Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik

pangan. Contohnya, pangan mentah bersentuhan dengan pangan masak, pangan bersentuhan dengan pakaian atau peralatan kotor, misalnya piring, mangkok, pisau atau talenan. 3. Kontaminasi ulang recontamination yaitu kontaminasi yang terjadi terhadap pangan yang telah dimasak sempurna. Contohnya, nasi yang tercemar dengan debu atau lalat karena tidak ditutup.

2.7 Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik

Penelitian Pujiasuti 2002 menyatakan 54,5 responden memiliki praktek kategori kurang dalam pemakaian bahan tambahan pangan. Kristianto dkk 2009 menyatakan bahwa 18,5 pangan jajanan anak sekolah di Kota Batu tidak memenuhi syarat keamanan karena penggunaan Rhodamin B. Ardiarini dan Gunanti 2004 menemukan Rhodamin B pada es potong merah dan es sari buah rasa kopi krim. Meskipun begitu Damayanthi dkk 2013 menyatakan terdapat 77,8 penjaja PJAS yang melakukan praktek keamanan pangan dalam kategori sedang. Umumnya penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan yaitu bahan tambahan pangan berlebihan dan penggunaan bahan berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling sering masuk dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es, minuman berwarnasirup, bakso dan jellyagar-agar. Kemudian salah satu agen yang paling sering menyebabkan tidak memenuhi persyaratan yaitu AKK angka kapang khamir: pewarna tekstil Info DATIN, 2015. Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna untuk pangan masih banyak produsen pangan terutama pengusaha kecil yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama penyimpanan serta harganya lebih murah Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005. Rahayu dkk 2012 mengatakan masih ditemukan penyalahgunaan bahan kimia berbahaya seperti pewarna tekstil mengindikasikan adanya ketidakpedulian maupun ketidaktahuan produsen akan bahaya bahan tersebut. Menurut Tamaroh dalam Nurlaela 2011, faktor yang terpenting pada keamanan pangan adalah pedagang pangan. Pedagang pangan yang berpendidikan rendah akan melaksanakan tugasnya hanya mengandalkan kebiasaan yang dimilikinya tanpa mengetahui alasan yang benar yang melatarbelakangi tindakannya. Perilaku pedagang yang tidak mendukung tentunya akan menimbulkan masalah terhadap keamanan pangan. Padahal pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan pangan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya Yasmin dkk, 2010. Penelitian Ardiarini dan Gunanti 2004 menyatakan 75 penjual minuman jajanan menggunakan pewarna sintetik karena harga pewama sintetik tidak mahal, praktis dan mudah diperoleh di toko kecil. Penggunaan pewarna sintetik dapat menghemat waktu dan biaya. Menurut Sari 2008 karena pewarna sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami maka menjadi perhatian produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah. Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga terjangkau oleh industri rumah tangga juga berkontribusi pada penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Bahan kimia yang tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah dan murah diperoleh dari pengecer yang tidak bertanggung jawab Rahayu dkk. 2012. Begitu pula menurut Pujiasuti 2002 bahwa faktor ketersediaan bahan tambahan tanpa ada label “BTP” memiliki kemungkinan mempengaruhi pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat. Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan pengolahan pangan. Aminah dan Hidayah 2012 menyatakan penggunaan bahan pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan namun untuk mendapatkannya tidak mudah serta tidak praktis dan pewama alami kurang stabil. Penambahan pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui seluruh penjual dapat memberikan kesan menarik pada produk akhir sehingga minuman jajanan yang dijual dapat laku 90 per hari Ardiarini dan Gunanti, 2004. Kemudian Aminah dan Hidayah 2012 menyatakan 76 responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam produk pangan asal produk menarik sehingga konsumen tertarik. Hal tersebut menunjukan bahwa penggunaan pewarna sintetik oleh pedagang mungkin