Kearifan Lokal

4.2 Kearifan Lokal

“Ya sudah, saya memilih hutan sebelah ti- mur Ki Andan Sari,” kata Ki Pager Wesi de-

Kearifan lokal merupakan “perangkat pe- ngan bijak.

ngetahuan dan praktik-praktik pada suatu ko- munitas—baik yang berasal dari generasi-gene-

Mereka memulai membuka hutan pada rasi sebelumnya maupun dari pengalamannya daerah masing-masing yang telah mereka pilih. berhubungan dengan lingkungan dan masya- Ki Jo Singo membuka hutan dengan sangat te- rakat lainnya—untuk menyelesaikan berbagai kun, sehingga beberapa hari saja sudah selesai. persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi Ki Jo Singo, kemudian mendirikan rumah un- secara baik, benar, dan bagus (Ahimsa-Putra, tuk tempat tinggal. Beberapa tahun kemudian

2010c: 10).

banyak warga yang ikut mendirikan rumah di wilayah Ki Jo Singo. Setelah banyak orang yang

Untuk dapat memahami nilai-nilai budaya menetap di wilayah itu. Tempat itu di beri na- dalam cerita rakyat Gunungkidul, terlebih da- ma Dusun Logandeng.

hulu harus diketahui pengertian nilai dan bu- daya. Nilai adalah hakikat suatu hal, yang me-

Ki Andan Sari pun tidak mau ketinggalan. nyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia

Dia membuka hutan dengan hati-hati. Selang (Drijarkara dalam Suwondo,1994: 3). Nilai-

beberapa hari hutan itu sudah dapat didiami. nilai itu sendiri sesungguhnya berkaitan erat

Warga juga satu per satu ikut tinggal di wila- dengan kebaikan, meski kebaikan lebih melekat

yah Ki Andan Sari. Setelah banyak pendu- pada ‘hal’-nya, sedangkan ‘nilai’ lebih menun-

344

PROSIDING

Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Kabupaten Gunungkidul 345

juk pada ‘sikap orang terhadap sesuatu atau hal yang baik’. Sementara itu, ‘budaya’ me- nunjuk pada pikiran atau akal budi. Budaya yang berasal dari kata budi dan daya itu sete- lah mengalami beberapa pemaknaan mem- peroleh pengertian baru sebagai kekuatan batin dalam upaya menuju ‘kebaikan’ atau ‘kesadar- an batin menuju kebaikan’. Budaya juga dimak- nai sebagai sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bernilai untuk di- tempuh (Herusatoto, 1985: 6). Dari berbagai pe- ngertian nilai dan budaya tersebut dapat disim- pulkan bahwa nilai-nilai budaya adalah se- suatu yang bernilai, pikiran dan akal budi yang bernilai, kekuatan dan kesadaran yang bernilai, yang semua itu mengarah kepada kebaikan. Dan bagi manusia, nilai budaya itu pantas di- peroleh, pantas dikejar.

Beberapa nilai budaya yang perlu diangkat dari cerita rakyat Gunungkidul adalah nilai- nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Mardiatmadja (Hartoko, 1985: 39), dalam ber- bagai perwujudannya, nilai luhur itu, antara lain terdiri atas nilai yang mencerminkan ke- agamaan (religius), kesusilaan (etika), dan keso- sialan (sosial) (Mardiatmadja dalam Hartoko, 1985: 39). Usaha pengangkatan nilai-nilai lu- hur itu didasari oleh anggapan bahwa nilai- nilai itu dapat dipergunakan sebagai upaya pe- nyesuaian diri dengan peradapan dunia masa kini, dalam arti manusia memiliki mentalitas yang mampu menanggulangi tekanan berat yang berupa masalah-masalah yan ada di ling- kungan kehidupannya (Koentjaraningrat, 1982: 4230).

Cerita rakyat atau folklore dikenal sebagai suatu fenomena dari kehidupan rakyat, lahir dan berkembang di atas dasar kehidupan itu sendiri. Begitu juga cerita-cerita di dalam cerita rakyat Gunungkidul, tentu saja memiliki unsur- unsur tertentu yang terkandung di dalam kehi- dupan rakyat mempengaruhi wujud, bahkan membentuk corak cerita-cerita itu.

Kepercayaan rakyat, atau yang seringkali disebut “Takhayul” adalah kepercayaan yang

oleh orang berpendididkan barat dianggap sederhana bahkan pander, tidak berdasarkan logika, sehinga secara ilmiah tidak dapat di- pertanggungjawabkan (Danandjaja, 1991: 153). Seperti umumnya masyarakat yang ber- pikirnya masih sederhana, masyarakat pada waktu itu atau yang melahirkan cerita-cerita di dalam cerita rakyat memunyai kepercayaan adanya kekuatan sakti sesuatu benda, keperca- yaan mengenai alam gaib (makhluk-makhluk gaib), dan kepercayaan adanya pantangan (se- suatu yang tidak boleh dilanggar).

