Keterpaduan horizontal Keterpaduan perencanaan secara vertikal Keterpaduan ekosistem darat dengan laut. Keterpaduan sains dengan manajemen Definisi

a. Keterpaduan horizontal

Keterpaduan perencanaan horizontal, memadukan perencanaan dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu, sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri maritime, sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor pengembangan kota, yang berada dalam satu tingkat pemerintahan yaitu; kabupatenkota, propinsi, atau pemerintah pusat.

b. Keterpaduan perencanaan secara vertikal

Keterpaduan perencanaan vertical meliputi keterpaduan kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupatenkota, propinsi, sampai nasional.

c. Keterpaduan ekosistem darat dengan laut.

Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis misalnya daerah aliran sungai DAS, wilayah administrasif propinsi, kabupatenkota, dan Kecamatan sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.

d. Keterpaduan sains dengan manajemen

Pengelolaan Pesisir Terpadu perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang valid untuk memberikan berbagai alternatif dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi, Universitas Sumatera Utara karakteristik sosial-ekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungan setempat.

e. Keterpaduan antar negara

Pengelolaan pesisir di wilayah perbatasan dengan negara tetangga perlu diintegrasikan kebijakan dan perencanaan pemanfataan sumberdaya pesisir masing-masing negara tersebut. Keterpaduan kebijakan ataupun perencanaan antar negara antara lain mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir yang bersifat lintas negara, seperti di pesisir antar Pulau Batam dengan Singapura.

2.7.2. Penentuan Strategi Pengelolaan

Dalam pengelolaan hutan mangrove terpadu sesuai dengan potensi dan permasalahan hasil kajian, strategi pengelolaan bisa dianalisis dengan menggunakan analisis strength, weakness, opportunities dan threats SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu pengelolaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan strength dan peluang opportunitie, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan weakness dan ancaman threats. Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot yang berkisar antara 0,0 – 1,0 dimana nilai 0,0 berarti tidak penting dan nilai 1,0 berarti sangat penting. Disamping itu, diperthitungkan rating untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala dari 4 hingga 1, yaitu dari sangat baik sampai kurang baik. Selanjutnya antara bobot dan rating dikalikan menghasilkan skor Afriyanto, 2007. Rumapea 2005, Bhakti 2008 dan Departemen Pekerjaan Umum 2005 juga menggunakan perangkat Universitas Sumatera Utara analisis SWOT untuk menentukan strategi pengelolaan terhadap sumber daya kewilayahan.

2.7.3. Keberkelanjutan Pembangunan Wilayah Pesisir

Tujuan utama dari pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir di dalam memenuhi kebutuhan baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan dating. Untuk itu, laju pemanfataan sumberdaya pesisir harus dilakukan kurang atau sama dengan laju regenerasi sumberdaya hayati atua laju inovasi untuk menemukan substitusi sumberdaya nir-hayati di pesisir. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktifitas, maka setiap pemanfataan harus dilakukan dengan hati-hati precaunary principles, sambil mengantisipasi dampak negatifnya.

