satu tahun. Hal ini disebabkan letak Indonesia berada di daerah tropis yang mempunyai dua musin, yaitu hujan dan kemarau. Pada bulan November-April
2009 curah curah hujan meningkat dan menurun bulan Mei-September 2009. Hasil perhitungan statistik hubungan antara indeks curah hujan dengan
jumlah A. sundaicus hinggap di badan dengan α = 0,05 diperoleh nilai p = 0,005
p 0,05 Gambar 4.20. Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna
indeks curah hujan dengan jumlah A. sundaicus hinggap di badan per orang per malam. Koefesien determinasi r
2
didapatkan nilai 0,569, artinya jumlah A. sundaicus
hinggap di badan 56,9 dipengaruhi oleh curah hujan. Hasil ini sama dengan pernyataan Mardiana dan Munif 2009, bahwa kepadatan nyamuk
Anopheles di Sukabumi mempunyai hubungan positif dengan curah hujan.
Gambar 4.20
Hubungan Indeks Curah Hujan dengan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan MBR di Kecamatan Padangcermin,
Pesawaran, September 2008 - September 2009
Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan kepadatan nyamuk, demikian juga sebaliknya rendahnya curah hujan menurunkan kepadatan nyamuk Epstein
el at . 1998. Habitat perkembangbiakan larva A. sundaicus bervariasi baik di
Rajabasa maupun di Padangcermin. Adanya hujan akan menambah jenis perairan, yang sebelumnya hanya sedikit atau tidak ada pada musim kemarau. Keberadaan
tambak terbengkalai, kobakan dan kubangan menjadi lebih banyak, bak benur terbengkalai yang kering menjadi berisikan air, kondisi air lagun dan rawa-rawa
menjadi lebih payau. Kondisi perairan seperti ini merupakan habitat yang disenangi oleh A. sundaicus untuk perkembangan larva. Semakin banyak habitat
perkembangbiakan akan mempermudah nyamuk meletakkan telur, sehingga kepadatan nyamuk semakin tinggi. Hujan berperan penting dalam epidemiologi
malaria, karena menyediakan media bagi tahap akuatik dari daur hidup nyamuk Martens 1997. Kasus malaria di Kokap Kabupaten Kulonprogo, DIY
meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi hingga mencapai di atas 100
ml per hari Suwasono 2000. Hujan yang diselingi dengan cuaca panas akan meningkatkan kemampuan berkembangbiak Anopheles Mendoza dan Oliveira
1996.
4.8 Hubungan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan Dengan Kasus
Malaria
Hasil uji statistik korelasi pearson α = 0,05 didapatkan nilai p = 0,901 p
0,05, artinya tidak ada hubungan bermakna jumlah A. sundaicus hinggap di
badan per orang per malam MBR dengan kasus malaria Gambar 4.21.
Namun, pada saat kepadatan MBR A. sundaicus dihubungkan dengan kasus malaria satu bulan berikutnya, didapatkan nilai p = 0,021 p 0,05, artinya ada
hubungan bermakna jumlah A. sundaicus hinggap di badan per orang per malam
dengan kasus malaria satu bulan berikutnya Gambar 4.22. Hubunganya positif
kuat ρ = 0,681, semakin tinggi kepadatan nyamuk maka semakin besar kasus
malaria pada bulan berikutnya. Dengan kata lain, terjadinya peningkatan jumlah A. sundaicus
hinggap di badan pada bulan ini, peningkatan kasus malaria akan terjadi satu bulan berikutnya.
Hasil tersebut sesuai dengan lama waktu masa inkubasi intrinsik dan ektrinsik proses penularan malaria. Masa inkubasi intrinsik mulai dari masuknya
parasit ke dalam tubuh manusia sampai dengan timbulnya gejala klinis Plasmodium falciparum
membutuhkan waktu 8-11 hari, P. vivax membutuhkan waktu 12-17 hari WHO 1975. Masa inkubasi ektrinsik perkembangan
Plasmodium di dalam tubuh nyamuk, mulai dari gamet hingga menjadi sporozoit
infektif membutuhkan waktu 10-12 hari Burkot et al. 1984. Orang sehat akan terinfeksi malaria karena pada saat nyamuk menghisap darah, sporozoit yang ada
dalam tubuh nyamuk akan masuk ke dalam darah manusia. Kebiasaan masyarakat datang berobat ke Puskesmas setelah menggigil
beberapa hari dan tidak membaik setelah mengkonsumsi obat yang dibeli dari warung. Kebiasaan masyarakat datang berobat melebihi waktu masa inkubasi
penyakit, karena pasien datang bukan pada gejala awal, melainkan seringkali pasien datang pada kondisi lebih parah. Lama masa inkubasi intrinsik dan
ekstrinsik, serta kebiasaan masyarakat berobat ke Puskesmas meperkuat hasil penelitian bahwa tingginya kepadatan A. sundaicus akan diiringi dengan
meningkatnya kasus malaria pada bulan berikutnya. Nilai koefesien determinasi r
2
= 0,464, artinya kasus malaria di Padangcermin sebulan mendatang 46,4 disebabkan oleh jumlah A. sundaicus
hinggap di badan pada bulan sekarang. Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Mardiana dan Munif 2009 bahwa kepadatan A. aconitus di Purwodadi
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah mempunyai hubungan positif dengan insiden malaria, dengan nilai r
2
= 0,491, artinya kasus malaria di Purwodadi 49,1 disebabkan oleh kepadatan Anopheles, selebihnya disebabkan oleh faktor lain di
luar kepadatan Anopheles. Sementara itu hasil pengamatan di pegunungan menorah perbatasan Jawa Tengah dan DIY bahwa kepadatan Anopheles
berhubungan bermakna dengan kasus malaria Achmad et al. 2003.