bukanlah masalah, penggunaan pewarna terlarang pada pangan tidak berbahaya pada kesehatan, penggunaan pewarna yang berlebihan boleh
digunakan saat pembuatan pangan. Dalam variabel sikap ini dapat terlihat pula nilai yang dimiliki oleh pedagang seperti pedagang
memilih bahwa dalam pembuatan pangan boleh menggunakan pewarna apa saja asalkan dapat membantu meningkatkan keuntungan
penjualan. Beragamnya sikap pedagang pangan jajanan dalam menanggapi
penggunaan pewarna sintetik dapat dikarena pengetahuan yang mereka miliki dan sikap yang mereka paksakan sebagai pembenaran meskipun
mereka tahu hal tersebut salah oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan program keamanan
pangan jajanan anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer TOT kepada penyedia PJAS pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP
produsen PJAS mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik CPPB serta
praktek penggunaan BTP BPOM RI 30 Balai BesarBalai POM, 2009.
6.3.3 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan
Keterampilan pedagang pangan jajanan adalah kemampuan pedagang dalam mengolah atau membuat sendiri pangan jajanan yang
dijualnya. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.4 dari 30 responden diketahui bahwa 76,7 dari pedagang pangan jajanan di
sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda tidak membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya, umumnya mereka menjual pangan jajanan
yang sudah siap santap atau bisa disebut sebagai penjaja. Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.12 diperoleh pValue = 0,638
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B. Tidak berhubungan penelitian ini dapat dikarenakan umumnya pedagang hanya menjajakan pangan jajanan siap santap,
tidak membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya. Keterampilan
atau kemampuan
seseorang dalam
mempersiapkan pangan dan memasak memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan EUFIC, 2005. Oleh
karena itu peningkatan keterampilan pedagang pangan jajanan perlu dilakukan. Menurut Rahayu dkk 2012, indsutri kecil perlu memiliki
keterampilan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu, yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti untuk tidak
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai kemauan
untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk pangan namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat
pengetahuan Pujiasuti, 2002. Dengan demikian perlu dikembangkan pelatihan terstruktur bagi indsutri kecil.
Umumnya pedagang yang mengolah sendiri pangan jajanannya mendapatkan keahliannya dengan belajar sendiri atau otodidak dan
biasanya kurang memperhatikan keamanan dalam praktek pengolahan pangan oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan
dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer TOT kepada penyedia PJAS
pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara
Produksi Pangan yang Baik CPPB serta praktek penggunaan BTP. Pedagang pangan jajanan anak sekolah hanya boleh menggunakan
BTP yang berlabel “BTP” serta tidak menggunakan pewarna dan
bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti Rhodamin B dan Methanyl Yellow BPOM RI 30 Balai BesarBalai
POM, 2009. 6.3.4
Aksesibilitas Memperoleh Pewarna Pangan
Aksesibilitas adalah kemampuan pedagang pangan jajanan dalam mengakses atau menjangkau pewarna pangan baik aspek jarak,
daya beli dan ketersediaan. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.5 dari 30 responden diketahui bahwa 93,3 pedagang pangan
jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan akses untuk memperoleh pewarna termasuk dalam kategori mudah baik dari
ketersediaan yang hampir selalu ada, harga yang terjangkau dan jarak tempuh yang dekat. Umumnya kemudahan pedagang pangan jajanan
dalam mengakses pewarna karena di toko atau warung yang mereka datangi menyediakan pewarna yang mereka inginkan.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan aksesibilitas pedagang dengan penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B pada tabel 5.13 diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aksesibilitas dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna
untuk pangan masih banyak produsen terutama pengusaha kecil yang menggunakan pewarna yang dilarang dan berbahaya misalnya pewarna
untuk tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama penyimpanan serta harganya lebih murah Himpunan Alumni
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Ardiarini dan Gunanti 2004 yang
menyatakan sebesar 75 penjual minuman jajanan menyatakan penggunaan pewarna sintetik karena harga pewama sintetik tidak
mahal dan tergolong praktis dan mudah diperoleh di toko kecil bila dibandingkan dengan pewarna alami. Sari 2008 mengatakan pewarna
sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami maka menjadi perhatian oleh produsen,
mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.
Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi juga memiliki peran dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan
pengolahan pangan. Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga yang
terjangkau oleh industri rumah tangga juga berkontribusi pada penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Sedangkan bahan kimia yang
tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah dan murah diperoleh dari pengecer yang tidak bertanggung jawab Rahayu dkk. 2012. Begitu
pula menurut Pujiasuti 2002 bahwa faktor ketersediaan bahan tambahan tanpa ada label “BTP” memiliki kemungkinan pengaruh
pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat. Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran
dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan pengolahan pangan. Aminah dan Hidayah 2012 menyatakan bahwa
76 responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam produk pangan asal produk menarik sehingga konsumen tertarik.
Penggunaan bahan pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan, namun untuk mendapatkan bahan pewarna alami, khususnya didaerah
perkotaan sekarang ini tidak mudah, disamping itu juga tidak praktis dan pewama alami kurang stabil.
Mudahnya pedagang pangan jajanan dalam memperoleh pewarna sintetik membuat kejadian pangan jajanan yang tidak aman
semakin marak oleh karena itu pemerintah harus meningkatkan
program keamanan pangan jajanan anak sekolah melalui kerjasama secara terpadu, melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap
BTP dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP. Pedagang PJAS harusnya hanya menggunakan BTP yang berlabel
“BTP” serta tidak boleh menggunakan pewarna dan bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti Rhodamin B dan
Methanyl Yellow BPOM RI 30 Balai BesarBalai POM, 2009.
6.3.5 Peraturan Sekolah