Lembaga-Lembaga Hutan Rakyat KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Pada periode 4 1985-2002, ditandai dengan melimpahnya anakan alami di bawah tegakan tua, baik jati maupun mahoni. Masyarakat melakukan permudaan dan pengayaan dengan mendistribusikan anakan alami secara merata, dengan melalui teknik puteran dan cabutan. Anakan-anakan alami ini ditanam dengan jarak yang tidak beraturan, mengingat kondisi lahan yang bergelombang dan berbatu. Pada periode ini Kebun Bibit Desa yang dikenalkan oleh pemerintah sebagai upaya menjamin ketersediaan bibit penghijauan di desa tidak lagi efektif karena masyarakat melakukan permudaan dengan menggunakan anakan alami yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan karena dinilai lebih efisien, lebih murah dan adaptasi bibit lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Kebun Bibit Desa. Pada periode empat ini mulai dilakukan penebangan kayu baik untuk keperluan sendiri maupun untuk mendapatkan uang tunai. Walaupun penebangan dilakukan, masyarakat tetap melakukan penghutanan kembali secara swadaya. Menurut Awang et.al 2001 pada mulanya keberhasilan gerakan penanaman tanaman keras oleh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari peranan kelompok tani. Pekerjaan pembuatan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan dilakukan bersama oleh anggota kelompok. Dalam kelompok juga dibuat pengaturan termasuk sanksi bagi yang tidak mematuhinya, misalnya kewajiban menanam sepuluh batang kayu bagi yang tidak ikut gotong royong. Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika pembangunan hutan rakyat sudah berhasil, aktivitas kelompok menurun. Pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasaanya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasaanya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok hanya digunakan untuk arisan simpan-pinjam. Awang et.al 2001 mengatakan bahwa menurunnya dinamika kelompok selain disebabkan oleh tidak adanya pembinaan dari pemerintah, juga karena praktek hutan rakyat berbasis lahan milik individu sehingga peranan kelompok lemah. Ikatan kelompok hanya didasarkan pada “paguyuban” sebagai wujud dari social rasionallity mereka. Sejak tahun 2002 hingga sekarang hutan rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional REhabilitas Hutan dan Lahan GNRHL, yang sering disebut GERHAN, yang dicanangkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sejak 2002 telah meningkatkan luas hutan rakyat di daerah-daerah kritis, termasuk di Wonogiri. Sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri dimulai pada tahun 2003, dengan pengembangan kapasitas organisasi hutan rakyat melalui kerjasama dengan Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial PERSEPSI, Lembaga Ekolabel Indonesia LEI dan World Wildlife Fund WWF untuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari PHBML di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri pada 2004.

4.5.1. Sejarah Hutan Rakyat Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip

Kondisi hutan rakyat di Kelurahan Selopuro yang saat ini sudah banyak dipenuhi oleh pepohonan sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Dahulu, lahan di desa ini termasuk lahan kritis yang gersang, gundul, tandus, dan terdiri dari batuan bertanah dengan kelerengan yang cukup curam. Menurut Mulyadi dan Soepraptohardjo 1975, diacu dalam Rosa 2003, lahan kritis sering diartikan sebagai lahan-lahan yang secara potensial tidak mampu berperan dalam salah satu atau beberapa fungsi, yaitu: 1 Unsur produksi pertanian fungsi pertanian, 2 Media pengatur tata air fungsi hidrologi, dan 3 Media pelindung alam lingkungan fungsi orologi. Dengan kondisi demikian, petani menjadi tidak mau memanfaatkan lahan, sehingga banyak ditumbuhi alang-alang dan lambat laun kelangkaan lahan pertanian produktif mulai dirasakan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka mulai menanami lahan dengan tanaman pangan, antara lain: padi, jagung, dan kedelai pada musim penghujan. Namun dengan keadaan lahan yang kurang mendukung tanpa diiringi tindakan silvikultur dan konservasi tanah, membuat usaha tersebut menjadi sia-sia dan hanya menghasilkan erosi serta penurunan produktivitas tanah. Oleh karena itu, usaha untuk menanami lahan dengan tanaman pangan dihentikan sementara waktu. Seiring berjalannya waktu, kondisi pun semakin parah karena tidak hanya kelangkaan pangan yang terjadi tetapi juga kesulitan mendapatkan air terutama saat musim kemarau tiba. Pada tahun 1972, ada proyek WFP World Food Program sebagai upaya bantuan pangan dalam rangka memperbaiki lingkungan melalui rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi tersebut berupa penanaman pohon dengan jenis eukaliptus Eucalyptus alba, akasia Acacia auriculiformis, dan kaliandra Caliandra calothyrsus pada lahan kritis seluas ± 50 ha. Namun, karena belum terbentuk suatu kesadaran terhadap arti penting hutan dan karena konsentrasi utama petani hanya pada tanaman pangan, maka program ini dapat dikatakan tidak berhasil. Pohon-pohon yang telah ditanam tidak dipelihara bahkan ada juga beberapa yang dicabut. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka yang rendah sehingga tidak sedikit dari mereka beranggapan bahwa tidak akan ada yang bisa dimakan bila lahannya ditanami kayu. Respon yang kurang baik ini tidak menyurutkan semangat para penggiat desa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pohon bagi kelangsungan hidup mereka. Akhirnya, sedikit demi sedikit para penggiat desa yang dipelopori oleh Misman dan Tayat saat itu, mendekati warga dengan memberi pandangan pentingnya menanam pohon sekaligus melakukan penyulaman dengan jenis jati, mahoni, dan akasia pada pohon hasil proyek yang tidak tumbuh. Usaha itu pun berbuah manis dengan seiring berkembangnya kesadaran warga. Mereka menyadari bahwa dengan tidak mencabut pohon dan membiarkannya hidup hingga besar, ternyata dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka, diantaranya yaitu sebagai bahan bangunan rumah atau untuk dijual. Pada tahun 1976-1977 pemerintah mengadakan program penghijauan di Kabupaten Wonogiri melalui proyek Reboisasi dan Penghijauan INPRES dengan memberikan bantuan bibit tanaman akasia Acacia auriculiformis sebanyak 400 batangha, pupuk, dan upah penanaman, serta biaya pemeliharaan selama satu tahun. Kelurahan Selopuro yang juga termasuk penerima program tersebut, sejak saat itu mulai menanam dengan lebih terarah dan terprogram. Kegiatan ini meliputi seluruh wilayah desa pada lahan-lahan yang tidak lagi produktif, ditinggalkan, dan liar. Melalui kegiatan ini, petani juga dibekali dengan penyuluhan tentang pengetahuan konservasi tanah, sehingga lahan yang mulanya berbatu diubah menjadi petak-petak berteras guna mencegah erosi.