3.3 Pengumpulan Larva Anopheles spp.
Larva dikoleksi menggunakan cidukan plastik standar WHO dengan kapasitas 400 cc. Pencidukan larva dilaksanakan oleh empat orang dengan
frekuensi 20 kali per orang untuk setiap habitat. Pencidukan dilakukan di pinggir dan di tengah habitat perkembangbiakan secara merata. Larva yang tertangkap
dipelihara, diberi makan serbuk hati, dan diidentifikasi spesiesnya setelah menjadi nyamuk. Identifikasi nyamuk menggunakan kunci identifikasi dari O’Connor dan
Soepanto 1999. Kegiatan pengumpulan larva Anopheles spp. dilakukan pada lima area tata
guna lahan, yaitu permukiman, persawahan, semak belukar, hutan dan pantai. Yang dimaksud dengan permukiman adalah area perumahan dan kondisi
lingkungan di sekitar tempat tinggal manusia. Persawahan adalah area tempat menanam padi dan sejenisnya. Semak belukar adalah area tempat tumbuhnya
tanaman liar, seperti rerumputan dan tanaman perdu yang jaraknya minimal 500 m dari permukiman. Hutan adalah area tempat tumbuhnya tanaman besar,
pepohonan dan tanaman rawa-rawa yang jarang dikunjungi manusia. Pantai adalah area pesisir laut yang berbatasan langsung dengan laut, dengan jarak
minimal 500 m dari permukiman.
3.4 Pengukuran dan Pengamatan Karakteristik Habitat Perkembangbiakan
Larva Anopheles spp.
Karakteristik habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diperoleh dengan melakukan pengamatan dan pengukuran terhadap jenis habitat, luasan,
ketinggian, kedalaman, dasar habitat, salinitas air, suhu air, pH air, arus air, jenis- jenis gulma air, tinggi tinggi air dan kerapatan gulma air. Pengukuran dan
pengamatan karakteristik habitat dilakukan satu kali terhadap semua habitat yang ada di lokasi penelitian, yang dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Agustus
dan September 2008.
3.4.1 Jenis Habitat
Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diamati secara langsung, dan dicatat jenisnya seperti tambak terbengkalai, bak benur terbengkalai, kolam,
lagun, rawa-rawa, parit, sungai, sawah, saluran irigasi, sumur, kubangan, kobakan, baik air, dan lain-lain.
3.4.2 Luasan Habitat
Luasan habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diukur menggunakan alat meteran gulung, dengan satuan meter m. Pengukuran
dilakukan dengan mengelilingi tepian habitat.
3.4.3 Ketinggian Habitat
Ketinggian habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diukur menggunakan alat GPS geografical positioning system. Hasil pengukurannya
dinyatakan dalam meter di atas permukaan laut. Pengukuran dilakukan dengan mengaktifkan GPS di lokasi habitat larva Anopheles spp., kemudian dicatat
ketinggian lokasi tersebut.
3.4.4 Kedalaman Habitat
Kedalaman habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diukur menggunakan alat meteran kayu, dengan satuan senti meter cm. Kedalaman
habitat adalah jarak antara pemukaan air dengan dasar habitat. Pengukuran dilakukan dengan memasukan meteran kayu sampai menyentuh dasar habitat,
kemudian batas permukaan air pada meteran dicatat untuk melihat kedalaman habitat.
3.4.5 Dasar Habitat
Dasar habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diamati secara langsung apakah berupa lumpur, pasir, batu kecil, batu sedang, batu besar, semen
dan lain-lain.
3.4.6 Salinitas Air
Salinitas air diukur menggunakan alat Refractometer, dengan satuan per mil ‰. Pengukuran dilakukan dengan meneteskan air pada permukaan obyek
pengamatan di bagian ujung Refractometer, kemudian diteropong dan dicatat hasilnya. Salinitas air diukur pada siang hari di tempat pengamatan habitat.
3.4.7 Suhu Air
Suhu air diukur menggunakan alat termometer air raksa bentuk batang, dengan satuan derajat celcius
C. Pengukuran suhu dilakukan dengan mencelupkan ujung termomoter selama tiga menit, kemudian diamati posisi air
raksa, dan dicatat suhu airnya. Pengukuran suhu air dilakukan pada siang hari di tempat pengamatan habitat.
