kuantitatif pada unsur modal sosial dengan unit analisis pada tingkat individu rumah tangga dipilih secara acak di setiap desa. Selain wawancara
pada individu rumah tangga, juga dilakukan wawancara kelompok fokus dengan para pemimpin desa. Pada model ini digunakan 6 enam unsur
modal sosial dari kategori struktural dan kognitif. Unsur modal sosial kategori struktural berhubungan dengan hubungan sosial yakni: a peran;
b jaringan; dan c aturan. Unsur modal sosial kategori kognitif berhubungan dengan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang
diorientasikan kepada pihak lain, yakni: a kepercayaan; b timbal balik; dan c solidaritas. Analisis yang digunakan adalah menggunakan analisis
korelasi dan regresi.
2.5. Konsep Hutan Rakyat
Hutan rakyat sampai saat ini masih didefinisikan secara beragam. Undang- Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 mendefinisikan hutan rakyat adalah hutan
yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak
dibebani hak milik atau tanah negara. Selanjutnya di dalam bab penjelas disebutkan bahwa hutan milik tersebut lazimnya disebut hutan rakyat . Pengertian
hutan rakyat secara sederhana adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik perorangan, kelompok ataupun lembaga.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 49Kpts-111997 mendefiniskan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal
0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan lebih dari 50, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Menurut Raharjo
2007 hutan rakyat diartikan sebagai kelompok pohon-pohonan yang didominasi oleh tumbuhan berkayu, luas dan kerapatannya cukup sehingga dapat
menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya, dikelola dan dikuasai oleh rakyat. Sementara Haryono 1996 mendefinisikan hutan rakyat
adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik yang terdiri dari pohon-pohon berkayu yang diusahakan secara monokultur atau campuran, baik
yang ditanam atas usaha sendiri maupun dengan bantuan pemerintah.
Menurut Suharjito et al. 2000, definisi hutan rakyat tersebut kurang mengutamakan rakyat sebagai pelaku pengelolaan dan membiarkan kemungkinan
adanya hutan diatas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata ‘rakyat” seyogyanya lebih ditunjukan
kepada pengelola yaitu “rakyat kebanyakan”, bukan pada status kepemilikan tanahnya. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan dipertahankan,
maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta sedang dan besar menguasai tanah milik untuk pengusahaan hutan. Namun tidak
menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan rakyat.
Kartodihardjo 1996 menjelaskan bahwa apabila hutan rakyat dipandang dari sudut kepemilikan dan bentuk pengambilan keputusan dapat memberikan
paling tidak empat tipe kondisi, yaitu 1 pemilikan komunal, pengambilan keputusan komunal, 2 pemilikan komunal pengambilan keputusan individual,
3 pemilikan individual, pengambilan keputusan komunal, dan 4 pemilikan individual, pengambilan keputusan individual.
Istilah hutan rakyat berkaitan dengan pemilikan property dari suatu kawasan hutan yang dimiliki oleh rakyat. Istilah hutan rakyat digunakan untuk
membedakan dengan hutan yang tumbuh di atas lahankawasan yang dikuasai oleh negara. Awang et al. 2007 menyebutkan bahwa terminologi pemerintah
dan lembaga perguruan tinggi di Indonesia menyebut semua pohon dan pohon buah-buahan yang ditanam di lahan milik yang memiliki fungsi ekonomi,
lingkungan dan sosial budaya disebut hutan rakyat yang berarti sumberdaya hutan berupa pekarangan, tegalan dan “wono” yang secara penuh dimiliki oleh
masyarakat. Awang et al. 2007 menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah
bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi
keluarga pemilik. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangannya ke depan dinilai kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi
dengan pedagang dan industri dan tidak dapat menjamin adanya sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutan.
