ter- jadi angin putting beliung yang menerjang tu- buh nDara Hadi sampai terjerembab beberapa kali ke tanah. Kejadian serupa juga terulang ketika Munah dan Munasih menjenguk ma- kam Raden Mas Puspawicitra. Secara kebetul- an nDara Hadi dan kedua saudaranya juga da- tang ke makam tersebut. Di tempat itu nDara Hadi kembali menghina Munasih dengan me- nyebutnya sebagai seorang ledhek murahan yang selalu doyan berkencan dengan setiap la- ki-laki. Setelah selesai memaki-maki, tiba-tiba terjadi lagi angin rebut dan menerjang tubuh nDara Hadi, sehingga dia jatuh terjerembab ke tanah sampai mengakibatkan kakinya keseleo.

Peristiwa angin ribut tersebut tidak terjadi begitu saja, tetapi dapat ditafsirkan sebagai se- buah pembelaan dari leluhur kepada kerabat- nya yang diperlakukan tidak adil. Dalam cerita ini almarhum Raden Mas Puspawicitra mem- bela istri selir dan anak perempuannya, yaitu Munah dan Munasih yang selalu diolok-olok dan dihina oleh ketiga kerabatnya. Peristiwa ini yang dipercaya oleh Munah dan Munasih bahwa ketika manusia berpasrah, maka akan Peristiwa angin ribut tersebut tidak terjadi begitu saja, tetapi dapat ditafsirkan sebagai se- buah pembelaan dari leluhur kepada kerabat- nya yang diperlakukan tidak adil. Dalam cerita ini almarhum Raden Mas Puspawicitra mem- bela istri selir dan anak perempuannya, yaitu Munah dan Munasih yang selalu diolok-olok dan dihina oleh ketiga kerabatnya. Peristiwa ini yang dipercaya oleh Munah dan Munasih bahwa ketika manusia berpasrah, maka akan

jalankanlah laku tapa dengan sedikit mengu- Perlambangan yang diperoleh dalam alur rangi makan dan tidur, menguasai diri di bi-

cerita Candhikala Kapuranta, seperti kidung dang seksual, dan lain sebagainya. Sesuai de- rerepen , aktivitas nyekar di makam leluhur, ke- ngan itu, laku tapa bagi orang Jawa bukanlah percayaan terhadap santet, peristiwa angin pu- tujuan pada dirinya sendiri, melainkan meng- ting beliung, kepercayaan terhadap kakang ka- atur serta membudayakan dorongan-dorong- wah adhi ari-ari adalah sebuah kenyataan (sis- annya dan bukan untuk meniadakannya. Tapa tem kepercayaan) dalam sistem sosial budaya lahiriah dimaksudkan untuk memperkuat ke- masyarakat Jawa. Hal tersebut menunjukkan hendak dalam usaha untuk selalu memperta- satu hubungan interdimensional antara dunia hankan keseimbangan batin dan untuk berke- nyata dan transenden (spiritual). Hubungan lakuan sesuai dengan keselarasan sosial (Mag- tersebut ditandai dan dimaknai sebagai sebuah nis-Suseno, 1991: 140). aktivitas magis dalam kehidupan masyarakat

Pengekangan nafsu tersebut sudah men- Jawa. Ini menunjukkan bahwa perlambangan jadi kebiasaan yang dilakukan oleh tokoh Mu- mewakili satu bentuk komunikasi semiotik yang nah, yang kemudia diajarkan kepada Munasih, berasal dari satu kehidupan nyata yang dapat dan disempurnakan dalam penggambaran to- dijangkau dengan panca indera manusia “kini koh Kusumaningsih. Inilah yang disebut seba- dan sekarang” masuk ke dalam wilayah yang gai salah satu jenis laku bagi orang Jawa, yaitu transenden (Berger, 1990: 57).

dengan pengekangan diri terhadap nafsu du- Di dalam masyarakat Jawa, jagat magis niawi. melingkupi aktivitas kehidupan mereka. Wa-