Kepercayaan rakyat akan adanya kekuat- an magis sesuatu benda atau sesuatu itu bila dilanggar akan ada tuahnya sehingga perlu di- perlakukan dengan hati-hati perlu diadakan- nya sajian. Nelayan di Pesisir Wedhi Amba se- tiap Jumat Kliwon tidak ada yang berani me- laut, baik mencari ikan maupun menjalankan kapal rekreasi. Bahkan para pedagang pun ti- dak ada yang berani berjualan pada hari Jumat Kliwon tersebut, karena takut akan kena mara bahaya atau “bebendu”. Hal itu ditunjukkan di dalam cerita “Mitos Pesisir Wedhi Amba” se- perti di bawah ini.

Bila kepercayaan itu dilanggar, masyara- kat di situ percaya akan ada “bebendu” atau kemarahan, berupa nasib malang, mencari ikan tidak mendapat ikan, atau bisa juga mengalami kecelakaan (kapal tenggelam) (“Mitos Pesisir Wedhi Amba”, paragraf 3).

Selain itu, para nelayan di Pesisir Wedhi Amba juga percaya bila syarat untuk melaut harus membuang uang recehan atau koin. Bila koin yang dibuang banyak hasilnya akan ba- nyak. Namun, bila koin yang dibuang sedikit, dapatnya juga sedikit.

Para nelayan percaya bahwa banyak sedi- kitnya penghasilan tergantung pada pe- cahan koin yang dimasukkan untuk srana ‘upaya’ (Mitos Pesisir Wedhi Amba, para- graf 9).

4.3 Nilai-Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat dupan manusia oleh karena itu, nilai budaya

Gunungkidul

sangat berfungsi dalam kehidupan manusia Nilai-nilai budaya atau kearifan lokal yang untuk menentukan sikap di tengah kehidupan

terkandung dalam cerita rakyat Gunungkidul bermasyarakat. Dengan kata lain, etika di da- adalah nilai keagamaan (religius), kesusilaan lam kehidupan manusia menjadi salah satu per- (etika), dan kesosialan (sosial).

soalan yang cukup penting, karena melalui eti- ka, manusia beruaha menempatkannnya di an-

(1) Nilai Keagamaan (religius)

tara manusia lain dengan sebaik mungkin Nilai keagamaan (religius) merupakan sa- (Prabowo, 1990: 4).

lah satu nilai budaya yang terkait dengan ke- Beberapa nilai etika yang dapat dipetik hidupan manusia sebagai makhluk Tuhan. dalam cerita rakyat Gunungkidul, antara lain

Nilai religius dalam cerita rakyat Gunungkidul adalah anjuran untuk (1) bersahaja, (2) meng- ini terdapat dalam cerita yang berjudul “Mitos hormati sesama, (3) bekerja keras, (4) sabar, Desa Girikarto Panggang”. Sebagai seorang su- dan (5) cinta alam lingkungan. nan, tidak diragukan lagi dalam hal beribadah. Seperti halnya Sunan Kalijaga yang singgah di

1) Bersahaja

desa Girikarto Panggang. Begitu tiba di Desa Sikap bersahaja sebagai cermin nilai etika Girikarto Panggang kanjeng Sunan Kalijaga

dan moral ditunjukkan dalam cerita “Mitos mendengar suara azan dhuhur, kemudian ia

Desa Girikarto Panggang”. Sikap Sunan Kalijaga yang dengan rendah hati mau

bergegas menghampiri rumah penduduk untuk mengajari para penduduk di Desa Girikarto meminta air, maksudnya air untuk berwudu.

Panggang bagaimana cara menggunakan Di Desa Panggang inilah Sunan Kalijaga se-

air yang bersih untuk berwudhu, karena dang melaksanakan sholat dhuhur. Ini pertan-

penduduk di desa tersebut belum begitu

da bahwa sebagai makhluk Tuhan kita harus paham menggunakan air bersih, khususnya menjalankan semua perintahnya dan menjauhi

air untuk berwudhu. Air yang digunakan segala larangannya. Semua peristiwa itu ter-

untuk berwudhu harus dibedakan dengan cermin dalam cerita “Mitos Desa Girikarto

air untuk minum maupun untuk mencuci Panggang” di bawah ini.

