Peran dan Tanggung Jawab Pihak Terkait

tanaman pangan; 2 tanaman keras ditanam di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan; 3 tanaman keras ditanam di batas-batas dan di sepanjang teras, untuk mengurangi erosi tanah. Dalam mengelola hutan rakyat, masyarakat di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno dan Desa Belikurip Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri masih menggunakan silvikultur tradisional, yang meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan penebangan. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual dan pemeliharaan. Tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat di kedua lokasi penelitian adalah jati Tectona grandis, mahoni Swietenia mahogany dan akasia Acacia auriculiformis. Awal mulannya penanaman tanama keras ini sebagai langkah awal untuk memeperbaiki struktur tanah, karena diharapkan akr pohon-pohonan tanaman keras dapat memecah batuan kapur dan daun-daunnya dapat menjadi kompos. Persiapan lahan terutama dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat terasering teras bangku pada lahan-lahan tertentu yang miring. Dengan berbekal batu yang berlimpah disekitarnya, masyarakat mengumpulkan batu-batu, memecah dan menyusun menjadi penguat dinding teras bangku, membuat lubang tanam dan membuat batas lahan. Penanaman sebagian besar dilakukan tanpa adanya pengaturan jarak tanam, karena penanaman sebagian besar hanya dilakukan di antara sela-sela batu. Pada lahan-lahan yang memungkinkan, lahan yag relative datar atau landai dibuat jarak tanam 3x1 meter. Diduga pengaturan jarak tanam ini diketahui masyarakat berdasarkan pengalaman melihat apa yang telah dilakukan Perum Perhutani, di mana beberapa warga bekerja sebagai buruh tanam Awang et.al. Perlindungan tanaman terhadap ternak dilakukan dengan melarang pengembalaan di areal hutan milik orang lain. Ternak sapi dan kambing umumnya dikandangkan di pekarangan rumah. Cara ini serjalan sangat efektif dan dipatuhi oleh semua warga. Gangguan pencurian sama sekali tidak pernah terjadi. Pengamanan dilakukan dengan “tepo selero” tenggang rasa yang selalu disosialisasikan lewat forum-forum seperti kelompok tani maupun forum desa lainnya. Pemanen dilakukan tidak menggunakan system pengaturan hasil. Pohon ditebang saat dibutuhkan, yaitu untuk keperluan membangun rumah sendiri, maupun keperluan yang memerlukan biaya besar seperti keperluan pendidikan, anak, hajatan, pengobatan di rumah sakit dan lainnya. Sehingga system ini sering dikatakan “tebang butuh” yaitu ditebang pada saat dibutuhkan. Sekalipun demikian bagi masyarakat pohon merupakn tabungan yang kan digunakan sebaga alternative terakhir, jika sumberdaya lainnya sudah tidak ada seperti ternak, ayam, kambing, sapi atau sumberdaya lainnya. Menurut pengakuan masyarakat, mereka memilih pohon sebagi alternative terakhir untuk ditebang, karena dianggap paling menguntungkan baik dari segi pemeliharaan maupun harga atau nilai jual. Pohon tidak membutuhka pemeliharaan yang merepotkan seperti halnya ternak, yang perlu diberi makan dua kali dalam satu hari. Demikian juga halnya dengan harga kayu, terutama kayu jati, sangat baik sebagai tabungan yang bernilai tinggi, tidak jauh berbeda dengan harga jual ternak. Sekalipun petani hutan rakyat lebih senang menggunakan system “tebang butuh” tetapi mereka tetap memeperhatikan system tebang pilih, yaitu sejumlah pohon yang ditebang untuk dijual atupun dipakai sendiri dan tidak menggelompok dalam satu tempat. Sebenarnya sudah ada aturan untuk menebang kayu jati yang sudah berumur minimal 15 tahun dan berdiameter di atas 20 cm, tetapi aturan ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena adanya system “tebang butuh” sehingga kayu jati yang paling banyak ditebang berada pada kisaran diameter 16 cm. menurut pengakuan petani, biasanya mereka menebang kayu rata-rata dua kali per tahun, dengan jumlah volume disesuaikan kebutuhan, yaitu jika kebutuhan kecil pohon yang ditebang jumlah dan volumenya relative kecil, sedangkan bila kebutuhan besar pohon yang ditebang jumlah dan volumenya juga besar. Untuk menjamin kelestarian, petani yang menebang kayu diwajibkan menanam lahannya 2-5 batang untuk setiap batang pohon yang ditebang. Metode pengaturan hasil hutan rakyat ini sangat spesifik dan berbeda dengan metode petani setempat, yang penting adalah terjamin kelestarian baik kelestarian kontinu memanen produksi kayu miliknya Arupa, 1999. Pemasaran kayu hasil hutan rakyat dilakukan secara langsung oleh petani ke pedagang pengumpul lokal kemudian diteruskan ke pedagang pengumpul besar. Biaya pengurusan surat-surat seperti SKSHH Surat Keterangan Syahnya Hasil Hutan dan lain-lain biasanya ditanggung oleh pedagang. Petani tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk pengurusan dokumen tersebut dan menerima pembayaran harga kayu sesuai dengan kesepakatan dengan pedagang,. Pedagang pengumpul besar kemudian memasarkan kayu tersebut ke Industri mebel dan bahan bangunan atau ke tempat pembakaran gamping baik yang berada di daerah sekitarnya tau ke luar kota. Daerah luar kota yang menjadi tujuan pemasaran kayu antara lain adalah Klaten, Jepara, Pekalaongan, Tegal, Brebes, Solo dan Bandung. Masyarakat menyukai pola ini karena selain mereka langsung dapat menerima uang kontan, yang mereka butuhkan pada saat itu, juga dinilai lebih praktis. Dengan cara ini mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, biaya penebangan, dan urusan administrasi serta biaya pengangkutan, yang dinilai cukup merepotkan bagi masyarakat petani. Dalam hal kelembagaan, hampir tidak ada perbedaan yang nyata dilihat dari sisi organisasi, kepemimpinan, maupun aturan dan sanksi yang diberlakukan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip. Dari hasil penelitian yang dilakukan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat FKKM di beberapa desa di Pegunungan Kapur Sealatan ditemui bahwa pembangunan hutan rakyat tidak lepas dari peranan kelompok tani, namun peranan individu kelompok tani lebih besar dibandingkan kelompok tani. Kelompok tani sebagai suatu organisasi mengacu pada organisasi modern dimana pengurus organisasi minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Kelompok tani dipilih oleh anggota dengan mempertimbangkan pendidikan, kemauan dan kemampuan bekerja, status sosial dan posisi dalam masyarakat sehingga banyak ditemui pengurus kelompok tani yang menjabat aparat desa Ketua RTRW dan Kepala Dusun. Kegiatan kelompok tani ini biasanya meliputi kegiatan pertanian secara umum, baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, bahkan perikanan.