Tindakan orang Jawa yang diwakili oleh laupun masyarakat Jawa melakukan berbagai Munah, Munasih, dan Kusumaningsih adalah untuk berhubungan dengan Tuhan melalui ber- bagian dari sistem sosial-budaya dalam logika bagai hal yang sifatnya magi, tetapi hal ini me- jagat Jawa, yaitu menyelaraskan antara dunia nunjukkan sebuah logika bagi masyarakat Jawa fisik dan non-fisik atau transenden. Di luar ke- untuk berdoa dan berpasrah kepada kehendak biasaan berdoa dan beraktivitas agama, orang Tuhan. Sikap pasrah dan lila legawa disimbol- Jawa juga taat dan percaya kepada kekuatan kan melalui perwatakan Munah, Munasih, dan yang melingkupinya yang dipercaya berasal Kusumaningsih. Sikap ketiga tokoh ini menun- dari leluhur dan kepada tempat-tempat yang jukkan kepasrahan bahwa semua jalan kehi- dianggap keramat yang dipercaya akan mem- dupan sudah diatur oleh Tuhan. Perlambangan bantunya. Jagat magis menjadi satu sistem kepasrahan ini menunjukkan bahwa hubung- yang ikut mendukung proses aktivitas untuk an mereka (orang Jawa) dengan Tuhan bersifat percaya kepada Tuhan yang Maha Esa dan tenang. Kesadaran akan yang Ilahi lebih me- jagat magis mempunyai tatanan tertentu de- rupakan semacam latar belakang yang hanya ngan memberi ruang bagi keseimbangan antara dieksplisitkan apabila ada alasan-alasan khu- medan negatif dan positif dalam kehidupan se- sus (Magnis-Suseno, 1991: 142). Kepasrahan hari-hari. Sebelum peristiwa-peristiwa kehi- manusia Jawa terhadap segala kejadian yang dupan penting atau dalam keadaan terdesak menimpanya, terutama kejadian yang me- orang akan mengucapkan doa-doa atau man- rugikan bukan berarti mereka bersifat fatalis, tra-mantra, barangkali mereka juga berziarah tetapi lebih menekankan pada pencarian ke- ke tempat-tempat keramat atau naik gunung seimbangan batin dengan mengontrol emosi untuk berdoa dan menghantarkan sesajen. Per- dan nafsu mereka.

hatian orang Jawa diarahkan pada kehidupan sehari-hari, karena seluruh alam bersifat numi-

Manunggaling Kawula Gusti dalam Novel Candhikala Kapuranta Karya Sugiarta Sriwibawa

281

PROSIDING

nous , orang Jawa tidak mempunyai alasan un- tuk memisahkan satu bidang kegiatan relijius dari keseluruhan medan sikap-sikap dan tin- dakan-tindakan lainya. Tidak sulit bagi orang Jawa untuk mempertahankan dimensi relijius walaupun mereka jarang melakukan tindakan yang eksplisit relijius (Magnis-Suseno, 1991: 142).

Jagat magis dalam alur cerita Candhikala Kapuranta ditunjukkan dengan bertemunya tokoh aku dengan Raden Mas Atmakusuma yang menceritakan segala perjalanan hidup Munah, Munasih, dan Kusumaningsih. Tokoh aku pada waktu itu berada di kampung Patra- jayan di depan rumah Raden Mas Atmakusu- ma. Dan setelah selesai bercerita tokoh aku ber- pamitan. Di tengah jalan tokoh aku bertemu Kusumaningsih dan Kusumaningsih mengata- kan bahwa hari tersebut adalah hari peringatan atau selamatan tujuh hari meninggalnya Raden Mas Atmakusuma, paman Kusumaningsih.

“Nami kula Kusumaningsih, griya kula me- nika…,”wangsulane sing durung tutug dak- punggel.

“He-eh, he-eh, aku wis weruh omahmu,” kan- dhaku. “Aku mau mentas saka omahmu, kok.”

“Lho, kok…,”unine bocah kuwi semu kaget. “Paklikmu Atmakusuma.”

