Aturan Kelola Hutan Rakyat

Pada tahun 1972, ada proyek WFP World Food Program sebagai upaya bantuan pangan dalam rangka memperbaiki lingkungan melalui rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi tersebut berupa penanaman pohon dengan jenis eukaliptus Eucalyptus alba, akasia Acacia auriculiformis, dan kaliandra Caliandra calothyrsus pada lahan kritis seluas ± 50 ha. Namun, karena belum terbentuk suatu kesadaran terhadap arti penting hutan dan karena konsentrasi utama petani hanya pada tanaman pangan, maka program ini dapat dikatakan tidak berhasil. Pohon-pohon yang telah ditanam tidak dipelihara bahkan ada juga beberapa yang dicabut. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka yang rendah sehingga tidak sedikit dari mereka beranggapan bahwa tidak akan ada yang bisa dimakan bila lahannya ditanami kayu. Respon yang kurang baik ini tidak menyurutkan semangat para penggiat desa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pohon bagi kelangsungan hidup mereka. Akhirnya, sedikit demi sedikit para penggiat desa yang dipelopori oleh Misman dan Tayat saat itu, mendekati warga dengan memberi pandangan pentingnya menanam pohon sekaligus melakukan penyulaman dengan jenis jati, mahoni, dan akasia pada pohon hasil proyek yang tidak tumbuh. Usaha itu pun berbuah manis dengan seiring berkembangnya kesadaran warga. Mereka menyadari bahwa dengan tidak mencabut pohon dan membiarkannya hidup hingga besar, ternyata dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka, diantaranya yaitu sebagai bahan bangunan rumah atau untuk dijual. Pada tahun 1976-1977 pemerintah mengadakan program penghijauan di Kabupaten Wonogiri melalui proyek Reboisasi dan Penghijauan INPRES dengan memberikan bantuan bibit tanaman akasia Acacia auriculiformis sebanyak 400 batangha, pupuk, dan upah penanaman, serta biaya pemeliharaan selama satu tahun. Kelurahan Selopuro yang juga termasuk penerima program tersebut, sejak saat itu mulai menanam dengan lebih terarah dan terprogram. Kegiatan ini meliputi seluruh wilayah desa pada lahan-lahan yang tidak lagi produktif, ditinggalkan, dan liar. Melalui kegiatan ini, petani juga dibekali dengan penyuluhan tentang pengetahuan konservasi tanah, sehingga lahan yang mulanya berbatu diubah menjadi petak-petak berteras guna mencegah erosi. Untuk mempermudah pengaturan dalam mengelola hutan rakyat yang sudah mulai berkembang tersebut, dibentuklah suatu kelompok tani pada tahun 1985 bernama Percabaan yang menaungi Dusun Pagersengon. Melalui kelompok tani ini, tegakan hutan rakyat menjadi semakin rapat, hijau, dan asri. Pembentukan kelompok tani pun diikuti oleh dusun-dusun lain di Kelurahan Selopuro, sehingga terbentuklah kelompok tani hutan rakyat di setiap dusun. Hingga pada akhirnya, atas fasilitas LSM PERSEPSI dan dukungan WWF World Wide Fund for Nature , kelompok tani di Kelurahan Selopuro bersama dengan Desa Selopuro berhasil memperoleh dan meraih sertifikasi PHBML LEI yang pertama di Indonesia pada tahun 2004. Pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno sehari-hari dilakukan oleh pemiliknya, yaitu keluarga petani hutan rakyat. Lembaga yang seharusnya terkait langsung dalam pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro yaitu KPS, FKPS dan TPKS. Keberadaan anggota KPS adalah semua warga yang berada di lingkungan tersebut, dan merupakan anggota KT, anggota FKPS adalah gabungan dari KPS-KPS yang ada ditiap lingkungan di Kelurahan Selopuro, dan anggota TPKS adalah semua anggota KPS-KPS yang ada di FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo. Namun sampai saat ini fungsi KPS masih mengikuti kegiatan-kegiatan KT dan belum mempunyai kegiatan khusus KPS terkait HR. Keberadaan KPS hanya diketahui oleh elit tokoh tertentu, dan sebagian besar anggota di 8 KPS tidak mengetahui keberadaan KPS, tapi yang diketahui hanya keberadaan KT. Fungsi KT masih terbatas pada kegiatan simpan pinjam yang dilakukan melalui pertemuan rutin tiap bulan atau tiap selapanan 35 hari; KPS, FKPS dan TPKS sampai saai ini belum berperan optimal.

4.5.2. Sistem Pengelolaaan Hutan Rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa

Belikurip Awang et.al 2001 menyebutkan bahwa sesuai dengan susunan dan letaknya hutan rakyat di pegunungan Kapur Selatan termasuk Wonogiri, dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok hutan tersebut adalah: 1 tanaman keras seperti jati dan mahoni, atau jenis lainnya ditanam hanya disepanjang batas lahan milik, dan tanah di antara pohon-pohon tersebut ditanami tanaman pangan; 2 tanaman keras ditanam di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan; 3 tanaman keras ditanam di batas-batas dan di sepanjang teras, untuk mengurangi erosi tanah. Dalam mengelola hutan rakyat, masyarakat di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno dan Desa Belikurip Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri masih menggunakan silvikultur tradisional, yang meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan penebangan. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual dan pemeliharaan. Tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat di kedua lokasi penelitian adalah jati Tectona grandis, mahoni Swietenia mahogany dan akasia Acacia auriculiformis. Awal mulannya penanaman tanama keras ini sebagai langkah awal untuk memeperbaiki struktur tanah, karena diharapkan akr pohon-pohonan tanaman keras dapat memecah batuan kapur dan daun-daunnya dapat menjadi kompos. Persiapan lahan terutama dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat terasering teras bangku pada lahan-lahan tertentu yang miring. Dengan berbekal batu yang berlimpah disekitarnya, masyarakat mengumpulkan batu-batu, memecah dan menyusun menjadi penguat dinding teras bangku, membuat lubang tanam dan membuat batas lahan. Penanaman sebagian besar dilakukan tanpa adanya pengaturan jarak tanam, karena penanaman sebagian besar hanya dilakukan di antara sela-sela batu. Pada lahan-lahan yang memungkinkan, lahan yag relative datar atau landai dibuat jarak tanam 3x1 meter. Diduga pengaturan jarak tanam ini diketahui masyarakat berdasarkan pengalaman melihat apa yang telah dilakukan Perum Perhutani, di mana beberapa warga bekerja sebagai buruh tanam Awang et.al. Perlindungan tanaman terhadap ternak dilakukan dengan melarang pengembalaan di areal hutan milik orang lain. Ternak sapi dan kambing umumnya dikandangkan di pekarangan rumah. Cara ini serjalan sangat efektif dan dipatuhi oleh semua warga. Gangguan pencurian sama sekali tidak pernah terjadi. Pengamanan dilakukan dengan “tepo selero” tenggang rasa yang selalu disosialisasikan lewat forum-forum seperti kelompok tani maupun forum desa lainnya.