3.4.8 pH Air
Derajat keasaman pH air diukur menggunakan kertas lakmus. Pengukuran pH dilakukan dengan mencelupkan kertas lakmus ke dalam air, kemudian kertas
dikeringkan selama lima menit, selanjutnya perubahan warna disesuaikan dengan warna standar, dan dicatat nilai pH airnya. Pengukuran pH air dilakukan pada
siang hari di tempat pengamatan habitat.
3.4.9 Arus Air
Arus air diamati secara langsung apakah mengalir atau tidak, jika mengalir seberapa cepat alirannya diukur dengan meletakan material yang mengapung di
atas permukaan air, kemudian dihitung kecepatannya dengan satuan meter per menit. Arus air dikatagorikan menjadi empat yaitu ”tidak mengalir” jika
kecepatan air 0 meter per menit, ”mengalir lambat” jika kecepatan air 0,1-10 meter per menit, ”mengalir sedang” jika kecepatan air 10,1-25 meter per menit
dan ”mengalir cepat” jika 25 meter per menit.
3.4.10 Gulma Air
Gulma air diamati secara langsung, jika terdapat gulma air diidentifikasi jenisnya. Tinggi gulma air diukur dari permukaan air menggunakan meteran,
dengan satuan senti meter cm. Kerapatan gulma air dikategorikan menjadi sangat rapat apabila 75 permukaan air tertutup gulma air, rapat 50-75,
sedang 25-50, jarang 25.
3.5 Pengumpulan Nyamuk Anopheles spp. Dewasa
3.5.1 Penangkapan Nyamuk Anopheles spp. Malam Hari
Penangkapan nyamuk malam hari dibedakan menjadi dua kegiatan, yaitu kegiatan survei longitudinal dan pemetaan. Penangkapan nyamuk untuk survei
longitudinal menggunakan metode human landing collection HLC, dari jam 18.00-06.00. Penangkapan nyamuk dilakukan pada tiga rumah, masing-masing di
luar dan di dalam rumah. Waktu penangkapan nyamuk dilakukan 45 menit untuk setiap jam, per malam. Kegiatan survei longitudinal ini dilaksanakan selama satu
tahun, mulai dari Agustus 2008 sampai dengan September 2009, dengan frekuensi penangkapan empat malam per bulan. Untuk kegiatan pemetaan penangkapan
nyamuk dilakukan di 30 dusun yang terpilih. Penangkapan nyamuk dengan metode yang sama dilakukan oleh tiga orang, selama tiga malam per dusun, di
luar rumah dengan jarak 200-300 m. Identifikasi nyamuk menggunakan kunci identifikasi dari O’Connor dan Soepanto 1999.
3.5.2 Penangkapan Nyamuk Anopheles spp. Pagi Hari
Penangkapan nyamuk pagi hari bertujuan untuk mengetahui tempat nyamuk beristirahat. Penangkapan nyamuk pagi hari dilaksanakan oleh empat orang,
masing-masing dua orang di luar dan di dalam rumah. Penangkapan nyamuk dilakukan pada jam 06.00-09.00, tiap bulannya selama empat hari, selama satu
tahun, mulai Agustus 2008 sampai dengan September 2009. Identifikasi nyamuk menggunakan kunci identifikasi dari O’Connor dan Soepanto 1999.
3.5.3 Pemeriksaan Paritas
Pemeriksaan paritas digunakan untuk mengetahui apakah nyamuk sudah menghisap darah parus atau belum nuliparus. Pemeriksaan paritas dilakukan
dengan cara pembedahan abdomen nyamuk. Pembedahan nyamuk diawali dengan meneteskan cairan NaCl 10 di atas obyek gelas. Nyamuk Anopheles yang tidak
berisi darah unfed diletakkan di atas obyek gelas, kemudian toraks dan abdomen ke tujuh ditusuk dengan dengan jarum bedah. Abdomen nyamuk diletakkan di
atas cairan NaCl 10, kemudian jarum bedah pada abdomen ketujuh ditarik hingga ovarium keluar. Bentuk ovarium yang masih utuh terdapat bundelan
dinyatakan nyamuk nuliparus, sedangkan bentuk ovarium yang sudah terurai berarti nyamuk parus WHO 2003. Pembedahan nyamuk dilakukan di bawah
mikroskop stereo, sedangkan bentuk ovarium dilihat di bawah mikroskop compound
. 3.5.4
Pemeriksaan Circumsporozoite CS Protein ELISA
Pemeriksaan CS protein dengan menggunakan teknik ELISA Enzyme linked immunisorbent assay
untuk menentukan status vektor. Pemeriksaan ELISA dilakukan di Lembaga Eijkman Jakarta.