“Lho!” Bocah mau kaget banget. “Ana apa, nDhuk?” pitakonku “Paklik Atma sampun seda minggu kepeng-

ker. Dalu menika ing griya kula wonten tah- lilan pitung dintenipun.” Genti aku sing kaget, ora bisa kumecap. (hal.172)

“Nama saya Kusumaningsih, rumah sa- ya…,” jawaban yang belum tuntas itu ter- potong.

“He-eh, he-eh, aku sudah lihat rumah- mu,”jawabku. “Aku tadi baru saja dari rumahmu, kok.” “Lho, kok…,”kata anak tadi agak kaget. “Pamanmu Atmakusuma.” “Lho!” Anak itu sangat terkejut.

“Ada apa, nDhuk?” tanyaku. “Paman Atma sudah meninggal seminggu lalu. Malam ini di rumah saya ada tahlilan

empat puluh harinya.” Berganti aku yang terkejut, tidak bisa ber- ucap. (hal.172)

Ideologi yang dipaparkan pengarang, Su- giarto Sriwibowo ini tidak lepas dari lingkung- an kehidupannya, yaitu kehidupan priyayi atau bangsawan di Surakarta. Kepiawaian Su- giarto Sriwibowo dalam menulis tidak lepas dari peran gurunya, Marbangun Harjowirogo, seorang jurnalis dan budayawan putra R.Ng. Harjowirogo (putra Ki Padmosoesastra). Ki Pas- mosoesastra juga dikenal sebagai “pembaharu” sastra Jawa dari Surakarta yang menemukan akar konvensi sastra Jawa modern (Suwondo, dkk, 2004: 290). Kehidupan dan pergaulan Sugiarto Sriwibowo (kehidupan sosial sehari- hari) yang selalu bersinggungan dengan priyayi terpelajar yang masih juga memegang dan me- mahami tradisi Jawa tersebut sangat berpenga- ruh terhadap pola pikir dan ekspresi penulisan Sugiarto Sriwibowo. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini bahwa perlambangan-perlambangan yang diperoleh dari latar cerita Candhikala Kapuranta menun- jukkan satu budaya dan tradisi masyarakat Jawa yang dilingkupi dengan jagat magis seba- gai sebuah sistem dan pola pikir masyarakat Jawa. Jadi, bentuk kepasrahan yang digambar- kan melalui jagat magis dalam laku spiritual manusia, melalui tokoh Munah dan Munasih adalah sebuah manifestasi pengembalian diri manusia kepada Tuhan yang dalam istilah Zoetmoelder (1990, 2013-2015) sebagai “Ma- nunggaling Kawula Gusti ”. Konsep “Manung- galing Kawula Gusti ” tersebut menyiratkan se- buah usaha manusia yang sadar akan jati diri- nya bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan dan nanti akan kembali lagi kepada Tuhan. Inilah ideologi yang secara implicit disisipkan oleh Sugiarto Sriwibawa melalui tokoh-tokoh uta- manya dalam novel berbahasa Jawa, Candhi- kala Kapuranta .

5. Simpulan

Maka perlu sebuah kearifan pikir, dalam pan- Pembacaan terhadap novel berbahasa dangan masyarakat modern, untuk melihat

Jawa Candhikala Kapuranta melalui kacamata dan memahami setiap aktivitas sosial-budaya sosiologi sastra menunjukkan bahwa aktivitas melalui konteks yang berlaku dalam satu kon- sosial budaya masyarakat Jawa sangat kental teks positif. dengan aktivitas spiritual. Aktivitas spiritual tersebut dijumpai dalam perlambangan-per-

6. Daftar Pustaka

lambangan yang tampak dalam indeks sosial Berger, Peter, Thomas Luckman. 1990. Tafsir budaya masyarakat Jawa, seperti kekidungan

Sosial Atas Kenyataan. Risalah Tentang yang berisi mantra memohon kekuatan dari

Sosiologi Pengetahuan . Jakarta: LP3ES. Tuhan yang Maha Esa, kepercayaan terhadap

-------. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. kakang kawah adhi ari-ari , keberadaan dukun, Jakarta: Pusat Bahasa. pemberian sesaji, kunjungan ke makam lelu-

hur, selamatan meninggalnya kerabat dekat. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Aktivitas spiritual tersebut, bagi orang Jawa,