dikarenakan anak sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik warna Kristianto dkk, 2009, begitu pula dengan Pujiasuti 2002 yang menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan lebih murah. Diperkuat dengan Nuraini 2007 bahwa warna mempunyai peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan. Selain itu, menurut Pujiasuti 2002 86 produsen menyatakan penggunaan pewarna karena permintaan konsumen. Pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk liquid dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya, hal ini membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira pemakaianya sehingga produknya menarik. Oleh karena itu meskipun menggunakan pewarna yang diijinkan tetapi kadarnya harus dibatasi sebab bila tidak terkontrol penggunaannya maka akan berefek tidak baik terhadap kesehatan Aminah dan Hidayah, 2012. Menurut Rahayu dkk 2012, indsutri kecil perlu memiliki pengetahuan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu agar tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan orang lain. Handayani dan Kurniawati dalam Wariyah dan Dewi 2013, faktor yang menyebabkan pedagang pangan jajanan memakai bahan tambahan antara lain adalah pengetahuan mereka yang rendah terhadap bahan tambahan pangan dan bahan berbahaya walaupun faktor ketidakpedulian juga mungkin terjadi. Begitu pula dengan BPOM 2012a yang menyatakan bahwa pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan dapat mengindikasikan kurangnya pengetahuan tentang keamanan pangan. Selain itu, faktor kepedulian atau kesadaran para pembuat, penjual dan pembeli pangan jajanan anak sekolah juga dapat mempengaruhi adanya pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan. Menurut Rahayu dkk 2012, ketidakpedulian dan ketidaktahuan produsen bisa disebabkan karena masih ada industri rumah tangga yang tidak pernah dibina yaitu sebesar 34,2. Penelitian Sugiyatmi 2006 menyatakan 64,6 dari pembuat pangan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang memiliki pengetahuan dalam kategori kurang tentang bahaya pewarna terlarang. Begitu pula dengan Ardiarini dan Gunanti 2004 yang mengatakan 75 penjual memiliki pengetahuan yang tergolong rendah terhadap pewarna sintetik. Utami dkk 2009 menyatakan bahwa 36,80 pedagang dapat membedakan pewarna alami atau sintetik; 5,30 pedagang mengetahui pewarna sintetik yang diijinkan; 10,50 pedagang mengetahui pewarna sintetik yang tidak diijinkan penggunaannya dalam pangan dan kesadaran pedagang akan bahaya dari pewarna sintetik cukup rendah yaitu 43. Namun Damayanthi dkk 2013 menyatakan 77,8 pengetahuan penjaja PJAS di SDN D tentang keamanan pangan dalam kategori sedang dan hal tersebut sejalan dengan Pujiasuti 2002 yang juga menyatakan 40,9 responden memiliki pengetahuan dalam kategori sedang tentang pemakaian bahan tambahan pangan. Sugiyatmi 2006 menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki pengetahuan dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktek pembuatan pangan jajanan. Namun Pujiasuti 2002 menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan dan Damayanthi dkk 2013 juga menyatakan terdapat hubungan negatif antara pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Utami dkk 2009 menyatakan rendahnya pengetahuan pedagang tentang pewarna alami dan sintetik serta pewarna yang tidak diijinkan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah pendidikan. Hasil survei menunjukkan 47,37 pedagang tidak berpendidikan. Ardiarini dan Gunanti 2004, 75 penjual memiliki tingkat pendidikan setingkat Sekolah Dasar dan 25 penjual tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menurut Utomo dalam Ardiarini dan Gunanti 2004, pendidikan berpengaruh pada faktor sosial ekonomi seperti pendapatan, pekerjaan, lifestyle, perumahan dan tempat tinggal serta pangan yang dikonsumsi dan disajikan. Seiring perkembangan teknologi informasi, pengetahuan tentang bahaya pewarna pangan terlarang atau yang berlebihan tidak harus didapatkan melalui pendidikan formal. Para pedagang bisa mendapatkan informasi tentang bahaya pewarna pangan melalui media elekktronik sehingga mereka memahami resiko yang mereka dapatkan