dan sebagainya. Karena air wudhu harus benar-benar bersih guna menyucikan ang-

“Ki Sanak, kalau boleh saya ditunjuk- gota badan. Hal itu ditunjukkan dalam kan di mana letak tempat air. Saya hendak

cerita di bawah ini.

berwudu. Saya mau menjalan ibadah salat “Ki Sanak, kalau boleh saya ditunjuk-

Dhuhur,” tanya Sunan Kalijaga kepada salah seorang penduduk yang ditemuinya

kan di mana letak tempat air. Saya hen- (“Mitos Desa Girikarto Panggang”, para-

dak berwudu. Saya mau menjalan iba- graf 2).

dah salat Dhuhur,” tanya Sunan Kalijaga kepada salah seorang penduduk yang

(2) Nilai Kesusilan (etika)

ditemuinya.

Etika merupakan keseluruhan norma dan Orang yang ditanyai oleh Sunan Kali- nilai yang dipakai oleh perseorangan ataupun

jaga itu bingung. Ia tak tahu harus menja- wab seperti apa, karena air di daerahnya

kelompok orang sebagai petunjuk fundamental sulit didapatkan. Apalagi kalau dipakai bagi hidup mereka (Suseno, 1983: 83). Jadi, eti- untuk berwudu pasti memerlukan air

ka adalah keseluruhan paham untuk menja- yang banyak. Oleh karena sulit membe- wab pertanyaan bagaimana manusia harus hi-

rikan air, ia lalu memberikan air kobokan dup supaya berhasil.

kepada Sunan Kalijaga. Nilai-nilai budaya secara kodrati berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku kehi-

PROSIDING

Wali itu sangat tidak berkenan, karena Islam di desa Girikarto Panggang sehingga air yang diinginkan adalah air yang ber-

masyarakat di Desa Girikarto Panggang sih. Berwudu adalah menyucikan badan

sangat terkesan dengan ketekunan dan dengan air. Supaya suci tentu saja airnya

kesabaran Sunan Kalijaga. Karena sikap harus bersih. Akan tetapi, sebagai sunan

sabarnya Sunan Kalijaga tersebut membuat yang bijaksana, Sunan Kalijaga dapat

penduduk di Desa Girikarto Panggang ter- memaklumi apa yang dilalukan orang

tarik untuk mengikuti ajaran Kanjeng Sunan yang ditemuinya itu.

Kalijaga. Selain mengajarkan agama Islam “Air untuk menyucikan diri sebelum

di desa Girikarto Panggang ini, Sunan Kali- menjalankan salat harus bersih, bukan

jaga juga memberikan ajaran agama Islam air bekas, apalagi air bekas mencuci

di Pedukuhan Doplang. Penduduk di Pedu- tangan. Akan tetapi, aku dapat mema-

kuhan Doplang ini mulai mengerti apa hami mengapa kisanak memberiku air

makna menyucikan diri sebelum sholat. kobokan,” (“Mitos Desa Girikarto Pang-

Bahkan, mereka mulai belajar agama Islam gang”, paragraf 2—5).

kepada Sunan Kalijaga. Demi sempurnanya

2) Menghormati Sesama mereka belajar agama Islam maka di Desa Warga Desa Girikarto Panggang ini sa-

Doplang ini dibangun masjid (“Mitos Desa ngat menghormati Sunan Kalijaga yang se-

Girikarto Panggang”, paragraf 11). dang singgah di Desa Girikarto Panggang.

5) Cinta alam dan lingkungan Penduduk Girikarto panggang ini sangat

Cinta alam dan lingkungan terdapat da- beruntung dengan kedatangan Sunan Kali-

lam cerita yang berjudul “Tiga Orang Pem- jaga karena mereka bisa mendapatkan

buka Hutan”. Diceritakan awal mulanya ajaran agama Islam dari kanjeng Sunan

hutan ini kosong tak berpenghuni dan tidak Kalijaga khususnya cara berwudhu dengan

terawat. Namun, setelah kedatangan ketiga air bersih.

pendekar sakti yaitu Ki Jo Singo, Ki Pager

3) Bekerja keras Wesi dan Ki Andan Sari hutan itu menjadi Sikap kerja keras ini tercermin dalam ce-

terawat dan penduduknya banyak. Ini me- rita yang berjudul “ Tiga Orang pembuka

nyebabkan hutan tersebut menjadi asri Hutan”. Diceritakan Ki Jo Singo, Ki Pager

karena sudah ada yang merawat yaitu para Wesi, dan Ki Andan Sari adalah tiga tokoh

penduduk yang menempati hutan tersebut sakti yang bekerja keras membuka hutan

(“Tiga Orang Pembuka Hutan”, paragraf kosong untuk dijadikan tempat tinggal.

6).

