Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Pemanis Sintetis Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Sekolah Dasar Negeri Wilayah Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN PEMANIS SINTETIS SIKLAMAT BERLEBIH PADA PANGAN JAJANAN

ANAK SEKOLAH (PJAS) DI SEKOLAH DASAR NEGERI KELURAHAN PONDOK BENDA, KELURAHAN PAMULANG BARAT DAN

KELURAHAN PAMULANG TIMUR TAHUN 2015

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

NURUL FAJRIATI PRAPTIKA PUTRI 1111101000073

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015


(2)

(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, November 2015

Nama : Nurul Fajriati Praptika Putri NIM : 1111101000073 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Pemanis Sintetis Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Sekolah Dasar Negeri Wilayah Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015

(xi +164 halaman, 3 gambar, 19 tabel, 5 lampiran)

ABSTRAK

Siklamat merupakan pemanis sintetis yang tidak memiliki nilai kalori dan memiliki rasa manis 30-80 kali lipat dibanding pemanis alami. Penggunaan siklamat dalam pangan di sejumlah negara telah dilarang, namun di Indonesia masih diperbolehkan dengan batas maksimal yang berbeda pada setiap jenis pangan. Akan tetapi, laporan BPOM tahun 2011 menunjukkan bahwa 10,73% pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di Indonesia memiliki kandungan siklamat melebihi batas maksimal yang ditentukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah di sekolah dasar wilayah pondok benda, pamulang barat dan pamulang timur, yang dilaksanakan Agustus-Oktober 2015. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional study. Sampel penelitian adalah para pedagang PJAS sejumlah 76 sampel yang diambil dengan teknik purposive sampling. Analisisis data terdiri dari analisis univariat dan bivariat menggunakan uji statistik chi square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51,3% PJAS memiliki kandungan siklamat melebihi batas maksimum yang diperbolehkan. Selain itu, sebanyak 36 responden (47,4%) memiliki tingkat pengetahuan rendah, 35 orang responden (46,1%) memiliki sikap positif terhadap siklamat, 30 responden (39,5%) percaya manfaat siklamat, 21 responden (27,6%) menilai penggunaan siklamat penting, 52 responden (68,4%) beranggapan ketersediaan siklamat memadai, 39 responden (51,3%) memiliki akses mudah dalam mendapatkan siklamat dan 35 responden (45,5%) dipengaruhi pedagang lain dalam menggunakan siklamat. Faktor yang berhubungan dengan penggunaan siklamat berlebih adalah ketersediaan siklamat (pValue= 0,048) dan akses mendapatkan siklamat (pValue= 0,038). Adapun variabel yang tidak berhubungan antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai dan peran pedagang PJAS lain.

Peneliti menyarankan pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap kualitas PJAS secara rutin dan meningkatkan pasokan pemanis alami. Pemerintah


(4)

juga perlu mempertegas pemberian sanksi hukum bagi para pedagang PJAS yang menggunakan siklamat berlebih dalam PJAS yang mereka jual. Selain itu, pihak sekolah sebaiknya memberikan sosialisasi pangan jajanan yang aman dan sehat bagi para siswa dan orang tua.

Kata Kunci : Pangan jajanan anak sekolah, Perilaku, Siklamat, Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan, Nilai, Ketersediaan, Akses, Peran Pedagang PJAS lain. Daftar Bacaan : 99 (1984 – 2015)


(5)

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM ENVIRONMENTAL HEALTH MAJOR Undergraduate Thesis, November 2015

Name : Nurul Fajriati Praptika Putri 1111101000073

FACTORS THAT RELATED TO THE EXCESSIVE USE OF CYCLAMATE ARTIFICIAL SWEETENER ON SCHOOL-FOODS THAT SOLD AROUND STATE PRIMARY SCHOOL AT PONDOK BENDA, PAMULANG BARAT AND PAMULANG TIMUR 2015

(xi +164 pages, 3 pictures, 19 tables, 5 attachments)

ABSTRACT

Cyclamate is an artificial sweetener which doesn’t has calorie and sweeter 30-80 times than natural sweetener. The use of cyclamate in foods and beverages has been banned at several countries, but Indonesia still give permittion to use cyclamate with maximum limit according to the food type. However, Indonesian food and drugs control agency in 2011 reports that 10% school-foods that sold around elementary school contain cyclamate over the limit. Therefore, this research aims to determine the factors associated with excessive use of cyclamate on school-foods that sold around state primary school at Pondok Benda, Pamulang Barat and Pamulang Timur. This research carried out in August-October 2015. This is an quantitative research with cross sectional study. Sample of this research is sellers of school-food around state elementary school at Pondok Benda, Pamulang Barat and Pamulang Timur which amounts to 76 peoples. Samples selected by purposive sampling method. Data analysis consisted of univariate and bivariate analysis using the chi square test.

The results showed that 51,3% of school foods that sold around elementary school at Pondok Benda, Pamulang Barat and Pamulang Timur contain cyclamate exceed the maximum allowed. Besides that, 36 respondents (47.4%) had a low level of knowledge, 35 respondents (46.1%) have a positive attitude towards cyclamate, 30 respondents (39.5%) believe the benefits of cyclamate, 21 respondents (27,6%) assess that the use of cyclamate is important, 52 respondents (68.4%) considered that the availability of cyclamate is adequate, 39 respondents (51.3%) have easy access to getting cyclamate and 35 respondents (45,5%) are influenced other sellers in the use of cyclamate. Factors that related with excessive use of cyclamate are availability of cyclamate (pValue= 0,048) and access to get cyclamate (pValue= 0,038). The variables those are not related with excessive use of cyclamate are knowledges, attitudes, beliefs, values and influence of another school-food sellers. Researcher recommend the government to improve surveillance of the school-food quality and increase the supply of natural sweetener as well as reduce the circulation of cyclamate. The Government also


(6)

needs to reinforce the legal sanctions for traders who use cyclamate excessive way in school-food. In addition, the schools should provide socializations about safety and healthy street food for students and their parents.

Keywords : Cyclamate, School-food, Behaviour, Knowledges, Attitudes, Beliefs, Values, Availability, Access, Influence of Another School-Food Sellers. Reference : 99 (1984 – 2015)


(7)

(8)

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Pemanis Sintetis Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur Tahun 2015”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis turut mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah Suprapto dan mama Rumiati serta Sakti yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan laporan ini.

2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Ela Laelasari SKM, M.Kes dan Ibu Yuli Amran, MKM selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membantu dan membimbing penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.


(10)

6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS, ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM dan Dra. Raiyan, MKM, Apt selaku penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan demi perbaikan skripsi ini.

7. Bapak Azib Rasyidi yang telah banyak membantu penulis selama menyelesaikan masa perkuliahan

8. Teman-teman kesayangan (Amel, Deis, Nunuy dan Farah), jamaah kesling 2011(Ika, Shela, Tika, Alifia, Ila, Eka, Almen, Ibnu, Feela, Pewe, Onoy, Chandra, Awal, Sarjeng, Ukhfiya, Ayu, Niken, Betti, Rachmatika, Hari, Efri, Rois dan Ikoh) serta kesling 2012 yang selalu memberikan semangat dan dukungan moral kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

9. Seluruh anggota Kesmas UIN 2011 yang telah banyak membantu penulis dari awal hingga akhir perkuliahan.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan lapang dada akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacannya.