2.8. Sistem Informasi Geografi SIG dan Penggunaannya dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah

Pada hakekatnya pengembangan development merupakan upaya untuk memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup. Menurut Zen 1999 dalam Susilo 2004, pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah kekayaan, akan tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga merupakan proses belajar learning process. Hasil yang Universitas Sumatera Utara diperoleh dari proses tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument yang digunakan. Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stake holders masyarakat, pemerintah, pengusaha di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi. Lebih tegas lagi bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Dalam konteks ini Susilo 2004, menyatakan bahwa sistem informasi merupakan instrument atau alat untuk memberdayakan rakyat. Sebagai instrument, sistem informasi harus mempermudah dan memperlancar proses pemberdayaan rakyat, bukan menghambat atau malahan memberi masalah. Dengan demikian Sistem Informasi Geografi SIG yang merupakan tatanan dalam mem-provide data, mengelola, memproses dan menyajikan informasi, harus mudah dan praktis user friendly digunakan. Pembangunan sistem harus diorientasikan pada proses pemberdayaan rakyat tersebut, yaitu dengan antara lain memperlancar dan memperpendek birokrasi, bukan membangun sistem for the sake of sistem them self, seperti yang banyak dijumpai. Karena pada hakekatnya membangun sistem berarti menumbuhkan sikap taat asas dan taat aturan, bukan sekedar mewujudkan produk. Hal ini berarti membina dan menumbuhkan etika untuk menggapai hasil, bukan asal mencapai hasil, apalagi menghalalkan segala cara, yang akan lebih cenderung machiaveli’s. Untuk itu, membangun Sistem Informasi Geografi berarti membangun 4 empat aspek utama secara totalitas, seperti yang disebutkan oleh Dangermond Universitas Sumatera Utara 1983 yaitu 1 aspek data, 2 aspek SDM, 3 aspek perangkat atau software dan hardware, dan 4 aspek institusi yang diwujudkan dalam bentuk kelembagaan dan tatalaksananya. Empat aspek tersebut menyatu dan tidak bisa dipisahkan. SIG tidak bisa hanya terdiri dari data dan SDM atau data dan alat atau perangkat saja, jadi harus mencakup semua aspek di atas. Apabila dicermati berdasar aspek tersebut, maka prospek SIG dalam pengembangan wilayah sangatlah menantang. Dalam pemanfaatan teknik-teknik penginderaan jauh untuk identifikasi dan pemetaan permukaan bumi, digunakan anggapan bahwa kenampakan-kenampakan yang berbeda terpisah secara spektral. Pada kenyataannya anggapan ini benar dan sebagian besar kenampakan permukaan bumi dapat dikenali dan dipetakan berdasarkan sifat spektralnya, walaupun ada kenampakan yang tidak dapat dipisahkan dan dikenali secara spektral. Oleh karena itu, pengenalan menyeluruh mengenai sifat spektral dan penggunaan elemen interpretasi dalam mengenali penampakan- penampakan permukaan bumi perlu dikuasai oleh seorang interpreter Howard, 1996. Tingkat pemisahan kenampakan tersebut merupakan fungsi panjang gelombang yang digunakan Lillasand dan Kiefer, 1990. Untuk tujuan penggunaan teknik analisis dengan bantuan komputer pada data penginderaan jauh maka sangat dibutuhkan pengetahuan menyeluruh mengenai karakteristik spektral dari data tersebut Tabel 4. Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Karakteristik Spektral Landsat Thematic Mapper Jenis Band Panjang Gelombang Kegunaan Band 1 0,45 – 0,52 µm Dirancang untuk penetrasi tubuh air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai, juga berguna untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar. Band 2 0,52 – 0,60 µm Dirancang untuk mengukur puncak hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan. Band 3 0,60 – 0,69 µm Band absorbsi klorofil yang penting untuk diskriminasi vegetasi. Band 4 0,76 – 0,90 µm Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk delineasi tubuh air. Band 5 1,55 – 1,75 µm Menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan tanah juga bermanfaat untuk membedakan salju dan awan. Band 6 10,40 – 12,50 µm Band inframerah termal yang penggunaannya untuk Analisis penekanan vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan termal. Band 7 2,08 – 2,35 µm Band yang diseleksi karena potensi untuk membedakan tipe bantuan dan untuk hidrotermal. Sumber: Lo, 1995

