75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Antituberkulosis line-kedua adalah
antibiotik golongan
fluorokuinolon spirofloksasin,
ofloksasin, levofloksasin, sikloserin, etionamid, amiksasin, kanamisin, kapreomisin, dan
paraaminosalisilat Gunawan, dkk., 2009. Terdapat 2 pasien yang menggunakan obat antituberkulosis yaitu obat
rimstar 4FDC, dimana pasien diabetes melitus mengalami komplikasi tuberkulosis. Tablet obat ini adalah kombinasi obat takaran tetap yang mengandung rifampisin,
isoniazid, pirazinamid, dan etambutol, kombinasi ini merupakan lini pertama yang dipakai untuk menyembuhkan TBC.Pengobatan ini digunakan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan ng diberikan sesuai dengan berat badan pasien. Pasien DM yang juga mengalami TBC harus selalu dikontrol
pengobatannya. Jika pasien juga menderita TBC perlu diperhatikan dalam penggunaan rifampisin, karena rifampisin dapat mengurangi efektivitas antidiabetika
oral golongan sulfonilurea sehingga perlu peningkatan dosis antidiabetika tersebut Gunawan, dkk., 2009.
Contohnya pada pasien nomor 18 yang mengalami TBC dan mendapat terapi rifampisin untuk mengobati TBC yang dideritanya serta mendapatkan terapi
glikuidon yang merupakan salah satu golongan sulfonilurea. Namun dosis pada obat glikuidon telah ditingkatkan menjadi 3x30mg hal ini untuk menghindari penurunan
aktivitas obat glikuidon.
4.2.2.4 Jumlah Penggunaan Obat
Pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 selama dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pelabuhan tidak hanya menerima obat antidiabetes saja. Pasien tersebut
menggunakan obat lain untuk mengatasi masalah penyakit komplikasi dan penyerta lainnya. Sehingga jumlah obat yang digunakan oleh pasien bervariasi. Penggunaan
obat yang lebih dari satu yang diterima oleh pasien dapat disebut dengan polifarmasi penggunaan obat lebih dari satu dapat menyebabkan masalah seperti ketidaksesuaian
pengobatan interaksi obat, penggandaan obat, ketidak patuhan, dan efek samping obat yang tidak diinginkan. Hajar, dkk., 2007.
Contoh pada pasien nomor 5, yang paling banyak menggunakan obat selama dirawat yakni 25 obat. Dan jumlah perhari obat yang digunakan bervariasi yakni 6
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
obat sampai 16 obat. Pada pasien tersebut, salah satu obat yang digunakan oleh pasien berpotensi terjadi interaksi obat yaitu pada obat glikuidon dengan obat
meloksikam untuk anti reumatik.
4.2.3 Drug Related Problems DRPs
Pada pemberian terapi untuk pasien diabetes melitus geriatri akan cenderung untuk mengalami DRPs lebih tinggi, hal ini harus dihindari agar tidak terjadi.
Karena DRPs dapat mempengaruhi selama proses terapi dan tujuan terapi. Pada masalah ini, peran farmasi sangat dibutuhkan untuk meminimalisir terjadinya DRPs
pada penggunaan obat. Evaluasi DRPs sangat mendukung untuk menghindari terjadinya risiko DRPs, yang mengingat bahwa kejadian DRPs terutama yang
dialami oleh pasien geriatri baik mendapat terapi tunggal maupun kombinasi masih sangat tinggi. Penurunan pada fungsi organ dan fisiologi pada pasien geriatri sangat
berpengaruh pada proses terapi berlangsung, dan perlu diperhatikan secara khusus. Evaluasi DRPs bertujuan untuk menjamin pengobatan yang berikan kepada pasien
dapat berhasil mencapai efek terapi dan pasien mendapatkan pengobatan yang aman, berkhasiat, dan bermutu. Evaluasi DRPs terdiri dari beberapa kategori yaitu: butuh
tambahan obat, obat tanpa indikasi, salah obat, dosis dibawah dosis terapi, dosis melebihi dosis terapi, interaksi obat, dan ketidakpatuhan pasien. Namun, pada
penelitian ini tidak dapat dilakukan untuk evaluasi kategori ketidakpatuhan pasien karena penelitian bersifat retrospektif. Pada evaluasi DRPs, pasien dikatakan
mengalami DRPs pada pengobatannya ketika pasien mengalami dari salah satu kategori DRPs tersebut. Dan pasien dikatakan bahwa tidak mengalami DRPs jika
seluruh obat antidiabetes yang digunakan oleh pasien tidak satupun mengalami DRPs. Gambaran penilaian evaluasi DRPs berdasarkan pemberian obat antidiabetes
pada pasien rawat inap Rumah Sakit Umum Pelabuhan dapat dilihat pada gambar 4.10. Namun evaluasi DRP yang terjadi tidak dapat dikatakan rasional karena tidak
dapat dibandingkan dengan protokol yang telah ada. Dimana menurut protokol terapi diabetes melitus tipe 2 ditahun 2010, bahwa penanganan DM tipe 2 tidak
dapat ketahui apakah pasien melakukan penanganan tahap awal atau lanjut. sehingga tidak bisa dilihat apakah penangan pasien telah sesuai aturan protokol yang telah ada
atau belum.