Ciputat, Desember 2015


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 10

1. Tujuan Umum ... 10

2. Tujuan Khusus ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 13

1. Bagi Sekolah ... 13

2. Bagi Instansi Pemerintah ... 13

3. Bagi Peneliti Lain ... 13

F. Ruang Lingkup ... 14

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 15

1. Definisi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)... 15

2. Kelompok Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)... 16

3. Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 17

4. Pengawasan Kulitas Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 20

B. Keamanan Pangan ... 21

C. Penyakit Bawaan Makanan (Food Borne Disease) ... 22

D. Bahan Tambahan Pangan (BTP) ... 23

1. Definisi Bahan Tambahan Pangan... 23

2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan... 24


(12)

E. Bahan Tambahan Pangan Pemanis ... 26

1. Pemanis Alami ... 27

2. Pemanis Sintetis ... 27

F. Siklamat ... 28

1. Definisi Siklamat ... 28

2. Manfaat Siklamat ... 29

3. Regulasi ... 31

4. Dampak Penggunaan Siklamat Berlebih Bagi Kesehatan ... 32

G. Perilaku ... 34

1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) ... 35

2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) ... 44

3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)... 46

H. Pedagang Pangan ... 47

I. Kerangka Teori ... 49

BAB III : KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 51

A. Kerangka Konsep ... 51

B. Definisi Operasional ... 54

C. Hipotesis ... 57

BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN ... 59

A. Desain Penelitian ... 59

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 59

C. Populasi ... 59

D. Sampel ... 60

E. Pengumpulan Data ... 61

1. Sumber Data ... 62

2. Instrumen Penelitian ... 62

F. Validitas dan Reliabilitas ... 67

A. Uji Validitas ... 68

B. Uji Reliabilitas ... 69

G. Pengolahan dan Analisis Data ... 70

1. Pengolahan Data ... 70


(13)

BAB V : HASIL PENELITIAN ... 73

A. Analisis Univariat ... 73

1. Gambaran Penggunaan Pemanis Sintetis Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 73

2. Distribusi Pengetahuan Pedagang Mengenai Siklamat ... 73

3. Distribusi Sikap Pedagang terhadap Penggunaan Siklamat Berlebih... 74

4. Distribusi Tingkat Kepercayaan Pedagang terhadap Siklamat ... 75

5. Distribusi Nilai terhadap Siklamat ... 76

6. Distribusi Ketersediaan Siklamat ... 76

7. Distribusi Akses Mendapatkan Siklamat ... 77

8. Distribusi Peran Pedagang PJAS Lain ... 78

B. Analisis Bivariat ... 78

1. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Penggunaan Pemanis Sintetis Siklamat Berlebih ... 79

2. Hubungan Antara Sikap dengan Penggunaan Siklamat Berlebih ... 80

3. Hubungan Antara Kepercayaan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih ... 81

4. Hubungan Antara Nilai dengan Penggunaan Siklamat Berlebih ... 82

5. Hubungan Antara Ketersediaan Siklamat dengan Penggunaan Siklamat Berlebih... 84

6. Hubungan Antara Akses Mendapatkan Siklamat dengan Penggunaan Siklamat Berlebih ... 85

7. Hubungan Antara Peran Pedagang Lain dengan Penggunaan Siklama Berlebih... 86

BAB VI : PEMBAHASAN ... 88

A. Keterbatasan Penelitian ... 88

B. Penggunaan Siklamat Berlebih Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) 88 C. Pengetahuan dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 91

D. Sikap dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 95

E. Kepercayaan dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 98


(14)

F. Nilai dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan

Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 102

G. Ketersediaan Siklamat dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 105

H. Akses Mendapatkan Siklamat dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 108

I. Peran Pedagang PJAS Lain dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 112

BAB VII : SIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. SIMPULAN ... 116

B. SARAN ... 118

1. Bagi Sekolah ... 118

2. Bagi Institusi Pemerintah ... 118

3. Bagi Peneliti Lain ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 120


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bentuk Molekul Kimia Siklamat... 29 Gambar 2.2 Kerangka Teori ... 49 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 53


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Batas Maksimum Penggunaan Siklamat Berdasarkan Kategori Pangan32 Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 54 Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian ... 68 Tabel 4.2 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 70

Tabel 5.1 Gambaran Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 ... 73

Tabel 5.2 Distribusi Tingkat Pengetahuan Pedagang terhadap Penggunaan Pemanis Sintetis Siklamat Berlebih pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri

Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 .... 74

Tabel 5.3 Distribusi Sikap Pedagang terhadap Penggunaan Siklamat pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri Wilayah Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015... 75

Tabel 5.4 Distribusi Tingkat Kepercayaan Pedagang terhadap Siklamat pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan

Pamulang Timur Tahun 2015... 75

Tabel 5.5 Distribusi Nilai terhadap Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015... 76

Tabel 5.6 Distribusi Ketersediaan Siklamat Bagi Pedagang PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 ... 77


(17)

Tabel 5.7 Distribusi Akses Mendapatkan Siklamat Bagi Pedagang PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015... 77

Tabel 5.8Distribusi Peran Pedagang PJAS Lain Terhadap Penggunaan Siklamat pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 ... 78

Tabel 5.9 Hubungan Pengetahuan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 ... 79

Tabel 5.10 Hubungan Sikap dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 ... 80

Tabel 5.11 Hubungan Kepercayaan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 ... 81

Tabel 5.12 Hubungan Nilai dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 ... 83

Tabel 5.13 Hubungan Ketersediaan Siklamat dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015... 84

Tabel 5.14 Hubungan Akses dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 ... 85


(18)

Tabel 5.15 Hubungan Peran Pedagang PJAS Lain dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015... 86


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner ... 128

Lampiran 2 Hasil Uji Kuantitatif Siklamat ... 135

Lampiran 3 Output Uji Validitas dan Reliabilitas ... 139

Lampiran 4 Output Analisis Data Penelitian ... 141


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu bagian yang penting bagi kesehatan manusia, mengingat pangan merupakan salah satu media transmisi yang dapat memindahkan agent penyakit dari lingkungan ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan penyakit berbasis makanan (food borne disease) (Achmadi, 2011). Aspek pangan yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia adalah aspek keamanan. Keamanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan pasal 1 ayat 5 adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Pencemaran kimiawi dalam pangan dapat terjadi melalui penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya dan melebihi batas maksimal yang diperbolehkan (Kemenkes, 2011). Salah satu jenis bahan tambahan pangan yang sering dipergunakan melebihi batas maksimal yang diperbolehkan adalah siklamat.

Penggunaan siklamat sebagai pemanis sintetis dalam pangan tidak boleh melebihi batas maksimum yang diizinkan pemerintah. Penggunaan siklamat berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Pengaruh


(21)

jangka pendek dari konsumsi siklamat berlebih dapat menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum seperti pusing, mual, muntah, diare atau kesulitan buang air besar (Kemenkes, 2011). Konsumsi siklamat dalam jangka panjang dapat menyebabkan metabolisme siklamat menjadi senyawa cyclohexilamine. Senyawa cyclohexylamine adalah senyawa bersifat toksik karena dapat menimbulkan gangguan kardiovaskular dan terhentinya perkembangan testis (Nollet, 2004). Selain itu, senyawa cyclohexilamine dapat menyebabkan ketidaksuburan dan keguguran janin (Duslo, 2011). Paparan senyawa ini berulang-ulang juga dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal (NJDH, 2010). Berdasarkan hasil uji laboratorium pada hewan uji, pemberian siklamat dalam dosis tinggi dapat menyebabkan tumor kandung kemih, paru, limpa dan menyebabkan kerusakan genetik (BPOM, 2008).

Siklamat sebagai pemanis sintetis umumnya sudah tidak digunakan di sejumlah negara. Penggunaan siklamat sudah dilarang penggunaannya di Amerika pada tahun 1970 karena produk degradasinya bersifat karsinogenik (Saparinto & Hidayati, 2006). Selain itu, di Jepang dan beberapa negara ASEAN penggunaan siklamat juga sudah dilarang terkait keamanan penggunaannya (Cahanar & Suhanda, 2006). Akan tetapi, di Indonesia penggunaan siklamat sebagai pemanis sintetis dalam pangan masih diperbolehkan. Penggunaan siklamat sebagai pemanis sintetis dalam pangan diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis.


(22)

Regulasi mengenai penggunaan pemanis sintetis siklamat tidak menjamin para pedagang pangan untuk tidak menggunakan siklamat secara berlebih. Hasil survey nasional yang dilakukan oleh BPOM tahun 2011 menunjukkan bahwa sebanyak 10,73 % pangan jajanan di Indonesia memiliki kandungan siklamat yang tidak memenuhi syarat karena berada dalam konsentrasi yang melebihi batas maksimum yang telah ditentukan. Selain itu, hasil penelitian Wariyah (2013) menunjukkan bahwa sebanyak 8% pangan jajanan anak sekolah di wilayah Kulonprogo, DIY mengandung pemanis buatan siklamat yang melebihi batas penggunaan. Hasil penelitian Noriko dkk (2011) juga menyatakan bahwa 50% pangan jajanan di SDN Telaga Murni 03 dan Tambun 04 Kabupaten Bekasi memiliki kandungan siklamat yang berlebih.