dan berikan ketika menggunakan pewarna pangan yang dilarang. Hal ini membuktikan bahwa walaupun tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi tetapi mereka bisa memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai pewarna pangan Pertiwi dkk, 2014. Meskipun begitu, menurut Pujiasuti 2002 masih terdapat lebih dari 50 responden yang belum pernah mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan pangan secara khusus. Hanya 16 yang pernah mendapatkan informasi dari kebupaten, kelurahan, sekolah dan perindustrian serta 5 lainnya mendapat informasi dari teman dan keluarga. Rahayu dkk 2012 pun menyatakan bahwa informasi mengenai keberadaan bahan tambahan pangan di pasaran belum diketahui oleh sebagian besar industri rumah tangga. Sedangkan bahan kimia berbahaya masih beredar dan hal ini berkontribusi terhadap penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Pengetahuan keamanan pangan yang diketahui oleh para pedagang umumnya diperoleh dari informasi lisan dari mulut ke mulut, penyuluhan di PKK bagi yang perempuan. Namun untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh secara lisan tersebut sulit, mengingat produsen ingin menampilkan dagangannya lebih menarik dengan cita rasa yang tinggi dengan biaya produksi yang rendah. Dalam penggunaan bahan tambahan pangan masih perlu mendapatkan perhatian baik jenisnya maupun ukurannya. Bahan tambahan yang digunakan harus bahan tambahan khusus pangan dan ukurannya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Aminah dan Hidayah, 2012. Sugiyatmi 2006 menyatakan 68,8 dari pembuat pangan jajanan memiliki sikap terhadap penggunaan pewarna terlarang dalam kategori kurang. Namun Pertiwi dkk 2014 menyatakan bahwa 100 penjual pangan jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna pada pangan, Pujiasuti 2002 yang menyatakan 50 responden memiliki sikap dalam kategori baik tentang pemakaian bahan tambahan pangan serta Damayanthi dkk 2013 yang mengatakan 77,8 penjaja PJAS di SDN D memiliki sikap dalam kategori sedang terhadap keamanan pangan. Sugiyatmi 2006 menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan adanya hubungan yang signifikan antara sikap dengan praktek pembuatan pangan jajanan. Namun Damayanthi dkk 2013 menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan dan Pujiasuti 2002 juga mengatakan tidak ada hubungan antara sikap produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan. Selain pengetahuan dan sikap pedagang pangan jajanan, pengaruh orang lain juga dapat memberikan masukan terhadap bahan tambahan yang akan digunakan dalam pangan. Menurut Pujiasuti 2002 sebesar 38,6 produsen mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan pangan untuk produk jualannya dari penjual bahan tambahan dan 27,3 lainnya dari teman serta sisanya dari orang tua dan saudara. Keterampilan atau kemampuan seseorang dalam mempersiapkan pangan dan memasak memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan EUFIC, 2005. Oleh karena itu peningkatan keterampilan pedagang pangan jajanan perlu dilakukan. Menurut Rahayu dkk 2012, indsutri kecil perlu memiliki keterampilan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu, yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti untuk tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai kemauan untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk pangan namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat pengetahuan Pujiasuti, 2002. Mujianto dkk 2005 menyatakan 64 pedagang pangan jajanan di Kecamatan Pondok Gede tidak pernah mendapatkan pembinaan dan hampir dari seluruh penjaja PJAS yang diteliti tidak pernah mengikuti pelatihan atau training terkait gizi maupun keamanan pangan Damayanthi dkk. 2013. 83 pedagang pangan tidak pernah mendapatkan pengawasan Mujianto dkk, 2005. 