2.8.1. Penginderaan Jauh Remote Sensing

a. Definisi

Penginderaan jauh remote sensing didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Informasi tersebut dapat diperoleh karena masing-masing objek memiliki kekhasan dalam memantulkan, menyerap, meneruskan atau memancarkan energi gelombang elektromagnetik yang datang padanya sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan objek, daerah atau fenomena yang dikaji Lillasand dan Kiefer, 1990. Alat yang dimaksud adalah alat pengindera atau sensor yang umumnya dipasang pada wahana platform yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat Universitas Sumatera Utara ulang alik atau wahana lainnya. Dengan demikian untuk mendapatkan informasi tersebut harus dilakukan melalui interpretasi foto atau citra satelit. Karena sensor dipasang terlalu jauh dengan objek yang diindera, maka diperlukan tenaga yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek tersebut. Antar tenaga dan objek terjadi interaksi dan tiap objek memiliki sifat atau karakteristik tersendiri sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda untuk dapat diinterpretasikan. Hasil interpretasi tersebut direkam oleh sensor dan diterjemahkan menjadi data. Data inilah yang diinterpretasikan menjadi informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui kegiatan analisis data Lillasand dan Kiefer, 1990. Citra Landsat merupakan hasil rekaman penginderaan suatu wilayah dari ketinggian tertentu. Analisis digital merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi dari data citra dan bersifat kuantitatif karena dapat menggali kandungan yang sebenarnya dari data yang bentuknya digital Paine, 1996. Menurut Lillasand dan Kiefer 1990, secara garis besar proses analisis digital dari landsat adalah sebagai berikut : 1. Pemulihan Citra Image Restoration Pemulihan citra merupakan kegiatan yang berkaitan dengan koreksi distorsi, degradasi dan noise yang terjadi akibat kesalahan pada saat pemrosesan imaging. Nilai digital tidak selalu tepat secara radiometrik dalam kaitannya dengan tingkat energi objek dan secara geometrik maka letak kenampakannya pun tidak selalu benar. Teknik koreksi bertugas untuk memperkecil masalah ini dan menciptakan data citra yang telah dikoreksi baik radiometrik maupun geometrik sehingga lebih bermanfaat untuk dianalisis. 2. Penajaman Citra Image Enhancement Universitas Sumatera Utara Teknik penajaman ini dilakukan untuk menonjolkan kontras yang jelas kelihatan di antara objek dipermukaan bumi. Pada umumnya kegiatan ini untuk meningkatkan informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual. Proses penajaman citra secara garis besar terdiri dari dua kelompok pengoperasian yaitu penajaman perpoint dan penajaman lokal. 3. Klasifikasi Citra Image Classification Klasifikasi diartikan proses pengelompokan piksel-piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan brightness valueBV atau digital numberDN piksel yang bersangkutan. Berdasarkan tekniknya, klasifikasi dapat dibedakan atas klasifikasi manual dan klasifikasi kuantitatif. Pada klasifikasi manual, pengelompokan piksel ke dalam suatu kelas yang telah ditetapkan dilakukan oleh interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan maupun warna dari piksel yang bersangkutan. Pada klasifikasi kuantitatif, pengelompokan dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan nilai kecerahan contoh yang diambil sebagai area contoh training area. Data penginderaan jauh yang diterima oleh stasiun bumi dari sensor satelit bumi masih mengandung kesalahan-kesalahan baik radiometris maupun geometris yang terjadi pada waktu proses perekaman. Kesalahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya degradasi kualitas data yang diperoleh. Sebelum data diolah lebih lanjut perlu dilakukan pengolahan awal untuk menghilangkan atau meminimumkan kesalahan tersebut. Koreksi geometris bertujuan untuk memperbaiki kesalahan posisi atau letak objek yang terekam pada citra yang disebabkan oleh pengaruh rotasi bumi pada saat perekaman, pengaruh kelengkungan bumi, efek panoramik sudut pandang, pengaruh topografi, Universitas Sumatera Utara pengaruh gravitasi bumi yang menyebabkan terjadinya perubahan kecepatan dan ketinggian satelit serta ketidakstabilan ketinggian wahana Lillasand dan Kiefer 1979 dalam Farid 1998. Kesalahan posisi ini dikoreksi dengan cara mentransformasikan koordinat data citra satelit ke posisi baru proyeksi data acuan berdasarkan data Koordinat Ground Control point GCP sehingga data citra mempunyai proyeksi standar. GCP adalah titik atau obyek-obyek yang dapat dikenali dan diketahui posisinya baitk pada citra maupun peta acuan. Transformasi koordinat dengan metode ini menggunakan suatu fungsi polinominal berordo m m = 1, 2, 3. Transformasi ini menyebabkan pergeseran letak piksel karena penyesuaian dengan sistem koordinat peta acuan, sedangkan nilai digital piksel tidak ikut bergeser. Untuk itu diperlukan interpolasi nilai digital piksel posisi baru tersebut dengan proses resampling. Tiga metode resampling yang digunakan yaitu tetangga terdekat nearest neighbour, bilinier dan cubic convolution. Metode tetangga terdekat lebih sering digunakan karena prosedur perhitungannya sederhana yaitu menginterpolasi nilai piksel baru berdasarkan nilai digital piksel terdekat. Metode ini menghindari perubahan nilai secara berlebihan dibandingkan dengan metode lainnya yang menginterpolasi nilai digital piksel dengan memperhitungkan 4 nilai digital piksel terdekat pada metode bilinier dan 16 piksel pada cubic convolution Lillasand dan Kiefer 1979 dalam Farid 1998.

b. Penerapan penginderaan jauh