Berkat hasil kerja keras ketiga tokoh tersebut (3) Nilai Kesosialan

hutan itu sekarang menjadi dusun yang Nilai sosial dalam cerita rakyat Gunung- banyak penduduknya. Hutan yang dibangun kidul ini terdapat dalam cerita yang berjudul Ki Jo Singo dinamakan Dusun Logandeng,

hutan uang dibangun Ki Pager Wesi dinama- “Tiga Orang Pembuka Hutan”. Ki Pager Wesi, kan Dusun Pager, dan hutan yang dibangun Ki Jo Singo, dan Ki Andan Sari adalah orang- Ki Andan Sari dinamakan Dusun Bandung orang yang sakti yang mau berbagi kesaktian- (“Tiga Orang Pembuka Hutan”, paragraf 8- nya untuk membuka hutan belantara yang akan 10).

digunakan sebagai tempat tinggal. Konon ketiga orang ini berpencar untuk membuka

4) Sabar hutan lebat tersebut. Ki Jo Singo memilih hutan Sikap sabar ini tercermin di dalam cerita sebelah barat, Ki Andan Sari memilih hutan

“Mitos Desa Girikarto Panggang”. Sunan sebelah timurnya Ki Jo Singo, dan Ki Pager We-

Kalijaga ini dikenal tekun, sabar, dan bijak- sana dalam memberikan ajaran agama

Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Kabupaten Gunungkidul

347

PROSIDING

si memilih hutan sebelah timurnya Ki Andan Sari. Setelah pembagian hutan selesai, ketiganya mulai membuka hutan dengan tekun dan mem- bangun tinggal di hutan tersebut. Selang be- berapa hari tempat itu berhasil dibangun ru- mah dan banyak warga datang untuk mendi- rikan rumah di tempat Ki Jo Singo. Lama-lama tempat itu penduduknya banyak. Begitu juga dengan tempat yang dibangun Ki Pager Wesi dan Ki Andan Sari. Ketiga tempat tersebut se- karang sudah rejo. Tempat yang dibangun Ki Jo Singo disebut Dusun Logandeng, tempat yang dibangun Ki Andan Sari disebut Dusun Bandung, dan tempat yang dibangun Ki Pager Wesi disebut Dusun Pager. Sikap sosiaolitas dari ketiga tokoh tersebut dapat ditunjukkan dalam cerita di bawah ini.

Tempat dusun ini adalah sebuah hutan kosong yang amat lebat dan tidak berpeng- huni seorang manusia pun di dalamnya. Ketika itu datanglah tiga orang sakti ke hu- tan belantara ini. Mereka adalah Ki Pager Wesi, Ki Jo Singo, dan Ki Andan Sari. Ketiga orang sakti itu, kemudian berpencar di seki- tar hutan.

“Ki Andan Sari dan Ki Pager Wesi, saya memilih hutan sebelah barat ini,” kata Ki Jo Singo kepada kedua temannya.

“Baik, saya memilih hutan sebelah timur- nya Ki Jo Singo saja,” kata Ki Andan Sari pelan. Ki Pager Wesi pun dengan sabar ikut berbicara.

“Ya sudah saya memilih hutan sebelah timur Ki Andan Sari,” kata Ki Pager Wesi dengan bijak.

Mereka memulai membuka hutan pada daerah masing-masing yang telah mereka pilih.

Ki Jo Singo membuka hutan dengan sa- ngat tekun, sehingga beberapa hari saja su- dah selesai. Ki Jo Singo, kemudian mendiri- kan rumah untuk tempat tinggal. Bebera- pa tahun kemudian banyak warga yang ikut mendirikan rumah di wilayah Ki Jo Singo. Setelah banyak orang yang mene- tap di wilayah itu. Tempat itu di beri nama Dusun Logandeng.

Ki Andan Sari pun tidak mau keting- galan. Dia membuka hutan dengan hati- hati. Selang beberapa hari hutan itu sudah dapat didiami. Warga juga satu per satu ikut tinggal di wilayah Ki Andan Sari. Sete- lah banyak penduduknya tempat itu diberi nama Dusun Bandung.

Sedangkan Ki Pager Wesi membuka hu- tan sebelah timur wilayah Ki Andan Sari. Dengan semangat yang tinggi dan kekuat- an batin yang mumpuni, Ki Pager Wesi le- bih cepat selesai dibanding dengan kedua temannya. Setelah penduduknya cukup banyak masyarakat dikumpulkan oleh Ki Pager Wesi. Untuk mengenang jasa-jasa Ki Pager Wesi, masyarakat setuju kalau dusun itu diberi nama Dusun Pager (“Tiga Orang Pembuka Hutan”, Paragraf 3).