Wijayanto 2006 menyatakan bahwa pada umumnya permasalahan yang sering dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain adalah, pertama
keterbatasan masyarakat dalam pengetahuan teknik silvikultur, kedua keterbatasan modal masyarakat dalam mengembangkan usaha hutan rakyat, ketiga luas
pemilikan lahan yang relatif sempit dan terpencar sehingga menyulitkan pengelolaan dalam satu manajemen, keempat pembinaan yang tidak berkelanjutan
dan hanya berorientasi pada proyek, kelima kualitas sumberdaya manusia masyarakat masih rendah, keenam kurang adanya koordinasi dari berbagai pihak
baik pemerintah maupun pihak lainnya untuk mendukung pengelolaan hutan rakyat, dan ketujuh belum mantapnya tata niaga dan informasi pasar kayu rakyat
sehingga peranan tengkulak masih sangat dominan dalam menentukan harga kayu hutan rakyat.
Hutan rakyat di Jawa mempunyai karakteristik yang berbeda baik dari segi budidaya maupun status kepemilikannya dibandingkan dengan di luar Jawa.
Budidaya dan manajemen pengelolaan hutan rakyat di Jawa relatif lebih intensif dan lebih baik dibandingkan dengan di luar Jawa. Disamping itu juga status
kepemilikan lahan dengan tata-batas yang lebih jelas serta kondisi-kondisi lain seperti pasar, informasi dan aksessibilitas yang relatif lebih baik. Hutan rakyat di
Jawa pada umumnya sangat sempit, sehingga mendorong pemiliknya untuk memanfaatkan secara optimal. Secara umum masyarakat membudidayakan
tanaman yang bernilai tinggi, cepat menghasilkan dan tanaman konsumsi sehari- hari Darusman dan Hardjanto 2006. Menurut Jariyah dan Wahyuningrum
2008, karakteristik hutan rakyat di Jawa dapat terbagi dalam hutan rakyat murni yang ditanami kayu-kayuan, hutan rakyat yang ditanam kayu dan tanaman buah-
buahan serta tanaman rakyat yang ditanami kayu, buah-buahan dan empon-empon seperti kebanyakan hutan-hutan rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Menurut Awang et al. 2007, pada suatu hamparan lahan masyarakat Jawa, ditemukan adanya simbiosis antara tanaman pangan, tanaman pakan ternak
dan tanaman pohon-pohonan. Ini merupakan hasil kebudayaan masyarakat yang mampu membentuk ekologi tersendiri. Tanaman keras yang ditanam hanya
terfokus pada tanaman tertentu, yaitu pada pohon-pohon yang sudah terdomestifikasi sudah dibudidayakan oleh masyarakat.
Selanjutnya Awang et al. 2007 menjelaskan bahwa hasil utama hutan rakyat dapat berupa : a kayu, seperti sengon Paraserianthes falcataria, jati
Tectona grandis, akasia Acacia sp., mahoni Swetenia mahagoni, suriansuren Toona sureni dan lain-lain; b getah, seperti kemenyan Styrax benzoin dan
damar Shorea javanica; dan c berupa buah, seperti kemiri Aleurites moluccana
, durian Durio zibethinus, tengkawang Shorea spp. dan kelapa Cocos nucifera. Keberadaan pohon-pohon pada lahan pertanian masyarakat
dapat berperan : a memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dalam rangka melestarikan tanaman pertanian dengan cara memperbaiki asupan nutrisi lahan
dan energi; b melestarikan sumber-sumber ekonomi keluarga. Semua pohon- pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan
sosial budaya. Hutan rakyat dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: 1 Hutan rakyat
tradisional, yaitu hutan rakyat yang ditanam di atas tanah milik dan atas inisiatif pemiliknya sendiri tanpa adanya subsidi atau bantuan dari pemerintah, 2 Hutan
rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui kegiatan atau program bantuan penghijauan LP IPB 1990. Berdasarkan jenis tanaman dan pola
penanamannya hutan rakyat digolongkan kedalam tiga bentuk Haryono 1996, yaitu:
1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman
pokok yang ditanam dan diusahan secara homogen atau monokultur. 2.
Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.
3. Hutan rakyat sistem agroforestry atau tumpangsari, yaitu hutan rakyat yang
mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan usahatani lainnya, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain secara
terpadu pada satu lokasi.
2.6. Pengelolaan Hutan Rakyat
Pengelolaan hutan rakyat sudah ada sejak lama dan terus dikembangkan dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat. Hal ini didorong dengan adanya
prospek yang cerah akan keberadaan hutan rakyat untuk mendukung pasokan
bahan baku industri tanpa mengabaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan pemilik lahan khususnya Sukadaryati 2006.