Pemeriksaan ELISA diawali dengan menyiapkan sampel nyamuk yang akan diuji sirkum protein sporozoitnya dengan menggerus kepala dan toraks nyamuk
dalam larutan blocking buffer dan NP40. Selanjutnya menyiapkan dua buah plate Elisa, ke dalam plate pertama dimasukan larutan antibodi monoklonal
Plasmodium vivax dan pada plate ke dua dimasukkan AB monoklonal P.
falciparum. Plate diinkubasi dalam suhu ruang selama 30 menit, kemudian sisa
AB monoklonal dibuang hingga bersih. Setelah itu gerusan nyamuk homogenat setiap spesimen dimasukkan ke dalam lubang-lubang plate ELISA, satu lubang
untuk satu spesimen, dilakukan pada plate A untuk inkriminasi P. falciparum dan plate B untuk P. vivax. Untuk pengujian ini diperlukan kontrol positif dan
kontrol negatif. Plate ELISA diinkubasi selama dua jam pada suhu ruang, setelah dua jam plate ELISA dicuci dua kali dengan larutan PBS_tween. Ke dalam plate
ELISA ditambahkan monoklonal antibodi Mab peroksidase konjugat dan BB untuk P. falciparum dan P. vivax. Setelah 1 jam plate dicuci dengan PBS_tween
sebanyak tiga kali. Kemudian tambahkan 10 µl larutan ABTS+H2O2.
Perubahan warna akan terjadi dalam 1-2 menit, menunjukkan bahwa enzim peroksidase dan substrat berfungsi. Penilaian adanya sirkum sporozoit secara
visual adalah dengan melihat adanya perubahan warna pada plate Elisa, yaitu menjadi berwarna hijau. Selain itu, hasilnya ditunjukkan berdasarkan nilai
absorbsi pada hasil cetakan mesin ELISA. Bila angka absorbsi di atas angka kontrol positif, maka spesimen dikatakan positif mengandung sirkum protein
sporozoit Balitbangkes 2009.
3.6 Pemetaan Sebaran Larva dan Nyamuk Anopheles spp.
Pencatatan titik koordinat sebaran larva dan nyamuk Anopheles spp. menggunakan alat GPS geografical positioning system. Titik koordinat larva
Anopheles spp. diambil berdasarkan keberadaan larva pada habitat
perkembangbiakan. Adapun titik koordinat nyamuk Anopheles spp. diambil berdasarkan penangkapan nyamuk di 30 dusun terpilih.
3.7 Pengumpulan Data Sekunder
3.7.1 Pengumpulan Data Cuaca
Data cuaca diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG Raden Intan Lampung Selatan. Stasiun pengamatan ini terletak di Desa
Padangcermin dengan jarak tiga km dari tempat penangkapan nyamuk untuk survei longitudinal. Data cuaca yang diambil adalah suhu udara, kelembaban
udara dan curah hujan. Data cuaca diambil mulai bulan September 2008 sampai dengan September 2009.
3.7.2 Pengumpulan Data Kasus Malaria
Data kasus malaria diperoleh dari Puskesmas di wilayah Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin, yaitu Puskesmas Waymuli, Hanura dan
Padangcermin. Data kasus malaria diambil mulai bulan November 2008 sampai dengan September 2009.
3.8 Analisis Data
3.8.1 Analisis Data Keragaman dan Kelimpahan Nisbi Larva Anopheles
spp.