80 pedagang PJAS belum pernah mengikuti penyuluhan tentang pengolahan pangan yang baik Wariyah dan Dewi, 2013. Pujiasuti 2002 berpendapat bahwa belum adanya program khusus untuk pembinaan berkaitan dengan pemakaian bahan tambahan pangan. Menurut Sugiyatmi 2006, terjadinya pencemaran pewarna pada pangan jajanan tradisional karena ketidaktahuan pembuat pangan jajanan mengenai pewarna yang digunakan dalam pembuatan pangan. Oleh karena itu untuk mengatasi terjadinya pencemaran bahan toksik pewarna tidak cukup bila hanya diberi larangan, perlu dilakukan pembinaan secara teratur kepada pembuat pangan jajanan tradisional untuk meningkatkan kualitas pangan jajanan dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan pewarna terlarang, termasuk pengawasan terhadap pewarna yang dijual di warung-warung atau toko-toko. Mujianto dkk 2005 menyatakan 90 pedagang yang tidak diberikan pembinaan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan pangan terlarang 2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang yang telah menerima pembinaan, dengan demikian pedagang yang tidak mendapat pembinaan dapat menjadi faktor resiko untuk terjadinya perilaku penggunaan bahan tambahan pangan terlarang. 90 pedagang yang tidak diberikan pengawasan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan pangan terlarang 1,58 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang yang telah diberikan pengawasan. Pemerintah adalah pihak yang secara resmi mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pangan. Kewenangan ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 942 Tahun 2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan Jajanan pada bab VII pasal 15 tertulis pembinaan dan pengawasan pangan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan KabupatenKota dan Pasal 17 tertulis dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan KabupatenKota mengikut sertakan instansi terkait, pihak pengusaha, organisasi, profesi, asosiasi, paguyuban dan atau lembaga swadaya masyarakat serta pasal 19 tertulis ketentuan pembinaan dan pengawasan pangan jajanan ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah KabupatenKota Mujianto dkk, 2005. Kurang terkontrolnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah mungkin terjadi karena terlalu banyak industri rumah tangga dan hampir setiap orang warga berhak membuat produk pangan atau berwirausaha dibidang pangan, maka hal ini juga akan menyebabkan kurang terjangkau oleh BPOM untuk melakukan pembinaan keseluruh industri rumah tangga. Untuk melakukan inspeksi mendadak dipasar-pasar khususnya pada pangan jajanan juga terlalu berat, menginggat berbagai macam jenis pangan yang dijajakan dari berbagai industri rumah tangga meskipun Direktorat Survailens Penyuluhan Keamanan Pangan SPKP telah melakukan usaha membentuk jaringan di 400 kabupaten kota seluruh Indonesia dalam rangka pembinaan industri skala rumah tangga Aminah dan Hidayah, 2012. Peraturan tentang keamanan pangan di lingkungan sekolah juga penting untuk dilakukan. Wijaya 2009 menyatakan semua sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor mempunyai peraturan mengenai PJAS namun sebagian besar hanya secara lisan. Peraturan umumnya mengenai kebersihan pangan jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS dan penggunaan BTP. Namun penelitian Damayanthi dkk 2013, hanya 1 dari 7 sekolah yang menetapkan peraturan bagi pedagang yang berjualan di kantin yaitu tidak mengizinkan untuk menggunakan BTP berupa pemanis, pewarna maupun penyedap rasa. Selain itu jenis pangan yang dijual selalu diperiksa setiap minggunya oleh pengurus yayasan. Menurut Wijaya 2009, peraturan masih belum diterapkan secara optimal karena sebagian besar praktek keamanan PJAS masih berkategori kurang dan responden masih menggunakan BTP. Sebagian besar penerapan peraturan mengenai PJAS berkategori sedang dan hanya satu sekolah yang terkategori baik karena memiliki komite sekolah yang diduga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan mengenai PJAS. Berdasarkan hasil uji korelasi diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan serta tidak ada hubungan yang nyata antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan. Penerapan peraturan memiliki persepsi yang berbeda-beda sebesar 51,1 penjaja PJAS tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah, hal ini diduga bahwa peraturan mengenai PJAS masih kurang disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS Wijaya, 2009.

2.8 Perilaku