Tujuan pengelolaan hutan rakyat menurut Lembaga penelitian IPB 1990 antara lain: 1 adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan
pendapatan; 2 adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap kualitas lingkungan secara berkesinambungan; dan 3 adanya peningkatan peran dari
hutan rakyat terhadap pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan. Sedangkan menurut Sumitro 1985, dalam Setyawan 2002, menyatakan bahwa
tujuan pembangunan hutan rakyat antara lain: 1 memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif atau yang karena keadaan lapangan dan
tanahnya tidak sesuai untuk pertanian tanaman pangan; 2 untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya petani akan kebutuhan kayu bakar maupun
kayu perkakas serta jenis hasil hutan lainnya; 3 meningkatkan pendapatan masyarakat petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan dan 4 memperbaiki
tata air dan lingkungan, khususnya lahan hutan yang ada di kawasan perlindungan daerah aliran sungai.
Menurut Lembaga Penelitian IPB 1990 ada tiga sub sistem yang saling terkait dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, yaitu sub sistem produksi, sub
sistem pengolahan hasil dan sub sistem pemasaran hasilnya. Perincian komponen yang terdapat pada setiap sub sistem adalah sebagai berikut:
1. Sub sistem produksi adalah tercapainya kesimbangan produksi dalam jumlah
jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan rakyat. Sub sistem ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu
penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. 2.
Sub sistem pengolahan hasil adalah proses sampai menghasilkan bentuk, produk akhir yang dijual oleh para petani hutan rakyat atau dipakai sendiri.
3. Sub sistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjualan yang
optimal, dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual dipasaran.
Selanjutnya lembaga penelitian IPB 1990 menjelaskan bahwa pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-
kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan dan menilai serta mengawasi
pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat ini adalah
peran kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilikpengusahanya secara terus menerus selama daur.
Satuan periode waktu terbesar yang dipakai dalam mengukur kesinambungan hasil adalah jangka waktu 1 tahun. Hal ini dimaksudkan agar
pendapatan dari hutan rakyat dapat memberikan tambahan terhadap pendapatannya pada setiap periode waktu yang relative pendek, maksimum untuk
setiap periode 1 tahun sepanjang daur Lembaga Penelitian IPB 1990. Selanjutnya lembaga penelitian IPB 1990 menjelaskan bahwa. Pengaturan
hasil pada hutan rakyat menggunakan metode jumlah batang atau manajemen pohon, yaitu pengelolaan pohon demi pohon dari berbagai struktur tanaman yang
terdapat pada lahan milik yang bertujuan untuk kelestarian pendapatan bagi setiap petani hutan rakyat.
Sistem pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat memiliki performansi atau kinerja. Performansi hutan rakyat yang dimaksud adalah
produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efesiensi. Mengacu pada Conway 1987 dalam Suharjito et al. 2000 produktivitas didefinisikan sebagai out-put
produk bernilai perunit sumber daya. Keberlanjutan didefinisikan sebagai kemampuan suatu agroekosistem untuk menjaga produktivitas dari waktu ke
waktu. Keadilan didefinisikan sebagai pemerataan distribusi produk dari agroekosistem diantara yang berhak menerima manfaat dan dengan terdefinisinya
property rights dengan baik maka akan tercapai efesiensi.
Menurut Suharjito et al. 2000 performansi tersebut antara lain dipengaruhi oleh : 1 sistem pengelolaan, yaitu sistem penguasaan dan pengambilan
keputusan apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan keputusan pengelolaan mempengaruhi responsibilitas terhadap
ekonomi pasar dan model ekonomi sosialnya; 2 Orientasi usaha, apakah sub- sisten atau komersial. Tingkat sub-sisten dan komersialisasi merupakan ukuran
responsibilitas terhadap ekonomi pasar; 3 Jenis dan keragaman produk yang dikonsumsi atau dipasarkan merupakan respon terhadap kebutuhan pasar yang
sekaligus mempengaruhi performansi pengelolaannya.