inhibitor ketika dipajankan pada otak tikus percobaan, pengurangan laju
dopamine turnover
inilah yang
menyebabkan utama
hipersensitivitas anak. Selain itu Eritrosin dapat menyebabkan hiperaktif dan menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku
Nasir, 2010. Menurut Saputro dalam Novriana dkk 2013, prevalensi penderita hiperaktif di Indonesia pada anak usia sekolah yaitu, 3-18
tahun sebesar 15,8 dari 3006 anak. Kemudian prevalensi penderita hiperaktif pada anak laki-laki dan anak perempuan berbeda yaitu
35,2 untuk anak laki-laki dan 18,3 untuk anak perempuan.
6.2.2 Penggunaan Rhodamin B
Penggunaan Rhodamin B pada pangan di Indonesia tidak diijinkan karena dapat berdampak buruk pada kesehatan. Berdasarkan
hasil analisis univariat pada tabel 5.1b dari 30 responden diketahui bahwa 13,3 pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda dinyatakan menggunakan Rhodamin B. Badan Pengawasan Obat dan Makanan menyatakan bahwa
tahun 2011-2013 selalu ditemukan sampel pangan jajanan anak sekolah yang mengandung bahan kimia berbahaya untuk pangan
berupa Rhodamin B, Methanil Yellow dan Auramin BPOM, 2011; 2012; 2013. Peneliti lainnya, Ardiarini dan Gunanti 2004
menyatakan terdapat sampel minuman jajanan SDN Dukuh Mananggal yang mengandung Rhodamin B. Nisma dan Setyawati 2014
menemukan sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta
Timur mengandung Rhodamin B dan Eritrosin. Kristianto dkk 2009 menyatakan 18,5 jajanan anak sekolah di Kota Batu tidak memenuhi
syarat keamanan karena penggunaan bahan berbahaya Rhodamin B. Ardiarini dan Gunanti 2004 pun menemukan Rhodamin B pada es
potong merah dan es sari buah rasa kopi krim. Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum
digunakan sebagai pewarna tekstil. Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan
kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap mencit dan tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat
menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi subkutan, yaitu timbul sarcoma lokal. Sedangkan didapatkan LD50 89,5 mgkg yang
ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal, dan limfa diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya Merck Index
dalam Utami dkk, 2009. Rhodamin B bersifat racun jika digunakan dalam pewarna
pangan dan dapat memicu pertumbuhan zat karsinogenik yang menyebabkan munculnya penyakit kanker Wasis dan Irianto, 2008.
Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai tahun 1984 karena Rhodamin B termasuk karsinogen yang kuat. Dampak lainnya yaitu
dapat menyebabkan ganguan fungsi hati. Efeknya tidak akan dirasakan saat ini tetapi akan terasa setelah sepuluh atau dua puluh tahun
kemudian Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Pertanian Bogor, 2005. Prevalensi kanker di Indonesia tahun 2013 sebesar 1,4‰ sedangkan prevalensi kanker di Provinsi Banten yaitu
1‰ atau 11.523 Riskesdas, 2013.
Penggunaan pewarna sintetik berbahaya pada pangan jajanan anak sekolah masih kerap dilakukan oleh pedagang dimungkinkan karena anak
sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik warna Kristianto dkk, 2009. Menurut Nuraini 2007 warna mempunyai
peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan. Pujiasuti 2002 menyatakan alasan pemilihan produk berwarna
antara lain lebih menarik dan lebih murah serta 86 produsen menyatakan penggunaan pewarna karena permintaan konsumen. Selain itu, penambahan
pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui penjual dapat memberikan kesan menarik pada produk akhir sehingga minuman jajanan yang dijual
dapat laku 90 per hari Ardiarini dan Gunanti, 2004. Menurut Rahayu dkk 2012, masih ditemukan penyalahgunaan bahan
kimia berbahaya seperti pewarna tekstil pada pangan dan kadar yang berlebihan akibat pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk
liquid dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya, hal ini membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira
pemakaianya sehingga produknya menarik. Untuk mencegah meluasnya penggunaan bahan tambahan non pangan
dan kadar yang berlebihan pada pangan maka diharapkan pemerintah untuk meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah, menyediakan
Peralatan Uji Cepat Rapid Test Kit yang dapat digunakan semua pihak untuk mengetahui kandungan bahan kimia berbahaya pada pangan, tetap
melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap BTP dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP, meningkatkan edukasi tentang
gizi dan keamanan pangan berupa Training of Trainer TOT kepada guru UKS agar dapat memberikan pembinaan mengenai keamanan pangan
terhadap para siswa, orangtua dan penyedia PJAS pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS serta melakukan pembinaan penyedia PJAS
tentang Cara Produksi Pangan yang Baik CPPB dan praktek penggunaan BTP secara baik dan benar BPOM RI 30 Balai BesarBalai POM, 2009.
Sekolah sebagai tempat pedagang pangan jajanan anak sekolah biasanya berada sebaiknya menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai
keamanan PJAS serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai, melakukan pengawasan
terhadap penyediaan PJAS baik di kantin sekolah maupun di luar sekolah dengan memperhatikan jenis pangan yang dijual serta kebersihan tempat
penyedia PJAS dan penjajanya, memberikan edukasi bagi pengelola kantin dan penjaja PJAS mengenai keamanan pangan serta memberikan pengertian
dan pengetahuan kepada siswa mengenai cara memilih pangan jajanan yang baik serta dampak negatif apabila jajan di sembarang tempat BPOM RI 30
Balai BesarBalai POM, 2009.
6.3 Perilaku