Keragaman larva Anopheles spp. dihitung berdasarkan indeks keragaman Shanon Wiener Odum 1993, sedangkan angka kelimpahan nisbi digunakan
untuk mengetahui spesies dominan WHO 2003. Perbedaan keragaman larva Anopheles
spp. pada area tata guna lahan dan keragaman Anopheles spp. di antara dua lokasi penelitian Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin dianalisis
menggunakan uji T, dengan α=0,05.
∑
=
=
s i
i i
ep p
H
1
log
Keterangan : H
= Indeks Shannon Wiener Pi
= Proporsi spesies ke i dalam komunitas
100 x
b a
N =
Keterangan : N
= Kelimpahan Nisbi a
= Jumlah pesies tertentu b
= Total spesies
3.8.2
Analisis Data Karakteristik Habitat
Karakteristik habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. dianalisis secara deskripsi, meliputi jenis habitat, luasan, kedalaman, dasar habitat, suhu air,
pH air, salinitas air, arus air, jenis-jenis gulma air, tinggi gulma air dan kerapatan gulma air. Besar risiko bak benur yang tidak digunakan untuk memelihara udang
terbengkalai sebagai habitat larva A. sundaicus dianalisis menggunakan perhitungan odd ratio OR Murti 1997. Faktor risiko lainnya yang dianalisis
yaitu besar risiko keberadaan serasah, lumut dan ikan predator terhadap keberadaan larva A. sundaicus pada bak benur yang terbengkalai.
3.8.3 Analisis Data Kepadatan Nyamuk Anopheles spp.
Nyamuk Anopheles spp. yang hinggap di badan per orang per jam dihitung berdasarkan nilai man hour density MHD, sedangkan nyamuk Anopheles spp.
hinggap di badan per orang per malam dihitung berdasarkan nilai man biting rate MBR. Nilai MHD dihitung berdasarkan jumlah nyamuk yang hinggap di badan
per jam dibagi dengan jumlah penangkap dikali waktu penangkapan dalam jam. Adapun nilai MBR dihitung berdasarkan jumlah nyamuk yang hinggap di badan
per malam dibagi jumlah penangkap dikali waktu penangkapan WHO 2003 Σ Anopheles spesies tertentu yang tertangkap
MHD= Σ kolektor x Σ waktu penangkapan jam
Keterangan : MHD = Man hour density Jumlah Anopheles hinggap di badan per orang per jam
MBR = Man biting rate Jumlah Anopheles hinggap di badan per orang per malam
Fluktuasi MHD ditampilkan bentuk grafik selama 12 jam 18.00-06.00, di dalam dan di luar rumah. Adapun fluktuasi MBR dirata-ratakan tiap bulannya dan
ditampil bentuk grafik selama satu tahun, di dalam dan di luar rumah. Hasil penangkapan nyamuk per bulan hampir seluruhnya mendapatkan A. sundaicus,
maka fluktuasi MBR satu tahun adalah MBR A. sundaicus.
3.8.4 Analisis Data Paritas Nyamuk Anopheles spp.
Angka paritas Anopheles spp. fluktuasinya ditampilkan selama 12 jam, jam 18.00-06.00, di luar dan di dalam rumah. Angka paritas dihitung berdasarkan
jumlah nyamuk parus dibagi dengan jumlah nyamuk yang dibedah parus dan nuliparus WHO 2003. Angka paritas dirata-ratakan setiap bulan, fluktuasinya
ditampilkan selama satu tahun, di luar dan di dalam rumah.
nuliparus parus
dibedah yang
Anopheles nyamuk
parus Anopheles
nyamuk paritas
Angka +
Σ Σ
=
3.8.5 Analisis Data Perilaku Anopheles spp. Menghisap Darah dan
Beristirahat
Perilaku Anopheles spp. menghisap darah dihitung persentasenya di luar dan di dalam rumah. Kebiasaan Anopheles spp. beristirahat ditampilkan tempatnya
dan dihitung persentase tempat beristirahat di luar dan di dalam rumah. Σ Anopheles spesies tertentu yang tertangkap
MBR= Σ kolektor x Σ waktu penangkapan hari
3.8.6 Menghitung sporozoit rate dan entomological inoculation rate
Hasil pemeriksaan CS Protein ELISA dihitung angka sporozoit rate, yaitu jumlah nyamuk yang positif Elisa di bagi jumlah seluruh nyamuk yang diperiksa
Elisa. Entomological inoculation rate EIR dihitung berdasarkan nilai MBR dikalikan dengan nilai sporozoit rate, dengan satuan per orang per malam WHO
2003.
