77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1. DRPs Butuh Tambahan Obat
Butuh tambahan obat merupakan pemberian terapi tambahan antidiabetes atas dasar diagnosis yang ditegakkan, sesuai dengan diagnosis yang tercantum
direkam medik. Penilaian evaluasi DRPs butuh tambahan obat pada pasien didasarkan dari kondisi pasien dan kadar gula darah pasien. Pasien dapat dikatakan
butuh tambahan obat jika kadar gula darah sewaktu pasien masih 200mgdl atau GDP pasien 126 mgdl dan penderita mengalami gangguan medis baru yang
memerlukan terapi obat tambahan yang dapat dilihat dari keluhan dan diagnosis pada pasien. Dikatakan butuh tambahan obat lainnya, jika salah satu kriteria
pengendalian diabetes melitus tidak tercapai. Kriteria pengendalian diabetes melitus menurut PERKENI 2011 yang dikutip dari Ndraha tahun 2014, sebagai berikut :
a. IMT : 18,5 - 23 kgm
2
b. Tekanan Darah Sistolik : 130 mmHg
c. Tekanan Darah Diastolik : 80 mmHg
d. Glukosa Darah 2 jam PP : 140 mgdL
e. HbA1c : 7
f. Kolesterol LDL : 100 mgdL
g. Kolesterol HDL : pria 40mgdL dan perempuan 50mgdL
h. Trigliserid : 150 mgdL
Namun, pada kriteria pengendalian DM tidak dapat dilihat semuanya karena keterbatasan dalam penelitian dimana data rekam medik pada pasien tidak lengkap.
Sehingga hanya dapat melihat GDS, tekanan darah, HbA1c hanya beberapa pasien yang memiliki data laboratorium HbA1c, dan GDP juga beberapa pasien yang
memiliki data laboratorium tersebut. Dari hasil data deskriptif tersebut, terdapat 3 pasien yang mengalami DRPs
butuh tambahan obat. Contoh pada pasien nomor 9, yang memiliki tekanan darah terakhir dirawat yakni 14090 mmHg 13080 mmHg. Pasien telah mendapatkan
terapi antihipertensi tensivask selama di rawat inap. Maka pasien dapat diberikan terapi kombinasi untuk menurunkan tekanan darah pasien, yakni terapi kombinasi
yang dapat diberikan yaitu tiazid, dimana pasien dapat diberikan kombinasi tersebut
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada pasien dengan diabetes melitus pada pasien geriatri PL Detail Document, 2014.
Pada pasien nomor 10, 27, pasien tersebut memiliki tekanan darah 13080 mmHg. Namun tidak dapat dikatakan butuh tambahan obat antihipertensi, karena
pasien tidak terdiagnosa hipertensi atau memiliki riwayat hipertensi. Pasien dapat dikatakan hipertensi tidak dapat dilihat hanya dari tekanan darah saja, perlu
melakukan pengukuran lain beberapa kali untuk diagnosis hipertensi.
2. DRPs Obat Tanpa Indikasi
Obat tanpa indikasi adalah pemberian obat antidiabetes yang tidak sesuai dengan indikasi atau diagnosis pada pasien. Diagnosis pasien dapat ditegakkan 3
cara. Pertama, jika ada keluhan khas klinis pada pasien poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang yang tidak jelas sebabnya serta GDS
200mgdl. Kedua, dengan ada tanda klasik lemah, kesemutan, gatal mata kabur, disfungsi ereksi, oruritus vulvae dan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mgdl sudah
cukup menegakkan diagnosis diabetes melitus. Ketiga, dilakukan tes toleransi glukosa oral TTGO dengan mengukur kadar glukosa darah 2 jam setelah minum
75 g glukosa PERKENI, 2006. Selain itu, kadar Hba1c juga menunjukkan status kontrol glikemik jangka panjang, lebih baik daripada kadar glukosa darah atau urin
yang bersifat jangka pendek hitungan jam atau hari saja. Menurut Clinical practice Recommendations yang diterbitkan oleh American Diabetes Association ADA nilai
sasaran Hba1c pada pasien DM adalah ≤7,0.
Dari hasil data yang didapatkan menunjukkan bahwa tidak terdapat pemberian antidiabetik tanpa indikasi pada penilitian ini. Contohnya pada pasien
nomor 20, pasien diberikan antidiabetik oral metformin, hal ini dikarenakan kadar glukosa darah sewaktu pasien 236 mgdl, kadar gluosa darah puasa pasien 166
mgdl, Hba1c 8,1 dan disertai dengan lemas pada kedua kaki dan kesemutan. Berdasarkan data hasil analisis, pada pemberian antidiabetik tidak terdapat
pemberian antidiabetik yang tanpa indikasi hal ini dikarenakan pemakaian antidiabetik tersebut telah sesuai dengan diagnosis yang dialami oleh pasien.