Penggunaan siklamat dalam pangan jajanan juga ditemukan di wilayah Kota Tangerang Selatan. Data dari Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 menunjukkan bahwa 16% pangan jajanan anak sekolah di wilayah Tangerang Selatan belum memenuhi syarat kesehatan karena penggunaan bahan tambahan pangan yang melebihi batas maksimal yang dipersyaratkan, termasuk siklamat. Selain itu, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan April 2015 diketahui bahwa sebanyak tiga dari lima sampel PJAS berupa minuman es yang dijajakan di lima sekolah dasar negeri di wilayah Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur memiliki kandungan siklamat berlebih dengan dosis masing-masing 338,5 mg/kg, 276 mg/kg dan 290,8 mg/kg, dimana kadar siklamat tersebut melebihi batas maksimal penggunaan siklamat yang diperbolehkan dalam minuman es


(23)

(250 mg/kg). Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak terdapat penggunaan siklamat dalam pangan secara berlebih dan tidak sesuai dengan regulasi, khususnya dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS).

Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang mengandung siklamat berlebih dapat menimbulkan dampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa yang mengkonsumsinya. Pangan dengan nilai nutrisi yang buruk karena cemaran bahan kimia berbahaya bila dikonsumsi oleh anak usia sekolah dasar dapat menurunkan kualitas fisik dan kecerdasannya sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidupnya di masa dewasa (Supartini, 2002). Hal tersebut dikarenakan usia sekolah dasar merupakan tahapan yang amat penting dalam perkembangan pribadi seseorang dan memegang peranan penting yang akan menentukan kepribadian seseorang saat dewasa (Anshoriy & Pembayun, 2008). Oleh karena itu, pangan jajanan yang biasa dikonsumsi oleh para siswa sekolah dasar harus diawasi mutu, kualitas dan keamanannya agar tidak membahayakan pertumbuhan dan perkembangan para siswa, termasuk kadar penggunaan siklamat dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Akan tetapi, PJAS yang berada di wilayah Sekolah Dasar (SD) banyak mengandung bahan tambahan pangan (BTP) dalam konsentrasi yang melebihi batas yang diizinkan, termasuk siklamat. Hal tersebut dikarenakan siswa SD memiliki pengetahuan yang masih rendah mengenai keamanan pangan jajanan yang mereka konsumsi, sehingga mereka cenderung bebas dalam membeli pangan jajanan tanpa mempertimbangkan bahaya dari pangan jajanan yang tercemar siklamat berlebih. Akibatnya, para pedagang pangan jajanan pada umumnya merasa bebas untuk menggunakan bahan


(24)

tambahan pangan seperti siklamat dalam konsentrasi yang tinggi tanpa khawatir PJAS yang mereka jual akan dihindari oleh para siswa (Anwar & Khomsan, 2009).

Berdasarkan Rencana Strategis Kota Tangerang Selatan 2011-2016, Kelurahan Pondok Benda dan Kelurahan Pamulang Barat merupakan salah satu pusat lingkungan pengembangan pendidikan di Kota Tangerang Selatan. Sebagai lokasi pengembangan pendidikan, semua aspek yang menunjang pendidikan tentu perlu diperhatikan agar usaha pengembangan pendidikan mencapai hasil maksimal, termasuk aspek pangan jajanan. Akan tetapi, hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa masih terdapat pedagang pangan jajanan anak sekolah di kelurahan Pondok Benda dan Kelurahan Pamulang Barat yang menggunakan siklamat berlebih pada pangan jajanan dan dapat memberi dampak negatif bagi kesehatan para siswa yanng mengkonsumsinya.

Penggunaan siklamat berlebih pada PJAS tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pengetahuan pedagang pangan jajanan yang kurang mengenai keamanan pangan jajanan anak sekolah dan sikap positif pedagang pangan jajanan terhadap penggunaan siklamat dalam pangan jajanan yang diproduksinya dapat mempengaruhi pedagang pangan untuk menggunakan siklamat dalam pangan yang mereka produksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwaningsih dkk (2010) yang dilakukan pada penjual makanan jajanan berupa es lilin di kelurahan Srondol, Kota Semarang, diketahui bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan pedagang es lilin dengan kadar natrium siklamat dalam es lilin yang diproduksinya (p=0,00), dan ada hubungan yang nyata antara sikap pedagang es lilin dengan kadar natrium


(25)

siklamat dalam es lilin yang diproduksinya (p=0,00). Selain itu, penelitian yang dilakukan Wariyah dan Dewi (2013) pada PJAS di wilayah Kulonprogo, Yogyakarta menemukan hasil bahwa terdapat korelasi antara faktor pengetahuan pedagang yang kurang dengan penggunaan siklamat pada PJAS.

Faktor lain yang mempengaruhi penggunaan siklamat adalah adanya kepercayaan bahwa siklamat mempunyai beberapa kelebihan yang mengungguli pemanis murni, yaitu tidak menyebabkan peningkatan gula darah sehingga aman bagi penderita diabetes, tidak menyebabkan kenaikan berat badan, dan tidak menimbulkan kerusakan gigi seperti yang terjadi pada kelebihan konsumsi pemanis alami (Vasudevan dkk, 2013). Selain itu, ketersediaan siklamat yang memadai banyak dijual di pasar tradisional tanpa merk dengan akses yang mudah dalam mendapatkannya turut menjadi penyebab penggunaannya dalam pangan (Apriadji, 2007). Peran pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lain juga merupakan faktor yang menyebabkan penggunaan siklamat berlebih, karena pada umumnya para pedagang pangan mudah mendapatkan informasi mengenai penggunaan siklamat dari teman sesama pedagang pangan (Saparinto & Hidayati, 2006).

Berdasarkan fakta-fakta mengenai penggunaan siklamat berlebih dan tidak sesuai dengan batas maksimal yang diperbolehkan pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) tersebut, timbul ketertarikan untuk melakukan penelitian dengan judul faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur tahun 2015.


(26)

B. Rumusan Masalah

Siklamat merupakan pemanis sintetis yang banyak digunakan oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis, penggunaan siklamat pada pangan memiliki batas maksimal yang berbeda sesuai dengan masing-masing jenis pangan. Akan tetapi, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti diketahui bahwa tiga dari lima PJAS di Kelurahan Pamulang Barat dan Pamulang Timur masih menggunakan siklamat dalam jumlah yang melebihi batas maksimal sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan penggunaan siklamat berlebih tersebut antara lain pengetahuan pedagang yang rendah mengenai siklamat, sikap positif pedagang mengenai penggunaan siklamat berlebih, kepercayaan terhadap manfaat siklamat, nilai mengenai penggunaan siklamat, ketersediaan siklamat yang memadai di pasaran, kemudahan akses dalam mendapatkan siklamat serta peran pedagang PJAS lain yang memberi pengaruh bagi pedagang PJAS untuk menggunakan siklamat. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan pemanis sintetis siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur tahun 2015.


(27)

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

2. Bagaimana tingkat pengetahuan pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) mengenai siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur? 3. Bagaimana sikap pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

mengenai siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur mengenai penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)? 4. Bagaimana tingkat kepercayaan pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) terhadap manfaat siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

5. Bagaimana nilai pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) terhadap penggunaan siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

6. Bagaimana gambaran ketersediaan siklamat menurut pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur? 7. Bagaimana akses dalam mendapatkan siklamat pada pedagang Pangan

Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?


(28)

8. Bagaimana pengaruh pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) lain terhadap penggunaan siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur? 9. Bagaimana hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan siklamat

berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

10. Bagaimana hubungan antara sikap dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

11. Bagaimana hubungan antara kepercayaan dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

12. Bagaimana hubungan antara nilai dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

13. Bagaimana hubungan antara ketersediaan siklamat dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?


(29)

14. Bagaimana hubungan antara akses mendapatkan siklamat dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

15. Bagaimana hubungan antara peran pedagang PJAS lain dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur tahun 2015.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran penggunaan siklamat yang melebihi batas maksimal sesuai Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.


(30)

b. Diketahuinya tingkat pengetahuan mengenai siklamat pada pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

c. Diketahuinya sikap pedagang terhadap penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

d. Diketahuinya kepercayaan terhadap manfaat siklamat pada pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

e. Diketahuinya nilai terhadap penggunaan siklamat pada pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

f. Diketahuinya ketersediaan siklamat menurut pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur. g. Diketahuinya akses pedagang dalam mendapatkan siklamat yang

digunakan secara berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.