Elisa di
nyamuk seluruh
nyamuk Elisa
positif nyamuk
rate Sporozoit
Σ Σ
=
Keterangan : EIR = Entomological inoculation rate, satuan per orang per malam
MBR = Man biting rate
3.8.7 Analisis Data Cuaca
Suhu dan kelembaban udara dirata-ratakan tiap bulannya, nilai indeks curah hujan ICH bulanan dihitung dengan mengalikan jumlah curah hujan perbulan
dengan hari hujan perbulan, lalu dibagi dengan jumlah hari pada bulan yang bersangkutan.
bulan satu
dalam hari
bulan per
hujan hari
x bulan
per mm
hujan curah
ICH Σ
Σ Σ
=
Fluktuasi suhu udara, kelembaban udara dan indeks curah hujan ditampilkan dalam bentuk grafik selama satu tahun. Hubungan suhu udara, kelembaban udara
dan curah hujan dengan jumlah A. sundaicus hinggap di badan dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson pada
α =0 ,05. Apabila terdapat hubungan bermakna, maka diteruskan dengan uji regresi linier sederhana untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh cuaca suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan terhadap jumlah A. sundaicus hinggap di badan, dengan mencari nilai kooefesien
determinasi r
2
. EIR = MBR x sporozoit rate
3.8.8 Analisis Data Kasus Malaria
Fluktuasi data kasus malaria ditampilkan selama satu tahun dalam bentuk grafik, kemudian data tersebut dihubungkan dengan jumlah A. sundaicus hinggap
di badan. Hubungan antara jumlah A. sundaicus hinggap di badan dengan kasus malaria dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson
pada α = 0,05. Apabila terdapat hubungan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji regresi linier
sederhana.
3.8.9 Analisis Data Titik Koordinat Larva dan Nyamuk Anopheles spp.
Data titik koordinat larva dan nyamuk Anopheles spp. dimasukan ke dalam peta Lampung Selatan dan Pesawaran, kemudian digabungkantumpangkan
overlay dengan peta batas-batas administrasi Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin. Peta sebaran larva dan nyamuk Anopheles spp. diolah
menggunakan perangkat lunak soft ware Arc View.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keragaman dan Kelimpahan Nisbi Larva Anopheles spp.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 11 spesies Anopheles yang ditemukan berdasarkan survei larva, 10 spesies di Kecamatan Rajabasa dan
sembilan spesies di Kecamatan Padangcermin. Sepuluh spesies Anopheles ditemukan di Rajabasa yaitu A. sundaicus, A. subpictus, A. vagus, A. kochi, A.
annularis, A. aconitus, A. barbirostris, A. tessellatus, A. minimus dan A.
indefinitus . Sembilan spesies Anopheles ditemukan di Padangcermin yaitu A.
sundaicus, A. subpictus, A. vagus, A. kochi, A. aconitus, A. barbirostris, A. indefinitus, A. maculatus
dan A. tessellatus. Larva A. sundaicus merupakan spesies terbanyak, dengan kelimpahan nisbi 56,82 di Rajabasa dan 64,2 di
Padangcermin Gambar 4.1.
Gambar 4.1
Angka Kelimpahan Nisbi Larva Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dan Padangcermin Pesawaran,
Agustus - September 2008
Larva A. sundaicus ditemukan sebagai spesies terbanyak di wilayah permukiman, dengan angka kelimpahan nisbi sebesar 60,07 di Rajabasa dan
62,13 di Padangcermin. Di wilayah persawahan Rajabasa larva A. vagus ditemukan sebagai spesies terbanyak sebesar 61,49 , demikian juga di
Padangcermin sebesar 42,57 . Di wilayah semak belukar Rajabasa A. vagus ditemukan sebagai spesies terbanyak sebesar 36,24 , sedangkan di semak
belukar Padangcermin terbanyak A. sundaicus sebesar 81,06 . Di wilayah hutan Rajabasa A. barbirostris dan A. vagus ditemukan sebagai spesies terbanyak
sebesar 39,44 dan 35,21 , sedangkan di Padangcermin tidak ditemukan larva Anopheles
. Di wilayah pantai Rajabasa larva A. sundaicus ditemukan sebagai spesies terbanyak sebesar 94,33 , demikian juga di Padangcermin sebesar 89,05
Tabel 4.1.
