Budaya Organisasi dan Struktur sosial masyarakat Kelurahan Selopuro dan
4. Karang Taruna adalah lembaga yang anggotanya anak muda. Namun, karena
di dua lokasi tersebut sebagian besar anak muda generasi muda pada merantau ke kota, maka yang menjadi anggotanya adalah orang tua generasi
tua. Lembaga karang taruna ini, ada pada tingkat lingkungandusun dan ada juga pada tingkat kelurahandesa. Kegiatannya meliputi kegiatan kepemudaan.
Pertemuan dilaksanakan setiap bulan sekali dan tempat pertemuan di rumah ketua lingkungandusun dan di kantor kelurahandesa.
5. Kelompok Tani KT di Kelurahan Selopuro adalah lembaga yang bergerak di
bidang pertanian dan anggotanya semua warga yang berada di tingkat lingkungan, sedangkan anggota KT di Desa Belikurip adalah tidak semua
warga yang berada di tingkat dusun masuk anggota KT. Kegiatannya meliputi kegiatan pertanian adanya bantuan subsidi pemerintah seperti benih, bibit,
pupuk, dan lainnya. Pertemuan dilaksanakan setiap bulan sekali dan tempat pertemuan di rumah ketua kelompok tani.
6. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat LPM dan Lembaga Keamanan
Masyarakat Desa LKMD adalah lembaga yang anggotanya dari tokoh-tokoh informal masyarakat kelurahandesa. Pertemuan dilaksanakan setiap bulan
sekali dan tempat pertemuan di kantor LPMLKMD. 7.
Gabungan Kelompok Tani Gapoktan Sedyo Makmur dan Gapoktan Beliurip adalah lembaga yang merupakan gabungan kelompok tani yang ada di
Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip. Kegiatannya meliputi kegiatan pertanian memfasilitasi adanya bantuan subsidi pemerintah seperti benih,
bibit, pupuk, modal dan lainnya. Pertemuan dilaksanakan setiap dua bulan
sekali dan tempat pertemuan di kantor kelurahandesa. 4.5.
Sejarah Hutan Rakyat Wonogiri
Lokasi penelitian di Kabupaten Wonogiri termasuk dalam Zona Pegunungan Seribu Sewu atau sering disebut Pegunungan Kapur Selatan, yaitu
salah satunya Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri. Sejarah hutan rakyat di Pegunungan Kapur Selatan, menurut Awang et. al. 2001
dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu: 1 sebelum tahun 1960 periode kritis; 2 1960-1970 periode penanaman mandiri; 3 1970-1985 periode intensifikasi;
dan 4 1985-sekarang periode permudaan alam.
Periode I sebelum tahun 1960, yang disebut juga dengan periode kritis, ditandai dengan hamparan batu bertanah yang kritis dan hanya ditumbuhi rumput
ataupun semak pada lahan milik maupun lahan negara. Jarang sekali dijumpai tanaman kayu-kayuan. Masyarakat mempertahankan hidupnya dengan menanam
tanaman pangan seperti jagung dan ketela pohon, serta padi bila musim penghijauan tiba. Akibatnya kondisi lahan semakin parah dan tanah menjadi jenuh
sehingga tidak lagi dapat menghasilkan tanaman pangan. Sementara itu tanaman kayu lokal, seperti trembesi, sengon terus ditebang untuk dijual sebagai kayu
bakar. Uang hasil penjualan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi ini semakin memperpuruk kekritisan lahan, dan masyarakat semakin
miskin, kekurangan pangan dan terjadilah busung lapar. Periode 2 1960-1970, karena kondisi yang mendesak tersebut, masyarakat
beserta tokoh masyarakat kemudian mencari solusi. Lahan-lahan yang sudah jenuh ditanami dengan tanaman kayu-kayuan, diawali dengan penanaman mahoni
dan jati. Pada periode ini penanaman tanaman kayu-kayuanoleh masyarakat dilakukan secara swadaya. Para tokoh masyarakat menanami lahan miliknya
dengan tanaman jati dan mahoni, dengan bibit yang didapatkan dari anak-anakan kayu alam, baik di lingkungan maupun dari lahan Negara yang sudah berhutan.
Kegiatan para tokoh mencari bibit dan menanam ini diikuti oleh warga masyarakat lain. Kegiatan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya kelompok
tani. Pada periode 3 1970-1985, yang disebut penanaman insentif, pemerintah
sudah mulai campur tangan dalam pembinaan, melalui beberapa proyek seperti MALU Mantri-Lurah yang dilakukan oleh perum PERHUTANI dan proyek
penghijauan oleh kementerian kehutanan. Bantuan penghijauan oleh pemerintah dilakukan melalui penyebaran bibit akasia maupun katalina sejenis lamtoro
melalui udara. Masyarakat melakukan tumpangsari tanaman kayu dengan tanaman pangan yang masih bisa tumbuh. Masyarakat mulai melakukan tata guna
lahan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan lokal mereka. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya terbentuk bermacam-macam kelompok tani dan
Kebun Bibit Desa KBD.
Pada periode 4 1985-2002, ditandai dengan melimpahnya anakan alami di bawah tegakan tua, baik jati maupun mahoni. Masyarakat melakukan permudaan
dan pengayaan dengan mendistribusikan anakan alami secara merata, dengan melalui teknik puteran dan cabutan. Anakan-anakan alami ini ditanam dengan
jarak yang tidak beraturan, mengingat kondisi lahan yang bergelombang dan berbatu. Pada periode ini Kebun Bibit Desa yang dikenalkan oleh pemerintah
sebagai upaya menjamin ketersediaan bibit penghijauan di desa tidak lagi efektif karena masyarakat melakukan permudaan dengan menggunakan anakan alami
yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan karena dinilai lebih efisien, lebih murah dan adaptasi bibit lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Kebun Bibit
Desa. Pada periode empat ini mulai dilakukan penebangan kayu baik untuk
keperluan sendiri maupun untuk mendapatkan uang tunai. Walaupun penebangan dilakukan, masyarakat tetap melakukan penghutanan kembali secara swadaya.
Menurut Awang et.al 2001 pada mulanya keberhasilan gerakan penanaman tanaman keras oleh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari peranan kelompok
tani. Pekerjaan pembuatan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan dilakukan bersama oleh anggota kelompok. Dalam kelompok
juga dibuat pengaturan termasuk sanksi bagi yang tidak mematuhinya, misalnya kewajiban menanam sepuluh batang kayu bagi yang tidak ikut gotong royong.
Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika pembangunan hutan rakyat sudah berhasil, aktivitas kelompok menurun. Pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi
kebiasaanya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasaanya sudah berbeda jauh
dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok hanya digunakan untuk arisan simpan-pinjam. Awang et.al 2001 mengatakan bahwa menurunnya
dinamika kelompok selain disebabkan oleh tidak adanya pembinaan dari pemerintah, juga karena praktek hutan rakyat berbasis lahan milik individu
sehingga peranan kelompok lemah. Ikatan kelompok hanya didasarkan pada “paguyuban” sebagai wujud dari social rasionallity mereka.