(31)

h. Diketahuinya peran pedagang PJAS lain terhadap penggunaan siklamat berlebih pada pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

i. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

j. Diketahuinya hubungan antara sikap dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

k. Diketahuinya hubungan antara kepercayaan dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

l. Diketahuinya hubungan antara nilai dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

m.Diketahuinya hubungan antara ketersediaan siklamat dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.


(32)

n. Diketahuinya hubungan antara akses mendapatkan siklamat dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

o. Diketahuinya hubungan antara peran pedagang PJAS lain dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.

E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Sekolah

Sebagai masukan bagi sekolah untuk melakukan pengawasan terhadap pangan jajanan yang dikonsumsi oleh para siswa untuk menghindari dampak buruk bagi kesehatan yang ditimbulkan dari pangan jajanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

2. Bagi Instansi Pemerintah

Sebagai masukan bagi pemerintah setempat untuk lebih memperhatikan dan memperketat regulasi mengenai aspek kesehatan dari makanan jajanan yang dijual di wilayah sekolah dasar yang kemudian dijadikan sebagai acuan melakukan intervensi kepada para pedagang.

3. Bagi Peneliti Lain

Sebagai masukan bagi peneliti lain untuk dapat melakukan penelitian selanjutnya demi pengembangan ilmu pengetahuan.


(33)

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur tahun 2015. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2015. Sampel penelitian ini adalah pedagang PJAS yang menggunakan pemanis di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur yang diambil dengan teknik sampel jenuh. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional. Kandungan siklamat diidentifikasi melalui uji laboratorium menggunakan metode gravimetri. Variabel independen berupa faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS) meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai, ketersediaan siklamat, akses mendapatkan siklamat dan peran pedagang PJAS lain didapatkan melalui kuesioner.


(34)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

1. Definisi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (UU No. 18 tahun 2012).

Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) didefiniskan sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah (Kemenkes RI, 2011). Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) memegang peranan strategis menjadi salah satu penyumbang sumber asupan gizi bagi anak-anak saat disekolah (Kemenkes RI, 2011). Selain itu, berdasarkan hasil Survei Ekonomi Sosial Nasional (SUSENAS) tahun 2004 diketahui bahwa pengeluaran keluarga untuk pangan jajanan di Indonesia mencapai 18.84% perkapita perminggu dari total pengeluaran untuk makanan dan minuman atau 10.36% dari total pengeluaran keluarga (BPOM RI, 2006).


(35)

Kontribusi pangan jajanan terhadap pemenuhan gizi juga dilaporkan cukup penting. Berdasarkan hasil Kegiatan Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional yang dilakukan BPOM pada tahun 2008 diketahui bahwa total konsumsi pangan jajanan sekolah bagi para siswa adalah sebesar 239,87 gr/kap/hari yang mengandung 384 kkal dan 9,4 gram protein. Hasil survey tersebut juga menunjukkan bahwa pangan jajanan menyumbang 3,1% energi dan 27,4% protein dari konsumsi pangan harian siswa (BPOM RI, 2009). Saat ini jajan menjadi salah satu “kebutuhan primer” bagi anak-anak saat disekolah, bahkan setiap pagi sang anak selalu rutin minta uang jajan dan selalu disisipkan oleh orangtuanya sebelum berangkat ke sekolah (Kemenkes RI, 2011).

2. Kelompok Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori (Kemenkes RI, 2011) :

a. Makanan utama

PJAS yang termasuk dalam kelompok makanan utama misalnya nasi goreng, nasi soto, mie bakso, mie ayam, gado-gado, siomay, dan sejenisnya.

b. Penganan atau kue-kue

PJAS yang termasuk kelompok penganan antara lain tahu goreng, cilok, martabak telur, apem, keripik, jelly, dan sejenisnya.


(36)

c. Minuman dan Buah-Buahan

PJAS yang termasuk kelompok minuman misalnya es campur, es sirup, es teh, es mambo, dan sejenisnya. Sedangkan PJAS yang termasuk kelompok buah-buahan adalah rujak, pepaya potong, melon potong, dan sejenisnya.

3. Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Pangan merupakan sumber energi dan berbagai zat gizi untuk mendukung hidup manusia, tetapi pangan juga dapat menjadi sumber pengganggu kesehatan, bila pangan yang dikonsumsi tidak aman. Masalah keamanan pangan jajanan yang sering ditemui di lingkungan sekolah diantaranya disebabkan karena produk pangan olahan di lingkungan sekolah yang tercemar bahan berbahaya (bahaya mikrobiologis dan kimia), pangan siap saji di lingkungan sekolah belum memenuhi syarat higienitas, dan donasi pangan yang bermasalah. Terjadinya masalah tersebut dikarenakan tata cara penanganan pangan yang mengabaikan kaidah-kaidah keamanan pangan. Kesalahan tersebut bisa dijumpai pada berbagai aspek mulai dari bahan baku, penanganan (proses produksi, penyimpanan dan penyajian) serta tata cara distribusinya. Selain itu, faktor ketidaktahuan konsumen, dalam hal ini anak-anak sekolah dan guru, akan tingkat keamanan pangan jajanan juga menyebabkan masalah keamanan pangan (BPOM RI, 2006).

Kemungkinan potensi bahaya yang timbul dalam PJAS antara lain bahaya fisik, bahaya kimia, dan bahaya biologis, yang bila dikonsumsi manusia, dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Bahaya tersebut


(37)

dapat terjadi melalui berbagai cara yaitu dari pekerja, makanan, peralatan, proses pembersihan dan dari rambut, kuku, perhiasan, serangga mati, batu atau kerikil, potongan ranting atau kayu, pecahan gelas atau kaca, potongan plastik dan potongan kaleng yang dapat mencederai secara fisik. Benda asing lainnya dapat menjadi pembawa mikroba berbahaya ke dalam pangan dan menyebabkan keracunan pangan (Kemenkes RI, 2011). Bahaya fisik, kimia dan biologis tersebut dapat terjadi melalui cara-cara sebagai berikut (Kemenkes, 2011) :

a. Bahaya fisik dapat terjadi apabila pangan dijual di tempat terbuka dan tidak disimpan dalam wadah tertutup, penjual mengenakan perhiasan tangan, dan penjual menangani makanan dan bahan pangan dengan ceroboh.

b. Bahaya kimia dapat terjadi karena penggunaan bahan berbahaya yang memang tidak boleh digunakan pada makanan, yang hingga saat ini masih kerap terjadi. Bahan berbahaya tersebut adalah penggunaan boraks dan formalin sebagai pengawet makanan, penggunaan pewarna tekstil, rhodamin (merah) dan methanil yellow (kuning) agar makanan menjadi lebih menarik. Selain itu masih ditemukannya penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi batas yang diijinkan. Penggunaan bahan-bahan tersebut masih sering dilakukan oleh pedagang-pedagang kecil yang memang mereka belum tahu atau sudah tahu bahayanya namun lebih memilih yang harganya lebih murah. Bahaya kimia lainnya misalnya cairan pembersih, pestisida, cat, minyak, komponen kimia dari peralatan atau kemasan yang lepas dan masuk ke dalam pangan. Logam berat masuk


(38)

melalui air yang tercemar, kertas koran yang digunakan untuk mengemas pangan dan asap kendaraan bermotor.

c. Bahaya mikrobiologi dapat disebabkan Bahaya mikrobiologi dapat disebabkan oleh mikroba dan binatang. Mikroba lebih sering menyebabkan keracunan pangan dibandingkan bahan kimia (termasuk racun alami) dan bahan asing (cemaran fisik). Sebagian mikroba tersebut tidak berbahaya dan bahkan beberapa di antaranya dapat digunakan untuk membuat produk pangan seperti yoghurt dan tempe. Tetapi, banyak juga mikroba yang dapat menyebabkan infeksi dan intoksikasi pada manusia dan hewan. Pangan menjadi beracun karena tercemar oleh mikroba tertentu dan mikroba tersebut menghasilkan racun yang dapat membahayakan konsumen. Jenis mikroba penyebab keracunan pangan adalah virus, parasit, kapang dan bakteri.

Pangan jajanan anak sekolah belum seluruhnya memenuhi persyaratan kesehatan. Hasil pengawasan kualitas PJAS nasional yang dilakukan oleh BPOM pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 19,21% PJAS dari 15.917 sampel yang diuji tidak memenuhi syarat (TMS). Penyebab sampel yang tidak memenuhi syarat dikarenakan menggunakan bahan berbahaya yang dilarang untuk pangan, menggunakan bahan tambahan pangan melebihi batas maksimal, mengandung cemaran logam berat melebihi batas maksimal dan kualitas mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat (Kemenkes, 2011).


(39)

4. Pengawasan Kualitas Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 6 tahun 2014, nomor 73 tahun 2014, nomor 41 tahun 2014 dan nomor 81 tahun 2014 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) menyebutkan bahwa pangan jajanan sebagai bagian dari kegiatan UKS/M perlu diperhatikan dan diawasi mutu serta kualitasnya. Kegiatan tersebut dilakukan oleh Tim Pembina UKS/M, baik ditingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan serta Tim Pelaksana UKS/M yang berkedudukan di sekolah.

Pemerintah Daerah (Pemda) berperan membantu pembiayaan pengadaan fasilitas kantin sekolah dan membuat peraturan-peraturan untuk menunjang keamanan pangan di Sekolah Dasar, seperti pembentukan Tim Pembina UKS, design bangunan fisik dan lingkungan warung sekolah yang sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka mewujudkan usaha kesehatan sekolah. Tim UKS Puskesmas yang terdiri dari Promosi Kesehatan, Tenaga Pelaksana Gizi/TPG, Tenaga Kesehatan Lingkungan/Kesling berperan untuk turut membantu memberikan pengarahan dalam hal menentukan makanan jajanan sekolah yang bernilai gizi dan aman dikonsumsi selama berada di sekolah dan mengawasi para penjaja/penjual agar menjual makanan yang memenuhi syarat kesehatan (Kemenkes, 2011).

Tim pelaksana UKS/M yang berkedudukan di sekolah, berperan mengkoordinir semua kegiatan yang berhubungan dengan keamanan pangan di sekolah. Keamanan pangan di sekolah yang dimulai dari siapa yang boleh


(40)

menjadi penjaja makanan disekolah (perizinan berjualan di sekolah) serta menyediakan lokasi dan fasilitas lingkungan yang bersih. Selain itu, tim pelaksana UKS/M di sekolah berperan dalam memberikan pendidikan, bimbingan dan pengarahan kepada peserta didik agar dapat memilih dan membeli serta mengonsumsi makanan yang mempunyai nilai gizi dan aman dikonsumsi, serta mengawasi para penjaja agar menjual makanan dan minuman yang telah memenuhi syarat kesehatan (Kemenkes, 2011).

B. Keamanan Pangan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, sehingga diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan sampai saat produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001).

Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering


(41)

mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya bagi kesehatan (Syah, 2005).

C. Penyakit Bawaan Makanan (Food Borne Disease)

Penyakit bawaan makanan adalah suatu gejala penyakit yang terjadi akibat mengkonsumsi mikroorganisme atau toksin baik yang berasal dari tumbuhan, bahan kimia, kuman maupun binatang (Chandra, 2007). Penyakit bawaan makanan diakibatkan oleh konsumsi bahan makanan yang terkontaminasi dengan mikroorganisme atau bahan kimia. Kontaminasi makanan dapat terjadi pada setiap tahap proses produksi pangan dan dari pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran air, tanah atau udara (WHO, 2015).

Penyakit bawaan makanan merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang paling banyak dan membebani. Penyakit tersebut menelan banyak korban dan menyebabkan sejumlah besar penderitaan khususnya di kalangan bayi, anak, lansia dan orang-orang yang kekebalan tubuhnya terganggu (WHO, 2000).

Presentasi klinis yang paling umum dari penyakit bawaan makanan berbentuk gejala gastrointestinal. Akan tetapi, penyakit tersebut juga dapat berbentuk gangguan neurologis, ginekologi, imunologi dan gejala lainnya. Kegagalan multiorgan dan bahkan kanker dapat timbul akibat dari konsumsi


(42)

bahan makanan yang terkontaminasi, sehingga menyebabkan kecacatan dan kematian (WHO, 2015).

D. Bahan Tambahan Pangan (BTP) 1. Definisi Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah segala substansi yang sengaja ditambahkan untuk mempertahankan atau memperbaiki tampilan, tekstur, rasa dan memperbaiki nilai gizi dari makanan tersebut serta untuk mencegah pembusukan yang disebabkan oleh bakteri. Bahan-bahan yang termasuk dalam bahan tambahan pangan adalah segala substansi yang digunakan dalam proses manufaktur, pengolahan, persiapan, pengemasan, pengangkutan atau penjagaan kualitas makanan (Vries, 1997). Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuakn, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.

Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah agar produk olahan yang dihasilkan mempunyai tampilan menarik, rasa yang enak, konsistensi yang bagus dan tidak mudah rusak (Suyanti, 2010). Penggunaan bahan tambahan pangan yang diizinkan dalam produk pangan dapat dibenarkan.


(43)

Akan tetapi, penggunaan bahan tambahan pangan secara berlebih sehingga melampaui ambang batas maksimal tidak dibenarkan karena dapat merugikan atau membayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi pangan tersebut (Saliswijaya, 2004).

2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan

Terdapat empat fungsi utama bahan tambahan pangan (IFAC, 2013) yaitu : a. Untuk memberikan nutrisi pada makanan.

Beberapa bahan tambahan pangan berfungsi untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas gizi makanan. Misalnya, penambahan yodium garam telah berkontribusi pada penghapusan virtual gondok sederhana. Penambahan Vitamin D untuk susu dan produk susu lainnya telah dilakukan hal yang sama sehubungan dengan rakhitis. Niacin dalam roti, tepung jagung dan sereal telah membantu menghilangkan pellagra, penyakit yang ditandai dengan sistem dan kulit gangguan saraf pusat. b. Untuk menjaga kualitas produk dan kesegaran.

Makanan segar tidak dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama. Makanan tersebut dapat cepat memburuk, menjadi tengik dan merusak. Bahan tambahan pangan menunda kerusakan signifikan dan mencegah pembusukan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme, bakteri dan ragi dan juga oleh oksidasi (oksigen di udara bersentuhan dengan makanan).


(44)

c. Untuk membantu dalam pengolahan dan persiapan makanan

Bahan tambahan pangan digunakan untuk mempertahankan kualitas yang diinginkan tertentu yang terkait dengan berbagai makanan. Sebagai contoh, pektin yang berasal dari kulit jeruk digunakan dalam jeli untuk mempertahankan ketebalan yang diinginkan.

d. Untuk memperbaiki penampilan makanan

Mayoritas bahan tambahan pangan paling sering digunakan untuk tujuan ini. Makanan yang tampak menarik bagi indera kita akan meningkatkan selera. Bahan tambahan pangan seperti agen penyedap, zat pewarna dan pemanis digunakan agar pangan terlihat dan terasa enak.

3. Jenis Bahan Tambahan Pangan

Pada umumnya, bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua bagian besar (Winarno, 1984) :

a. Aditif disengaja

Merupakan zat aditif yang diberikan dengan sengaja dan memiliki maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa serta tujuan lainnya.

b. Aditif tidak disengaja

Merupakan zat aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah yang sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.


(45)

Apabila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Zat aditif dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa benar dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadi kanker pada hewan atau manusia (Winarno, 1984).

E. Bahan Tambahan Pangan Pemanis

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis, pemanis (sweetener) adalah bahan tambahan pangan berupa pemanis alami dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada produk pangan.

Pemanis ada yang memiliki nutrisi seperti gula alkohol dan poliol, atau yang tidak memiliki nutrisi seperti pemanis sintetis. Pemanis sintetis tidak merubah besaran, kekentalan atau tekstur dari makanan dan minuman. Pemanis yang tidak memiliki nutrisi harus dicampur dengan pemanis yang memiliki nutrisi yang diperbolehkan penggunaannya (Smith, 1991).


(46)

1. Pemanis Alami

Pemanis alami adalah pemanis yang berasal dari ekstrak suatu produk alami tanpa suatu perubahan kimia selama proses produksi atau ekstraksi. Beberapa contoh pemanis alami yang sering dikonsumsi antara lain (Partana, 2008) :

a. Gula Pasir (gula tebu)

Gula pasir merupakan pemanis yang sering digunakan terutama di kalangan rumah tangga. Gula pasir berasal dari tanaman tebu yang telah cukup umur untuk diolah dan selanjutnya diambil sarinya. Sari tebu tersebut kemudian dikristalisasi sehingga menjadi gula pasir. Kadar sukrosa dalam tebu kurang lebih 6-20 %.

b. Gula kelapa

Gula kelapa terbuat dari nira yang diperoleh dari pelepah pohon kelapa yang selanjutnya dipanaskan hingga menjadi cairan kental.

c. Pemanis alami lainnya

Pemanis alami lain yang sering dipergunakan adalah madu yang berasal dari lebah, buah bit, fruktosa dan glukosa.

Pemanis alami jarang dipergunakan dalam proses produksi oleh industri kerena menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi (Nuraini, 2007).

2. Pemanis Sintetis

Pemanis sintetis merupakan zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau dapat membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut, namun kalori yang dihasilkan jauh lebih rendah daripada gula (Winarno,


(47)

1997). Pemanis sintetis sering ditambah ke dalam pangan sebagai pengganti gula karena memiliki kelebihan dibanding pemanis alami karena beberapa alasan (BPOM, 2002) :

a. Rasanya lebih manis.

b. Membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis.

c. Tidak mengandung kalori atau mengandung kalori yang jauh lebih rendah sehingga cocok untuk penderita penyakit gula (diabetes).

d. Harganya lebih murah.

Penggunaan pemanis sintetis perlu diwaspadai karena dalam takaran yang berlebih dapat menimbulkan efek samping yang merugikan kesehatan manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pemanis sintetis berpotensi menyebabkan tumor dan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batas-batas yang disebut Acceptable Daily Intake (ADI) atau kebutuhan per orang per hari terhadap penggunaan pemanis sintetis dalam pangan (Kemendikbud, 2014).

F. Siklamat

1. Definisi Siklamat

Siklamat adalah pemanis non-kalori. Memiliki rasa manis 30 kali lebih manis dibanding sukrosa (CCC, 2015). Siklamat pertama kali disintesis tahun 1973 oleh Michael Sveda dari Abbot Laboratories, Chicago. Siklamat digunakan sebagai pemanis sejak pertengahan tahun 1950, dan menjadi


(48)

pemanis yang paling dominan digunakan pada tahun 1960 dalam bentuk garam natrium dan kalsium (Smith, 1991).

Siklamat tidak memberikan after-taste seperti halnya sakarin. Meskipun demikian, rasa manis yang dihasilkan oleh siklamat tidak terlalu baik (smooth) jika dibandingkan dengan sakarin. Siklamat diperjual belikan dalam bentuk garam Na atau Ca-nya. Siklamat memiliki nama dagang yang dikenal sebagai Assugrin, Sucaryl, Sugar Twin dan Weight Watchers (Kemendikbud, 2014).

Gambar 2.1

Bentuk molekul kimia natrium siklamat (Sumber : Makfoeld et al, 2002)

Siklamat merupakan produk kimia sintetis yang tidak terdapat di alam. Siklamat disintesis dari sikloheksilamine yang berasal dari sulfonasi dari berbagai bahan kimia yang diikuti dengan netralisasi oleh hidroksida (Branen et al, 2002).

2. Kelebihan Siklamat dibanding Pemanis Alami

Seperti pemanis rendah kalori lainnya, siklamat bermanfaat untuk mengontrol berat badan, mengelola diabetes, atau membantu mencegah kerusakan gigi. Siklamat, baik dalam bentuk natrium siklamat atau kalsium siklamat, stabil dan larut dalam air. Siklamat digunakan sebagai pemanis dalam minuman diet dan makanan rendah kalori lainnya. Selain itu, siklamat


(49)

berguna sebagai penambah rasa. Stabilitas panas, tingkat kemanisan yang tinggi dan keunggulan teknologi lainnya juga membuat siklamat digunakan bagi banyak sediaan farmasi dan perlengkapan mandi (CCC, 2015).

Ketika siklamat dikombinasikan dengan pemanis rendah kalori lainnya, hasil efek sinergis dari kedua pemanis tersebut akan menghasilkan kombinasi rasa manis yang biasanya akan diharapkan dari jumlah pemanis individu. Selain itu, aftertaste yang kadang-kadang disebabkan oleh penggunaan pemanis tunggal dapat ditutupi dengan menggabungkan dua jenis pemanis. Misalnya, campuran dari sepuluh bagian siklamat dan satu bagian sakarin adalah kombinasi yang banyak digunakan dalam makanan dan minuman. Siklamat dapat berfungsi sebagai pelengkap yang sangat baik untuk pemanis rendah kalori lain yang tersedia. Sifat pemanis sinergis unik ini memungkinkan lebih banyak jenis produk rendah kalori dengan rasa yang baik. Siklamat stabil dalam panas dan dingin serta memiliki umur simpan yang baik. Kelarutannya dalam cairan memungkinkan pemanis ini lebih banyak digunakan dalam minuman (Sumawinata, 2004).

Pedagang pangan pada umumnya lebih memilih untuk menggunakan siklamat dibanding pemanis alami karena memiliki tingkat kemanisan tiga puluh kali lipat dibanding pemanis alami sehingga pemakaian sedikit sudah menimbulkan rasa manis, tidak memiliki nilai kalori sehingga tidak meningkatkan kandungan gula darah dan tidak menyebabkan rasa pahit seperti kebanyakan pemanis buatan lainnya (Lanywati, 2001).


(50)

3. Regulasi

Siklamat disahkan sebagai bahan tambahan pangan oleh Food Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada tahun 1949. Akan tetapi, kemudian siklamat dilarang penggunaannya di Amerika Serikat tahun 1970 karena diketahui berisiko menimbulkan kejadian tumor pada hewan uji (Smith, 1991). Organisasi Kesehatan Dunia Food and Agriculture

Organization's Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA)

melegalkan penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan dengan nilai Acceptable Daily Intake atau konsumsi harian yang dapat diterima sebesar 11 mg/kg (CCC, 2015).

Di Indonesia, penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan makanan pemanis sintetis diatur dan diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, disebutkan bahwa bahan tambahan pangan termasuk pemanis sintetik hanya boleh digunakan dengan tidak melebihi batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan. Batas maksimum penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis. Batas maksimum penggunaan siklamat berbeda pada setiap kategori pangan. Batas maksimum penggunaan siklamat pada setiap kategori pangan berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis adalah sebagai berikut.


(51)

Tabel 2.1

Batas Maksimum Penggunaan Siklamat Berdasarkan Kategori Pangan Kategori Pangan

Batas Maksimum (mg/kg) sebagai

asam siklamat Minuman berbasis susu yang berperisa dan/atau difermentasi.

Contohnya susu coklat, eggnog, minuman yoghurt, minuman berbasis whey.

250

Makanan pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya puding, yoghurt berperisa atau yoghurt dengan buah).

250

(Dihitung terhadap produk siap konsumsi) Makanan pencuci mulut berbasis lemak tidak termasuk

makanan pencuci mulut berbasis susu.

250 (Dihitung terhadap produk siap

konsumsi) Es untuk dimakan (edible ice), termasuk sherbet dan sorbet. 250 Buah dalam kemasan (pasteurisasi/sterilisasi). 250 Kembang gula/permen meliputi kembang gula / permen keras

dan lunak, nougat dan lain-lain.

500

Kembang gula karet / permen karet. 2000

Produk cokelat analog/pengganti cokelat. 500

Gula dan sirup lainnya (misalnya sirup mapel, xilosa, gula hias). serta gula untuk hiasan kue (contohnya kristal gula berwarna untuk kukis).

500

Selai, jelly, marmalad. 1000

Olesan berbasis kakao, termasuk isian (filling) 500 Sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis

4. Dampak Penggunaan Siklamat Berlebih Bagi Kesehatan

Penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan tidak boleh melebihi batas maksimum yang dipersyaratkan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, batas maksimum konsumsi siklamat harian (Acceptable Daily

Intake) menurut Organisasi Kesehatan Dunia Food and Agriculture

Organization's Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) adalah sebesar 11 mg/kg. Penggunaan siklamat secara berlebih dapat menyebabkan


(52)

gangguan kesehatan. Bakteri organik dalam saluran gastrointestinal dapat mengubah siklamat yang dikonsumsi menjadi senyawa cyclohexilamine yang lebih toksik dibanding siklamat itu sendiri (Lu, 1995). Dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh senyawa sikloheksilamin antara lain :

a. Efek testikular

Sejumlah studi toksikologi telah menunjukkan bahwa testis tikus merupakan organ yang paling sensitif terhadap sikloheksilamin, dan efek ini yang digunakan oleh JECFA dan lembaga lainnya sebagai dasar untuk menentukan Acceptable Daily Intake (ADI) dari siklamat (Nabors, 2001). Senyawa sikloheksilamin dalam tubuh dalam menyebabkan atropi (penghentian pertumbuhan) testikular (Lu, 1995).

b. Efek kardiovaskular

Sebuah studi mengungkapkan bahwa sebanyak 0,1% siklamat yang dikonsumsi akan bermetabolisme menjadi sikloheksilamin dalam urin. Sebagian senyawa sikloheksilamin akan mengendap di dalam plasma darah dan meningkatkan tekanan darah (Nabors, 2001).

c. Kerusakan Hati dan Ginjal

Paparan siklamat dan sikloheksilamin secara berulang-ulang dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal ((NJDH, 2010). d. Kerusakan organ

Berdasarkan hasil uji laboratorium pada hewan uji, pemberian siklamat dalam dosis tinggi dapat menyebabkan tumor kandung kemih, paru, limpa dan menyebabkan kerusakan genetik (BPOM, 2008).


(53)

G. Perilaku

Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2007). Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Menurut Green (2005) tiga kategori umum faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah sebagai berikut:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, dan nilai-nilai.

b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi kinerja dari suatu tindakan oleh individu atau organisasi. Faktor pemungkin terdiri dari ketersediaan, aksesibilitas dan keterjangkauan pelayanan kesehatan serta regulasi pemerintah.

c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)

Faktor-faktor penguat adalah konsekuensi dari tindakan yang menentukan apakah seseorang menerima umpan balik positif atau negatif dan didukung secara sosial. Contoh faktor penguat adalah sikap dan perilaku dari keluarga, petugas kesehatan serta orang sekitar.


(54)

1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) a. Pengetahuan

Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempermudah perilaku sesorang (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori khusunya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo, 2002). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan atau perilaku seseorang. Pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Efendi & Makhfudli, 2009).

Menurut Rogers (1974) sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni (Notoatmodjo, 2007):

1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti megnetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.


(55)

5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2010):

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai recall atau mengingat memori yang sebelumnya telah diamati. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan. Ketidaktahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah tentang bahaya penggunaan siklamat berlebih dapat diketahui dengan melihat apakah pedagang masih menggunakan siklamat secara berlebih dan jawaban mereka mengenai bahaya penggunaan siklamat secara berlebih sebagai pemanis sintetis dalam pangan jajanan anak sekolah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar. Seseorang dinyatakan telah memahami bahaya penggunaan siklamat berlebih apabila dapat menjelaskan secara efek kesehatan yang ditimbulkan terhadap kesehatan jika mengonsumsi makanan yang menggunakan siklamat sebagai pemanis sintetis dengan dosis berlebih.


(56)

Aplikasi diartikan apabila orang telah memahami objek dapat mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya tersebut pada situasi sebenarnya. Seseorang pedagang pangan pada tingkat aplikasi dapat menerapkan teori dengan memperhatikan dan tidak menggunakan sebagai siklamat pada produk pangan jajanan yang diproduksinya melebihi dosis yang diperbolehkan pemerintah.

4. Analisis (analysis)

Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.

5. Sintesis (syntesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Seseorang pada tingkatan ini diharapkan mampu menghubungkan teori tentang penggunaan siklamat sebagai pemanis sintetis dalam pangan jajanan anak sekolah dan efek buruk bagi kesehatan jika mengonsumsi pangan jajanan yang mengandung siklamat dalam dosis yang melebihi batas maksimal yang diperbolehkan.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan


(57)

sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam tingkat ini seseorang dapat melakukan penilaian terhadap bahaya keberadaan siklamat berlebih dalam pengan jajanan anak sekolah (PJAS) dan tidak menggunakannya.

Salah satu faktor penyebab penggunaan siklamat yang melebihi batas maksimum adalah pengetahuan pedagang pangan yang kurang mengenai keamanan pangan jajanan anak sekolah. Kurangnya pengetahuan tentang bahaya penggunaan bahan tambahan pangan menyebabkan para pedagang makanan menggunakan bahan tambahan pangan secara berlebih (Yuliani, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwaningsih dkk (2010) yang dilakukan pada penjual makanan jajanan berupa es lilin di kelurahan Srondol, Kota Semarang, diketahui bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan pedagang es lilin dengan kadar natrium siklamat berlebih dalam es lilin yang diproduksinya (p=0,00).

Cara untuk mengukur pengetahuan seseorang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis melalui angket dan kuesioner. Indikator pengetahuan kesehatan seseorang adalah “tingginya pengetahuan” responden tentang kesehatan, atau besarnya persentase kelompok responden tentang variabel-variabel atau komponen-komponen kesehatan (Notoatmodjo, 2010).


(58)

b. Sikap

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut (Sunaryo, 2002). Sikap menggambarkan suka atau tidak suka sesorang terhadap suatu objek dan membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain (Notoatmodjo, 2010).

Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakukan dengan pola-pola tertentu terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut. Menurut Notoadmodjo (2010), sikap juga merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).

Sikap dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif merupakan kecenderungan tindakan individu untuk mendekati, menyenangi atau mengharapkan objek tersebut. Sedangkan sikap negatif merupakan kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, menolak atau tidak menyukai objek tersebut (Kasemin, 2003). Sikap yang positif maupun negatif terhadap suatu hal atau objek belum tentu akan diwujudkan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan sikapnya tersebut (Purnawanto, 2010). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (Efendi & Makhfudli, 2009).


(59)

Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan intensitasnya, yakni sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007) : a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap kesehatan dapat dilihat dari kesadaran dan perhatian orang itu terhadap promosi-promosi terutama mengenai makanan yang sehat.

b. Menanggapi atau merespon (responding)

Menanggapi yakni memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Karena dengan suatu usaha untuk mengerjakan tugas yang diberikan atau menjawab pertanyaan. Misalnya sikap seseorang menyikapi penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap menghargai.

d. Bertanggung Jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Seseorang yang memiliki sikap negatif terhadap penggunaan siklamat berlebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan siklamat berlebih. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwaningsih dkk (2010) yang dilakukan pada penjual makanan jajanan berupa es lilin di kelurahan


(60)

Srondol, Kota Semarang, diketahui bahwa terdapat hubungan antara sikap pedagang es lilin dengan kadar natrium siklamat berlebih dalam es lilin yang diproduksinya (p=0,00).

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju”dan “tidak setuju” terhadap pertanyaan -pertanyaan mengenai objek tertentu. Pengukuran sikap menurut skala Lickert dapat dilakukan dengan melakukan pemberian skor pada setiap jawaban sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):

5 = Sangat setuju 4 = Setuju 3= Biasa saja 2 = Tidak setuju 1 = Sangat tidak setuju

c. Kepercayaan

Kepercayan adalah suatu keyakinan bahwa fenomena atau objek benar atau nyata (WHO, 2000). Agama, kepercayaan dan kebenaran adalah kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan atau menyiratkan kepercayaan. Pernyataan kepercayaan berorientasi kesehatan contohnya adalah pernyataan seperti “saya tidak percaya bahwa obat dapat bekerja” atau “olahraga tidak akan memberi efek apapun”. Kepercayaan sesorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap


(61)

penting dapat menimbulkan keyakinan positif pada diri seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Kepercayaan masyarakat terhadap suatu objek mempengaruhi perilaku terhadap objek tersebut. (Green & Kreuter, 2005). Kepercayaan merupakan salah satu faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Kepercayaan adalah hal-hal yang diyakini seseorang dan dianggap benar, mengenai diri sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya yang memengaruhi perasaan dan perilakunya sehari-hari (Martono & Joewana, 2006). Kepercayaan seseorang mengenai suatu hal dapat dipengaruhi lingkungan sekitarnya karena manusia bersifat sistem terbuka yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya (Suhaemi, 2002).Biasanya kepercayaan diterima tanpa bukti bahwa kepercayaan tersebut terbukti kebenarannya (WHO, 2000).

Kepercayaan terhadap suatu produk akan mendorong konsumen untuk menggunakan produk tersebut (Ramdan, 2009). Salah satu faktor yang mendasari masyarakat untuk menggunakan siklamat adalah adanya kepercayaan bahwa siklamat mempunyai beberapa kelebihan yang mengungguli pemanis murni seperti tidak menyebabkan peningkatan gula darah sehingga aman bagi penderita diabetes, tidak menyebabkan kenaikan berat badan, dan tidak menimbulkan kerusakan gigi seperti yang terjadi pada kelebihan konsumsi pemanis alami (Vasudevan, 2013).

d. Nilai

Nilai dapat diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Hidayat, 2007). Nilai tak hanya dijadikan rujukan untuk


(62)

bersikap dan berbuat dalam masyarakat, tetapi juga dijadikan sebagai ukuran benar tidaknya suatu fenomena perbuatan dalam masyarakat itu sendiri. Apabila ada suatu fenomena sosial yang bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, maka perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, dan akan mendapatkan penolakan dari masyarakat tersebut (Hakim, 2012).

Nilai adalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang dipegang sedemikian rupa oleh seseorang sesuai dengan tuntutan hati nuraninya sehingga menjadi pertimbangan terhadap suatu tindakan untuk mengambil keputusan berperilaku (Suhaemi, 2002). Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu salah atau benar (Soeroso, 2006). Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan (Narwoko & Suyanto, 2004).

Nilai yang berlaku di dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Nilai-nilai tersebut, ada yang menunjang dan ada yang merugikan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan dianut serta dijadikan sebagai acuan dasar individu dan masyarakat dalam menentukan sesuatu yang dipandang baik, benar, bernilai maupun berharga (Hakim, 2012).


(63)

2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) a. Ketersediaan Fasilitas

Ketersediaan fasilitas merupakan salah satu faktor pemungkin yang menyebabkan suatu perubahan perilaku. Pengetahuan dan sikap saja belum menjamin terjadinya perilaku, masih diperlukan sarana atau fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2010). Ketersediaan sumber daya sangat dipengaruhi oleh lokasi, dapat dijangkau oleh masyarakat atau tidak, serta kecukupan fasilitas tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukannya (Effendy, 1997). Sebagai salah satu unsur utama dalam kegiatan produksi, ketersediaan sumber daya merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi para pemiliki usaha. Ketersediaan sumber daya yang memadai dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan pedagang akan sumber daya yang dibutuhkan (Herjanto, 2008).

Ketersediaan bahan tambahan pangan dapat mempengaruhi perilaku penggunaannya dalam masyarakat. Semakin banyak bahan tambahan pangan yang tersedia dapat menjadi faktor pendorong yang semakin memudahkan seseorang dalam menggunakan bahan tambahan pangan tertentu (WHO, 2000). Salah satu bahan tambahan pangan yang ketersediaannya memadai adalah siklamat, karena siklamat banyak dijual di pasar tradisional tanpa merk (Apriadji, 2007).


(64)

b. Akses

Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain, sehingga menentukan mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi. Aksesibilitas dapat diartikan sebagai suatu konsep yang menggabungkan antara sistem transportasi secara geografis dengan sistem jaringan transportasi sehingga menimbulkan zona-zona dan jarak geografis yang akan mudah dihubungkan oleh penyediaan sarana dan prasarana angkutan (Black, 1981). Faktor jarak bukan satu-satunya elemen yang menentukan tinggi rendahnya tingkat aksesibilitas (Miro, 2004). Terlebih, kemajuan teknologi yang membuat transportasi semakin mudah mengakibatkan terjadinya percepatan arus perpindahan dari satu tempat ke tempat lain (Sitompul, 2004).

Kemudahan akses dalam mendapatkan suatu produk mempengaruhi keputusan untuk membeli dan menggunakan produk tersebut, karena konsumen pada dasarnya menyukai produk yang mudah didapat dan hanya memerlukan sedikit usaha untuk mendapatkannya (Irmawati, 2014). Kemudahan akses dalam mendapatkan siklamat sebagai bahan tambahan pangan pemanis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan siklamat pada pedagang pangan (BPOM, 2012). Terlebih, pemanis buatan sakarin dan siklamat sangat mudah didapatkan dan dijual bebas di pasaran (Kemenkes, 2011).


(65)

c. Komitmen Pemerintah

Komitmen pemerintah mengenai penggunaan siklamat tertuang dalam regulasi yang mengatur batas maksimum penggunaan siklamat dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Batas maksimum penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis. Selain itu, pemerintah melalui BPOM melakukan intensifikasi pengawasan pangan jajanan anak sekolah setiap tahunnya melalui sampling dan pengujian laboratorium serta penindaklanjutan pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang terbukti memiliki kandungan siklamat berlebih (BPOM, 2013).

3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor) a. Peran Pedagang Lain

Teman terkadang menjadi bagian penting dari faktor-faktor yang memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang tahu dan mampu melakukan perilaku sehat, tetapi tidak melakukannya karena pengaruh dari teman (Notoatmodjo, 2010). Hal yang sama juga terjadi pada perilaku penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Salah satu faktor yang mendorong penggunaan siklamat pada pedagang pangan adalah karena adanya pengaruh dari pedagang lain yang menggunakan siklamat (BPOM, 2012).


(66)

b. Peran Petugas Kesehatan

Peran petugas kesehatan melalui kegiatan pengawasan dan pengendalian terkait penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) merupakan faktor yang penting. Tanpa adanya pengawasan oleh petugas kesehatan, industri dan pengolah makanan cenderung menggunakan bahan pengawet yang berbahaya dan melebihi standar maksimal yang dipersyaratkan. Penggunaan bahan berbahaya tersebut dapat disebabkan oleh ketidaktahuan tentang dampak bahan pengawet dalam bentuk keracunan kronis akibat dosis kecil yang kumulatif atau keracunan akut dalam dosis besar (Hartati, 2007).

H.Pedagang

Pedagang adalah setiap orang yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaan sehari-hari, baik berupa bahan pokok kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan tambahan yang diperoleh dari orang lain atau diproduksi sendiri (Purwosutjipto, 1999). Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa pedagang pangan merupakan setiap orang yang melakukan perniagaan pangan sebagai pekerjaan sehari-hari, baik pangan yang diperoleh dari orang lain maupun pangan yang diproduksi sendiri.

Idealnya bila semua pedagang pangan yang memproduksi sendiri pangan yang dijualnya menerapkan perundangan dan peraturan yang berlaku tentang keamanan pangan, tentu tidak ada pangan yang tidak aman yang beredar atau diperdagangkan, dan tidak ada korban keracunan pangan. Akan tetapi, lebih dari 70% makanan jajanan dihasilkan oleh industri rumahan dengan


(67)

penanganan secara tradisional. Dalam proses peroduksi pangan jajanan, kebanyakan pedagang makanan kurang atau tidak menyadari dan memahami sepenuhnya arti kebersihan dan keamanan pangan. Hal tersebut mengakibatkan masih banyak pangan jajanan yang tidak aman dikonsumsi sehingga menyebabkan penyakit atau keracunan makanan (Saparinto & Hidayati, 2006).


(1)

159


(2)

(3)

(4)

162


(5)

163


(6)

164

``


Dokumen yang terkait

Analisa Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Negeri 70 Kelurahan Bagan Deli Tahun 2001

3 50 91

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Ditingkat Sekolah Dasar Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

12 87 142

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja di Wilayah Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

2 16 221

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

0 21 168

Faktor-faktor yang berhubungan dengan pola pengasuhan dan kemandirian anak sekolah dasar

0 9 83

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Ditingkat Sekolah Dasar Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

0 2 142

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Ditingkat Sekolah Dasar Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

0 10 142

Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pemilihan Pangan Jajanan Anak Sekolah Pada Anak Sekolah Dasar Negeri Dan Swasta Di Kota Denpasar Tahun 2016.

4 9 36

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONSUMSI BUAH DAN SAYUR PADA ANAK SEKOLAH DASAR.

4 20 180

Penggunaan Pengawet dan Pemanis Buatan pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Wilayah Kabupaten Kulon Progo-DIY | Wariyah | Agritech 9807 17897 1 PB

0 0 8