Nyamuk A. sundaicus merupakan satu-satunya vektor malaria di Rajabasa dan Padangcermin, banyak ditemukan di wilayah permukinan dan pantai. Vektor
malaria yang jumlahnya meningkat dapat meningkatkan infeksi malaria, sehingga potensi infeksi malaria di Rajabasa dan Padangcermin terutama terjadi di wilayah
permukiman dan pantai. Jenis larva Anopheles yang ditemukan terbanyak di wilayah semak belukar
berbeda antara di Rajabasa dan Padangcermin. Spesies terbanyak di semak belukar Rajabasa adalah A. vagus sedangkan di Padangcermin A. sundaicus. Hal
ini disebabkan semak belukar di Rajabasa terletak di wilayah berdekatan dengan hutan yang merupakan habitat A. vagus dan A. barbirostris, sedangkan semak
belukar di Padangcermin terletak di wilayah berdekatan dengan pantai yang merupakan habitat utama A. sundaicus.
Tabel 4.1
Angka Kelimpangan Nisbi Larva Anopheles spp. Berdasarkan Area Tata Guna Lahan di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dan
Padangcermin, Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009
No Area Tata
Guna Lahan Rajabasa
Padangcermin Spesies Anopheles
Kelimpahan Nisbi
Spesies Anopheles Kelimpahan
Nisbi 1
Permukiman A.sundaicus
60,07 A.sundaicus
62,13 A.vagus
12,05 A.subpictus
12,12 A.annularis
5,66 A.vagus
8,36 A.subpictus
5,36 A.maculatus
6,53 A.barbirostris
4,82 A.kochi
5,79 A.aconitus
4,32 A.barbirostris
4,25 A.kochi
3,36 A.tessellatus
0,82 A.tessellatus
3,35 A.minimus
1,01 2
Persawahan A.vagus
61,49 A.vagus
42,57 A.kochi
36,04 A.aconitus
22,39 A.subpictus
2,47 A.kochi
20,62 A.barbirostris
14,41 3
Semak belukar
A.vagus 36,24
A.sundaicus 81,06
A.aconitus 34,23
A.vagus 18,94
A.barbirostris 17,45
A.minimus 12,08
4 Hutan
A.barbirostris 39,44
A.vagus 35,21
A.aconitus 25,35
5 Pantai
A.sundaicus 94,33
A.sundaicus 89,05
A.subpictus 4,97
A.subpictus 5,51
A. indefinitus
0,70 A.vagus
4,57 A.indefinitus
0,87
Indeks keragaman larva Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa tertinggi di wilayah permukiman sebesar 0,631, selanjutnya semak belukar 0,351, pantai
0,319, hutan 0,318 dan persawahan 0,302. Indeks keragaman larva Anopheles spp. di Kecamatan Padangcermin tertinggi di area permukiman sebesar 0,542,
selanjutnya persawahan 0,357, semak belukar 0,255, pantai 0,231 dan hutan 0,00
Tabel 4.2.
Tabel 4.2
Indeks Keragaman Larva Anopheles spp. Berdasarkan Area Tata Guna Lahan di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dan
Padangcermin, Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009
No Area Tata Guna Lahan
Indeks Keragaman Rajabasa
Padangcermin 1
Permukiman 0,631
0,542 2
Persawahan 0,302
0,357 3
Semak belukar 0,351
0,255 4
Hutan 0,318
5 Pantai
0,319 0,392
Keragaman larva Anopheles spp. di daerah permukiman Rajabasa dan Padangcermin lebih tinggi dibandingkan dengan area tata guna lahan lainnya,
disebabkan sifat antropofilik nyamuk. Nyamuk banyak berkumpul di lingkungan permukiman yang terdapat banyak manusia, untuk mendapatkan darah guna
pematangan telur dan kelangsungan hidupnya. Nyamuk betina memerlukan gula sebagai sumber energi Koella dan Sorensen 2002, nyamuk betina juga
membutuhkan darah untuk proses pematangan telur Clements 1999, sehingga nyamuk terbang mendatangi sumber darah yaitu manusia atau binatang berdarah
panas. Clements 1999 menyatakan nyamuk tertarik pada CO
2
yang merupakan hasil proses pernapasan manusia atau binatang. Sementara itu Reisent et al.
2002 melaporkan di New Jercy California nyamuk juga tertarik pada cahaya, sehingga di wilayah permukiman nyamuk akan lebih banyak berkumpul karena
terdapat lebih banyak CO
2
dan cahaya. Hakim dan Sugianto 2009 melaporkan ada hubungan bermakna antara kepadatan penduduk dengan kepadatan populasi
A. sundaicus di Sukaresik Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Hal ini disebabkan
semakin banyak penduduk, volume CO
2
Keberadaan habitat perkembangbiakan larva Anopheles dapat meningkatkan keragaman nyamuk. Di lingkungan permukiman banyak terdapat kobakan,
kubangan, kolam dan bak air sehingga Anopheles lebih bervariasi jenisnya, yang dihasilkan semakin besar, sehingga
nyamuk lebih banyak berkumpul.
sedangkan di lingkungan hutan Kecamatan Padangcermin jarang ditemukan perairan yang dapat berfungsi sebagai habitat perkembangbiakan sehingga tidak
ditemukan larva Anopheles. Hasil perhitungan statistik pada
α = 0,05 menunjukkan ada perbedaan bermakna keragaman larva Anopheles spp. pada wilayah tata guna lahan yang
berbeda, baik di Rajabasa p = 0,003 maupun di Padangcermin p = 0,026
Tabel 4.3. Keragaman Larva Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin tidak menunjukkan perbedaan bermakna p = 0,345 Tabel 4.3.
Keragaman Anopheles tidak berbeda antara wilayah Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin, karena karakteristik ke dua wilayah hampir sama. Kedua
kecamatan sama-sama terletak pada wilayah yang berbatasan dengan pantai, mempunyai suhu dan kelembaban yang relatif tinggi. Rawa-rawa, lagun dan area
pertambakan banyak terdapat di kedua kecamatan. Di Kecamatan Rajabasa tambak berupa bak yang digunakan untuk pemeliharaan benur udang, sedangkan
di Kecamatan Padangcermin jenis tambak yang ada digunakan untuk pembesaran, dengan spesies terbanyak yang sama, yaitu A. sundaicus.
Adanya perbedaan indeks keragaman di antara wilayah tata guna lahan yang berbeda, dikarenakan adanya perbedaan jumlah spesies dan spesies terbanyak.
Hasil ini serupa dengan pengamatan Hans et al. 2002 bahwa perubahan pemanfaatan hutan akibat aktifitas ekonomi di Thailand dapat meningkatkan
heterogenitas lansekap, yang mengakibatkan penurunan keragaman jenis Anopheles
. Sementara itu di Provinsi Chantaburi Thailand Kaew et al. 2000 melaporkan ada korelasi antara penutupan lahan hutan dengan kejadian malaria.
Di Provinsi tersebut pada tahun 1985 kasus malaria ditemukan sebanyak 100.000 penduduk dengan luas hutan 85334 Ha, kasus ini menurun 22 seiring dengan
penurunan luas hutan menjadi 48.549 Ha pada tahun 1991.
Tabel 4.3
Perbedaan Indeks Keragaman Larva Anopheles spp. pada Tata Guna Lahan yang Berbeda di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dan
Padangcermin, Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009
No Variabel
Nilai p α=0,05
1 Indeks keragaman Anopheles spp. pada area tata
guna lahan yang berbeda di Rajabasa 0,003
2 Indeks keragaman Anopheles spp. pada area tata
guna lahan yang berbeda di Padangcermin 0,026
3 Perbedaan indeks keragaman Anopheles spp. di
Rajabasa dan Padangcermin 0,345
Ket : = terdapat perbedaan bermakna
4.2 Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp.